Friday, July 30, 2021

Mengenang Hidup Orang Lain

Ajip Rosidi *
Pikiran Rakyat, 7 Apr 2007
 
MENGENANG hidup orang yang sudah meninggal, niscaya tergantung kepada hubungan yang dikenang dengan yang mengenang. Setiap orang niscaya punya kenangan atau anggapan yang berlainan tentang seseorang. Tulisan saya “A. S. Dharta 1923-2007” (judulnya diubah redaksi menjadi “Akhir Hidup Pengarang Lekra”/ Khazanah, “PR”, 24/2/2007) telah mendapat reaksi dari dua orang yang berlainan. Martin Aleida yang (pernah) menjadi anggota Lekra menyesali saya, karena menulis tentang Dharta berlainan dengan pandangannya, sehingga mengecewakan hatinya. Saya yang dianggapnya sebagai “sastrawan yang baik hati” dan “saya kagumi”, “mendadak sontak menjadi sosok yang tidak peka, menistakan adat kebiasaan”, dan menganggap tulisan saya itu merupakan “taktik kaum fasis untuk menaklukkan musuh-musuhnya”.
 
Komunis dan Ateis
 
Anggapan saya itu berdasarkan kenyataan bahwa tak pernah saya dengar Dharta bertobat dari paham komunisnya. Di samping itu kenyataan bahwa Dharta menistakan dirinya mengirim surat minta ampun, karena melakukan dosa “kemesuman borjuis” dan ingin menjadi komunis kembali (meski diturunkan ke tingkat calon kader), menunjukkan betapa sungguh-sungguhnya dia ingin menjadi komunis. Dan seorang komunis niscaya berpegang kepada filsafat materialisme, yang hanya percaya akan adanya materi, dan menolak percaya akan yang bukan materi seperti Tuhan, malaikat, dan yang gaib lainnya. Dengan kata lain, orang komunis niscaya ateis, walaupun tidak semua ateis itu komunis. Bertrand Russel yang ateis itu antikomunis, bisa saja. Banyak orang ateis yang antikomunis. Yang tidak ada adalah Muslim yang yakin yang komunis, atau komunis yang percaya akan kebenaran agama-agama langit.
 
Barmara dan Mashudi
 
Setelah membaca “Selamat jalan Sastrawan Sunda” tulisan Budi Setiyono (Khazanah, “PR”, 10/3/2007) baru saya ingat bahwa ketika saya menelefon Dharta ke Cibeber meminta keterangan tentang Barmara menyusul surat yang saya kirimkan dari Jepang (ketika itu saya masih tinggal di Jepang), sebelum meminta honorarium sajaknya yang dimuat dalam Kandjutkundang, dia mengajukan sarat agar saya jangan bertengkar (Dharta mempergunakan istilah pas’a) dengan mantan Gubernur Mashudi. Jadi, bukan karena menganggap bahwa Mashudi lebih berhak memberi keterangan tentang Barmara seperti ditulis Budi Setiyono. Dharta pernah menjadi anak angkat Barmara (antara lain bersama Utuy T. Sontani dan pelukis Zaini), tetapi Mashudi tidak pernah disebut-sebut.
 
Saya memang beberapa waktu sebelumnya mengumumkan catatan saya tentang buku otobiografi Mashudi yang berjudul Memandu Sepanjang Masa dalam Mangl?. Rupanya catatan saya itu dibaca Mashudi dan saya mendapat surat dari Mashudi yang antara lain bertanya, “Apakah kesalahan saya terhadap Saudara Ajip atau terhadap keluarga Saudara Ajip, sehingga Saudara selalu mengeritik saya? Istri saya mengatakan bahwa Saudara menyebut saya dikentutin oleh anak buah….” Terhadap surat itu saya membalas baik-baik, bahwa tak ada kesalahan beliau terhadap diri saya atau keluarga saya. Yang saya tulis adalah catatan seorang pembaca terhadap buku yang sudah dipublikasikan. Saya katakan juga bahwa kritik saya terhadapnya dahulu selalu ditulis dalam bahasa Sunda dimuat dalam Madjalah Sunda yang saya pimpin. Dalam bahasa Sunda tidak ada padanan untuk ekspresi “dikentutin”, jadi mustahil saya mempergunakan ekspresi seperti itu waktu mengeritiknya. Mashudi tidak membalas surat saya itu. Jadi, tak bisa dikatakan bahwa kami “bertengkar”. Dia bertanya, saya jawab baik-baik.
 
Yang membuat saya heran mengapa Dharta menganggap saya bertengkar. Menulis kritik kan tidak berarti bertengkar.
 
Lekra dan PKI
 
Budi Setiyono menulis “Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang kelak secara salah kaprah selalu dianggap sebagai organ Partai Komunis Indonesia”, seakan hendak memisahkan Lekra dengan PKI. Sebagai pengurus Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah, seharusnya beliau meneliti sejarah berdasarkan data-data secara keseluruhan. Sejak didirikan tahun 1950 sampai tahun 1965, tak ada orang yang mengatakan atau menulis bahwa Lekra bukan organ PKI. Wacana bahwa “Lekra bukan organ PKI” baru muncul tahun 1970-an setelah PKI lama dibubarkan dan orang-orang Lekra dikeluarkan dari tahanan. Dalam rangka membersihkan diri, mereka melontarkan wacana demikian. Kalau tak salah yang pertama melontarkannya adalah Joebaar (bukan Djubaar) Ajoeb yang menjadi Sekjen Lekra sehabis A.S. Dharta dipecat. Pernyataan Joebaar itu ditentang oleh tokoh Lekra yang lain, ialah Basuki Resobowo yang menyebut Joebaar melakukan kooptasi dengan rezim militer Suharto.
 
Meskipun secara formal yang dianggap pejabat tertinggi Lekra itu sekjennya, tetapi orang semua mafhum bahwa yang menyetirnya adalah Njoto, anggota CC-PKI. Pada waktu Njoto “disidangkan” oleh pleno CC-PKI, karena hendak membentuk partai Marhaenisme seperti yang diinginkan oleh Soekarno (yang merasa tidak puas dengan dua partai Marhaenisme yang ada waktu itu yaitu PNI dan Partindo) dengan wacana bahwa Njoto akan meninggalkan istrinya untuk menikah dengan penerjemahnya orang Rusia, maka yang ditunjuk oleh CC-PKI sebagai calon pengganti Njoto untuk menyetir Lekra adalah anggota CC-PKI juga, yaitu Wisnukuntjahjo. Hanya karena pendekatan pribadi D.N. Aidit yang berbicara empat mata dengan Njoto selama berjam-jam, Njoto akhirnya memutuskan untuk “tetap bersama istri yang lama”. Karena itu, sopir Lekra tidak diserahterimakan kepada Wisnukuntjahjo.
 
Bahwa yang dicalonkan untuk menyetir Lekra anggota CC-PKI juga, menjadi tanda yang tak bisa dibantah bahwa Lekra, seperti juga SOBSI, SARBUPRI, BTI, CGMNI, dll. merupakan organ PKI. Dan itu adalah kenyataan sejarah, bukan karena “salah kaprah”. Yang salah kaprah justru mereka yang terkecoh propaganda Joebaar Ajoeb.
 
Setelah menulis karangan di atas, dari saudara Ading (RAF) saya mendengar bahwa beberapa bulan sebelum meninggal, A.S. Dharta beserta anak-istrinya berkunjung ke rumahnya dan istrinya memberitahukan bahwa A.S. Dharta “sekarang sudah sakit”.
 
Di Jakarta, saya dapati surat dari A. Makmur K., kerabat A.S. Dharta, yang menyesali saya yang menyangka A.S. Dharta ateis, karena sebenarnya dia seorang beriman dan “Lima puluh tahun saya menyertainya bahkan sampai detik-detik terakhir membimbingnya dengan kalimat tauhid”. Menurut Makmur, keluarga Dharta aktif dalam dakwah melalui Yayasan Al-Fatima (nama ibu Dharta).
 
Mendengar itu, saya bersyukur mengucap alhamdulillah. Saya juga mengucapkan istigfar merasa bersalah, karena telah salah sangka mengukur orang dari pengalaman kurang lebih 50 tahun lalu, padahal manusia itu bisa berubah setiap waktu. Saya minta maaf kepada anak-istri dan keluarganya atas salah sangka tersebut dan kepada Allah SWT-lah saya mohon ampun semoga selanjutnya dihindarkan dari pikiran yang keliru dan semoga Dia memberi tempat yang layak kepada almarhum A.S. Dharta bersama hamba-hamba-Nya yang beriman. Amin.

*) Ajip Rosidi, Budayawan. http://sastra-indonesia.com/2011/05/mengenang-hidup-orang-lain/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar