Saturday, July 10, 2021

Di Batas Majas

Hasif Amini
majalah.tempointeraktif.com
 
Di sudut sebuah simpang tiga yang agak sepi pernah terpasang sebentang spanduk de-ngan kata-kata ini: “Bersama kita memupuk erat tali persaudaraan sebagai bangsa”. Sebuah niat mulia, tentu, di luar soal kelayuan ung-kapan dan kerancuan susun-annya. Saya pun langsung sepakat: pesan yang terkandung dalam seruan itu memang sangat penting-meski mafhum bahwa deretan kata-kata tersebut niscayalah sekadar versi cetak sebuah bualan tingkat tinggi.
 
Tetap saja, rasanya ada yang tidak beres. Ternyata saya telah terganggu oleh frase “memupuk erat tali persaudaraan” di sana. “Tali persaudaraan” pastilah bukan ungkapan sulit–jika setiap orang yang bersaudara diibaratkan sebagai sehelai serat yang terjalin bersama serat-serat lain membentuk seutas tali yang kuat; atau jika dibayangkan bahwa di antara orang-orang yang bersaudara terentang semacam tali gaib yang menghubungkan mereka. Namun, apa ar-ti-nya, dan apa gunanya, “memupuk … tali”? Bukankah tali tak akan jadi le-bih kuat (apalagi lebih subur) setelah “dipupuk”, yakni diberi pupuk? Dan “memupuk erat”, apa pula artinya itu?
 
Jangan lupa: konotasi tak pernah lari terlalu jauh dari denotasi. Ketika sebuah kata mendapat tambah-an -makna baru, lazimnya konotasi- itu memiliki pengertian yang tetap berkait-an dengan denotasinya. Kata “pupuk” dan “tali” di atas, contohnya, ketika digunakan sebagai kiasan, tetap tak bisa terlepas sama sekali dari bayanga-n makna denotatifnya. Sebab, memang makna asal itulah yang menjadi semacam “poros” bagi aneka ragam makna tambahan yang terbentuk kemudian, termasuk ketika bertemu dengan kata lain dan melahirkan sebuah kiasan. “Bunga desa”, “bunga bangsa”, “bunga bank”-betapapun ber-bedanya pengertian ketiga metafor itu, tetap ada sifat-sifat bunga dalam arti harfiah yang diam-diam kita bayang-kan melekat pada ketiganya.
***
 
Suatu siang, di satu gerbong yang tak terlalu sesak, saya membaca sebuah artikel tentang para penumpang atap kereta rel listrik. Sehalaman laporan yang seru dan menarik. Tetapi sebaris ungkapan dalam artikel tersebut sempat membuat saya terkedut: “Tak sampai 20 menit, KRL yang ditunggu sudah menampakkan moncongnya. Serulingnya menyalak saat mendekati gerbang stasiun.” Saya terkesima. Asta-ga: serulingnya menyalak.
 
Setahu saya, kereta listrik memiliki semacam klakson (dengan bu-nyi nyaring panjang) yang biasa dibunyikan setiap kali kereta mendekati stasiun- atau tempat-tempat yang banyak dilintasi pejalan kaki atau kendaraan berban. “Menyulap” klakson jadi se-ruling adalah sebuah percobaan penuh kenekatan, dan menjadikan seruling itu menyalak jelas sebuah distorsi yang berlebihan. Andaikata ungkapan tersebut muncul dalam sebait puisi surealis, misalnya-yang tak hendak menyampaikan informasi apa pun selain barangkali sengkarut bawah sadar-boleh jadi itu memang “sudah kodratnya”. Adapun dalam sebuah laporan jurnalistik, upaya mencapai “efek puitis” namun kurang kendali semacam itu bisa menyesatkan (bagi pem-baca yang tak akrab dengan hal-ih-wal yang digambarkan), atau hanya meng-herankan, atau se-kadar menggelikan.
 
Sebuah metafor, jika kita tengok gunanya dalam pemakaian sehari-hari, sebenarnya “bertugas” membantu orang mendekati dan memahami suatu pengertian yang kompleks. Sesuatu yang mestinya memerlukan keterang-an panjang jadi teringkas (dan terlukis) dalam satu-dua citraan benda yang punya kemiripan (sifat maupun bentuk) dengannya, cukup umum dikenal, dan mudah atau enak dibayang-kan. Perihal “umum dikenal, mudah, enak” itu tentu bisa berubah dari waktu ke waktu. Apa yang ganjil atau janggal hari ini mungkin menjadi wajar dan baik-baik saja suatu hari nanti, begitu pun sebaliknya. Maka bukanlah hal aneh jika suatu peni-laian tentang ke-tepatan dan kemantapan suatu majas (termasuk penilaian dalam tulisan ini) suatu ketika mendapat sanggahan atau koreksi, dan koreksi atau sanggah-an itu barangkali kelak akan mengala-mi pembalikan lagi, dan seterusnya.
***
 
Tapi apa boleh buat: selama kita hendak mengadakan komunikasi de-ngan orang lain melalui bahasa, setidaknya sampai hari ini, soal kejelasan dan kepaduan ungkapan tampaknya masih penting. Lain perkara jika seorang penulis atau pelisan meng-anggap pembaca atau pendengarnya sebagai “musuh” yang perlu dibikin bingung, pusing, dan muntah, sebelum pada akhirnya menyerah.
 

14 Agustus 2006. http://sastra-indonesia.com/2011/09/di-batas-majas/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar