Saturday, July 10, 2021

Puisi, Penyair, dan Pelbagai Hambatannya

Alex R. Nainggolan *
Republika, 6 Juli 2014
 
Puisi terkadang gagal menemukan bentuknya di hadapan publik pembaca. Terutama dengan keseriusan para penyair untuk merajut makna yang di anggap aneh, bertolak belakang, atau mungkin tak dipahami oleh pembacanya. Maka, kita hanya dihadapkan pada sebuah asal-mula, yakni proses terbentuknya puisi itu sendiri.
 
Sebagai sebuah nalar yang melingkar, puisi menjadi niscaya mengambil bagian sebuah pu blik untuk intim, sekaligus menyeluruh, dengan tidak ingkar pada lingkungan sekitar.
 
Persoalan yang banyak ditemui ialah kedalaman makna, di mana sejumlah diksi gagal membangkitkan aura sehingga acap kali ditemui bentuk puisi yang datar, tak lagi mengejutkan, atau imajinasi yang terkesan biasa saja. Tentu ini persoalan mendasar bagi seorang penyair.
 
Setiap penyair percaya, sebuah makna kata memerlukan kerja yang serius, bermain- main, atau tapak hari-jauh sebelum puisi itu dibentuk. Dan, apa yang ditulis HB Jassin beberapa tahun lampau tampaknya masih pantas dijadikan sebuah rujukan jika kita tak pernah tahu apa maksud si penyair dalam puisinya maka masukilah bagaimana keseharian seorang penyair. Bagaimana ia mesti berkelahi dengan sejumlah kalimat, mencoret-coret sketsa, sebelum puisi itu dilempar dan menemui publiknya.
 
Sebagai suatu bentuk lingua yang lumayan tua, puisi memang harus menjaga semua komponennya. Dalam bahasa Hasif Amini, ibarat sejumlah mekanik yang membutuhkan tenaga dari luar (arus) listrik untuk membangkitkannya.
 
Dengan demikian, puisi akan bersimpuh, kemudian menggeletar di antara aura bunyi lainnya. Sebab, lingkar pikir manusia terkadang selalu membelenggu. Yang membuat kita mem batasi gerak sehingga imajinasi yang tertuang dalam sejumlah diksi berhenti setelah kita selesai membacanya.
 
Seorang penyair pernah berucap kepada saya, puisi yang baik itu yang tetap berdenyar sepanjang masa. Di mana seluruh rangkuman jejak tertinggal di sana. Kata-kata penuh pukau, memotret seluruh unsur depan sadar manusia. Getarannya membangunkan semua ketertinggalan kita.
 
Wah, kalau sudah begitu, saya kira puisi merupakan sebuah benda yang hebat. Meman carkan sejumlah aura, setiap kelindan di dalamnya terbungkus jadi satu. Sebuah tumpangan kalimat yang memaksa kita mengem bara ke negeri-negeri yang tak “bernama”. Imajinasi mungkin sebuah formula ajaib.
 
Untuk itu, seorang penyair harus rajin-rajin mengasah kepekaannya, mengamati kehidupan, mendengarkan apa yang dirisaukan, menanam gelisah, menjemput seluruh kenangan yang pernah tinggal di kepalanya.
 
Puisi merupakan percikan yang sederhana, rumit, dan gampang. Pengalaman “berke lahi”dengan kata itu yang makin membuncahkan nurani dalam teks sebuah puisi. Simak dalam sajak Goenawan Mohammad “Kwatrin Pada sebuah Poci”-sebuah konsep dasar puisi (seni, pada umumnya) yang pernah dibedah A Teeuw dalam catatan akhir kumpulan Asmaradana.
 
Pun usaha keras dari Joko Pinurbo dalam sa jak “Koma”, “Pelajaran Menulis Puisi” di kumpulan Telepon Genggam. Sebagaimana belan tara, kita pun memasuki puisi yang ditulis para penyair. Menyibak setiap ruas, sudut, jenis diksi, bertamasya dengan penuh debar.
 
Sesekali ditemui banyak elegi yang muncul tak berkesudahan. Tapi, di kali lain, kita bersua pula dengan kenyataan-kenyataan yang beku meskipun tetap menyenangkan.
 
Puisi seakan membaurkan semua sisi-sisi kehidupan, yang paling hitam, putih, mungkin pula abu-abu. Tantangan para penyair ialah bagaimana menelurkan sebuah realitas ide itu menjadi ayam. Hal yang sama pula terjadi dalam pola pemikiran Plato tentang sebuah konsep dunia ide yang pernah ditulisnya. Dunia ide tak pernah habis, akan terus ada.
 
Jarak aman Semua penulis percaya setiap kali menuliskan sesuatu memerlukan jarak yang aman terhadap peristiwa. Dengan demikian, ia bisa membaca lagi semua hal yang tak terpikirkan sebelumnya.
 
Melalui jarak aman tersebut, sebuah tulisan akan berdiri sendiri (independen) dengan tidak bergantung pada peristiwa tersebut. Meskipun sebuah puisi, sebagaimana yang pernah dilontarkan Sutardji Calzoum Bachri, acap kali berada pada posisi “sakratul maut”, seperti ingin menjemput setiap keinginan dan menempatkan realitas secara kasar dan gamblang. Padahal, realitas itu sendiri, terutama dalam sebuah karya sastra, memerlukan polesan-polesan. Sehingga, membentuk sebuah tandingan dari realitas yang ada.
 
Setiap kali menghitung diksi yang dipakai dalam puisi, penyair mencoba memilah, membelah, kemudian menginsyafi diri sendiri.
 
Sebuah puisi memang harus disusun dengan penuh kehati-hatian, sebuah kata yang gagal saja bukan tidak mungkin bisa merusak seluruh bangunan puisi itu secara utuh.
 
Melalui teks itu pulalah terjadi interaksi antara pembaca dan penulis. Sebuah permain an syaraf, sebuah himpunan kalimat yang me me rlukan proses membaca. Membaca, se but Goenawan, adalah usaha membongkar teks secara lebih jauh. Seperti lecutan gerak yang tampak. Melalui rangkai kalimat, alinea, lembar- lembar pengetahuan disibak. Mungkin.
***

*) Alex R. Nainggolan Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Jurnal Sajak, Suara Pembaruan, Jawa Pos, dan Seputar Indonesia Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila. http://sastra-indonesia.com/2016/03/puisi-penyair-dan-pelbagai-hambatannya/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar