Tuesday, June 1, 2021

PINTU

Taufiq Wr. Hidayat *
 
Tatkala seseorang hendak mencari hukum, ia menghadapi penjaga pintu yang berdiri sigap dan tegap di depan pintu. Dengan tegas, sang penjaga pintu yang kokoh-kekar sekokoh-kekar pintu yang dijaganya itu, mengatakan pada orang yang datang tersebut supaya dirinya menunggu di depan. Pintu hukum tertutup rapat.
 
“Hukum sedang sibuk! Harap menunggu!” ujar sang penjaga pintu.
 
Seseorang yang menunggu dalam “Di Penjelang Hukum”-nya Franz Kafka itu pun menunggu. Ia menunggu bersama perbekalan jauh. Berpuntung-puntung rokok berserakan. Ia menanti sampai cambang dan rambutnya memanjang. Entah berapa minggu, bulan, tahun, mungkin abad ia menunggu. Dan pintu masih tertutup rapat dengan penjaganya yang tegap dan sigap. Barangkali ia bernyanyi lagu lama: “aku masih seperti yang duluuu, menunggumuuu sampai akhiiirrr hidupkuuu... .”
 
Alangkah sibuknya hukum. Betapa ramai dan rumitnya, betapa ribut dan mustahilnya. Namun ketika seseorang berhasil melewati pintu depan, ia pun harus melewati entah berapa ratus pintu lagi di dalamnya. Pintu-pintu berdiri di dalam pintu-pintu. Pintu di dalam pintu, di dalamnya pintu, terdapat pintu yang dihadang pintu- pintu.
 
Pada pintu-pintu, orang harus melintas. Ia perlu melintasi batas, guna sampai entah pada apa. Pintu menjadi penanda batas itu. Ia memisahkan ruang luar dan ruang dalam. Di dalamnya, ia memisahkan wilayah dapur dan kamar mandi. Dan terus begitu. Di balik pintu-pintu itu, kita bayangkan meja-meja yang penuh kertas menumpuk dan berserak, berkas-berkas, alat-alat tulis, dan entah apa lagi. Pada satu meja di balik satu pintu, orang memerlukan waktu berabad-abad cuma untuk menemukan sebuah nama atau selembar data yang ketelingsut entah di mana. Sedang ribuan pintu yang lain masih harus dilintasi, ribuan meja harus dihadapi. Alangkah mustahilnya. Absurd. Seolah memang manusia tak pernah beres dengan segala sistem yang dibangunnya sendiri. Di situ ada begitu banyak kepentingan, atau kebutuhan praktis yang tak sepenuhnya dapat diselesaikan, mungkin selain para pemegang kunci kekuasaan. Orang hendak mendapatkan keadilan dengan cara-caranya yang sangat tidak adil. Tidak fair. Dan curang. Manusia dikorbankan demi sistem. Sistem menjadi lebih utama dan lebih berharga daripada manusia si pembuat sistem itu sendiri. Protokol kesehatan lebih penting daripada kebutuhan mendesak terhadap kesehatan itu sendiri. Betapa sesaknya!
 
Konon di dalam diri manusia ada pintu-pintu. Bahkan dalam agama, orang menyebutnya “pintu ampunan” atau “pintu surga”. Apakah di balik “pintu ampunan” atau “pintu surga” itu masih terdapat ribuan pintu lagi? Dalam fana, segala batas menegas. Membedakan satu keadaan pada keadaan lain. Satu wilayah dengan wilayah lain. Satu ketentuan pada ketentuan lain. Dan semua itu dipisahkan oleh pintu. Tetapi bukankah tanpa menyadari adanya batas, manusia tak lagi pantas? Sehingga setiap batas harus ditandai dengan pintu, agar orang mengetuknya. Itu melelahkan. Sangat birokratis. Dan absurd. Bahwa kesadaran pada batas perlu dipertegaskan dengan sehelai pintu, lantaran kesadaran pada batas itu seringkali tidak konsisten dalam diri manusia. Dan apakah bagi kaum beriman, Tuhan pun harus menciptakan pintu-pintu bagi manusia guna sampai pada-Nya? Betapa formalnya dan birokratisnya Tuhan!
 
Meski sesungguhnya batas-batas itu hanya berlaku bagi manusia. Dan jika Tuhan diimani maha-tak-terjangkau, manusia tak perlu mengklaim Dia pada kepentingannya sendiri. Tuhan yang sangat birokratis, menugaskan malaikat-malaikat mengurus dan mendata manusia dengan ribuan berkas, kertas-kertas, atau catatan-catatan. Kemudian menerbitkan sebuah file atau buku tebal yang memuat data, identitas, dan segala perbuatan manusia. Apakah Tuhan membutuhkan hitungan, data, dan berkas-berkas makhluk-Nya? Apakah penting bagi Tuhan untuk mengetahui dan memeriksa segala catatan dan buku amal-perbuatan manusia guna memenuhi sarat melintasi “pintu ampunan” atau “pintu surga”-Nya?
 
Sahdan di pintu surga, ketika para pemuka agama yang semasa di dunia rajin menghimbau umat pada jalan keimanan, tengah sibuk menunggu dan mengisi daftar identitas diri dan memperinci jutaan catatan amalnya, terjadi keributan. Seseorang dengan topi terbalik di kepalanya, entah muncul dari sebelah mana, tiba-tiba menyelonong seenaknya melintasi pintu surga yang dijaga ketat para malaikat. Para penjaga pintu surga yang kokoh-kekar, terkecoh! Dan pria dengan topi terbalik itu berhasil lolos dengan mudah melewati pintu surga dengan penjagaan berlapis. Para pemuka agama yang mengantre sambil melengkapi berkas-berkas amalnya itu protes.
 
“Siapa dia? Kenapa dia seenaknya, sudah gak punya sopan-santun, main selonong-selonong lewat pintu surga tanpa melengkapi berkas-berkas?” tanya para pemuka agama dengan heran pada para malaikat penjaga pintu surga.
 
“ Woooh... Itu sopir angkot! Ketika di dunia dia suka ngebut, para penumpangnya malah berdoa, mendoakannya selamat sampai tujuan. Sehingga dia dipercepat oleh Tuhan masuk surga dari pintu mana pun tanpa melengkapi berkas-berkas, cukup Surat Izin Mengemudi. Sedang kalian, kalau berkhotbah sangat lama, sehingga umat kalian malah memaki-maki dalam hati. Dan kalau kalian berceramah, selalu menciptakan keributan, perpecahan, dan kebisingan di dunia. Ajaran kalian tidak memudahkan, justru selalu mempersulit umat. Sehingga banyak orang terganggu. Maka kalian harus mengantre lama di depan pintu surga ini, supaya melengkapi berkas secara detil dan jelas. Kurang satu berkas saja, surga tidak diizinkan,” jawab malaikat penjaga pintu surga tegas.
 
Mereka pun menunggu di depan pintu surga yang masih tertutup rapat itu, yang dijaga secara ketat para penjaga pintu yang kokoh-kekar, tegap, dan selalu sigap.
 
Tembokrejo, 2021

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/06/pintu/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar