Monday, June 21, 2021

Perahu Rapuh Idrus Tintin

Agus Sri Danardana *
riaupos.com
 
Bunyi pepatah: Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya rupanya diyakini betul kebenarannya oleh Idrus Tintin. Sebagai sastrawan besar (setidaknya di Riau), ia tetap menghargai jasa-jasa para pendahulunya dengan membaca karya-karyanya.
 
Salah satu pendahulunya itu adalah Hamzah Fansuri. Ia tidak sekadar mengenal nama dan deretan judul karya “pahlawan”nya itu, tetapi betul-betul memahami dan bahkan mencoba menjadikannya sebagai barometer (ke)hidup(an). Hal itu dengan jelas tampak pada salah satu sajaknya, berjudul “Perahu”. Sajak itu oleh Idrus Tintin diberi catatan: Setelah Hamzah Fansuri di bawah judulnya. Catatan itu kemudian diberi penjelasan (berupa kutipan sebagian syair “Perahu” Hamzah Fansuri), seperti tampak dalam kutipan lengkapnya berikut ini.
 
PERAHU
Setelah Hamzah Fansuri *)
 
Perahuku kecil dan rapuh
Layarnya koyak dayungnya pendek
alat perabotnya tak kuat-kokoh
bekal airnya tanggung-tanggung
kayu dibawa terang tak cukup
perahunya
dayungnya
kemudinya
pawangnya
semuanya tak handalan.
 
Ingin seperti punya Hamzah
gagah mengarung medan lautan
alatnya kuat bekalnya cukup
laju menepis buih gelombang
perahunya
dayungnya
kemudinya
semuanya memakai nama Allah.
 
Sejak dulu sudah ibuku
pesankan:
belajarlah rajin-rajin
mengaji jangan malas.
Tapi dasar bebal dasar nakal
muqadam pun aku tak katam
Bagaimana hendak mengarungi
Lautan Sailan
tempat laut terlalu dalam
ribut besar badai dan topan
banyak perahu rusak tenggelam
bagaimana hendak pergi
menyelam
untuk mengambil permata nilam
baru sampai ke laut Bintan
perahu sudah mau karam.
 
*) Sebagian dari syair ?Perahu? karya Hamzah Fansuri berbunyi:
 
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil dirimu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat juga kekal diammu.
 
Perteguh juga alat perahumu
Hasilkan bekal air dan kayu
Dayung pengayuh taruh di situ
Supaya laju perahumu itu
 
Laut Sailan terlalu dalam
Di sanalah perahu rusak
dan karam
Sesungguhnya banyak
di sana penyelam
Jarang mendapat permata nilam
 
Wujud Allah nama perahunya
Ilmu Allah akan dayungnya
Iman Allah nama kemudinya
Yakin Allah nama pawangnya.
 
(dikutip dari kumpulan puisi Taufiq Ismail [Ed.]: Horison Sastra Indonesia 1: Kitab Puisi [2002: 138-139])
 
Dalam sajak itu tampak dengan jelas bahwa Idrus Tintin dengan sengaja menjadikan Hamzah Fansuri (melalui “Syair Perahu”) bukan hanya sebagai acuan, melainkan juga sebagai pembanding (intertekstualitas) sajaknya. Dua hal: pengacuan dan pembandingan itulah yang akan dibicarakan dalam tulisan ini.
 
“Syair Perahu”
 
“Syair Perahu” adalah salah satu syair Hamzah Fansuri yang sangat terkenal. Menurut Braginsky, sejarawan Nusantara asal Rusia, syair ini memiliki banyak versi dan terus berkembang setelah kematian Hamzah Fansuri. Namun, beberapa syair awalnya dipandang masih “asli” dan bahkan disinyalir menjadi cikal-bakal lahirnya pantun Melayu modern saat ini. Sebagai seorang sufi, Hamzah Fansurilah yang pertama kali menyampaikan ajaran-ajarannya melalui ruba’i, pantun empat baris bersajak a/a/a/a atau a/b/a/b, di Indonesia. Konon, pola pantun empat baris yang diperkenalkan Hamzah Fansuri inilah yang kemudian berkembang di Indonesia.
 
Di samping memiliki keistimewaan dalam cara penyampaian (melalui ruba’i), Hamzah Fansuri juga memiliki keistimewaan dalam mengemas kandungan isi ajaran tasawufnya. Ia tidak menyampaikannya secara vulgar, tetapi secara simbolis dan metaforis, seperti tampak pada “Syair Perahu”. Dalam syair itu, kehidupan ditamsilkan dengan sebuah perahu. Barangkali, berkat jasanya itu, Hamzah Fansuri (dan “Syair Perahu”) kini telah menjadi mitos yang dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh banyak orang. Tidak terkecuali Idrus Tintin.
 
Sajak “Perahu”
 
Dilihat dari strukturnya, sajak “Perahu” karya Idrus Tintin ini sangat sederhana: hanya terdiri atas empat bait yang lariknya pendek-pendek serta kutipan empat bait dari syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri sebagai catatan kaki. Kutipan empat bait syair “Perahu” Hamzah Fansuri itu, di samping berguna sebagai referensi atau acuan, juga bermanfaat sebagai kerangka bandingan dalam intertekstual. Barangkali itulah sebabnya Idrus Tintin merasa perlu menambahkan keterangan di bawah judul sajaknya itu dengan kata-kata Setelah Hamzah Fansuri. Sebagai sebuah referensi, keterangan itu menunjukkan bahwa perahu yang diciptakan/dimilikinya itu lahir setelah perahu Hamzah Fansuri.
 
Sajak “Perahu” berkisah tentang pengakuan dan penyesalan si aku lirik (Idrus Tintin) atas keberadaan dirinya yang bebal dan nakal. Ibarat sebuah perahu, ia bahkan sama sekali tidak menyerupai perahu Hamzah Fansuri yang mampu mengarungi lautan makrifat.
 
Kisah perahu (buatan) aku lirik ini dimulai dengan pernyataan/pengakuan: Perahuku kecil dan rapuh/layarnya koyak dan dayungnya pendek. Setelah menjelaskan lebih rinci akan kerapuhan perahunya: tidak memiliki perabot yang lengkap, tidak kuat dan kokoh, bekalnya serba tanggung, dan semuanya serba tak handal, si aku lirik mengemukakan keinginannya. Ia berkeinginan memiliki perahu yang tangguh, seperti milik Hamzah Fansuri. Akhirnya, si aku lirik pun menyesal. Beginilah cerita penyesalan itu terjadi.
 
Sejak kecil sebenarnya aku lirik telah dipesan oleh ibunya untuk rajin belajar: membaca, mengaji, dan mendalami Alquran hingga katam. Namun, karena bebal, nakal, dan malas, aku lirik tidak dapat mengatamkannya, maqadam sekali pun. Oleh karena itu, si aku lirik selalu bimbang dan terus bertanya: Bagaimana hendak mengarungi lautan Sailan dan bagaimana hendak pergi menyelam mengambil permata nilam, jika baru sampai di Laut Bintan saja perahunya sudah mau karam?
 
Tamsil Perahu
 
Baik “Syair Perahu” (Hamzah Fansuri) maupun sajak “Perahu” (Idrus Tintin) sama-sama menamsilkan kehidupan dengan perahu. Dalam konteks ini, manusia diibaratkan sebuah perahu yang sedang (dan harus) mengarungi lautan kehidupan. Bedanya, perahu Hamzah Fansuri kokoh dan mampu mengarungi lautan, sedangkan perahu Idrus Tintin rapuh dan kandas.
 
Begitulah Idrus Tintin. Sajak “Perahu”-nya, bisa jadi, bukan hanya dimaksudkan sebagai potret dirinya yang rapuh dan kecil di depan kekokohan dan kebesaran Hamzah Fansuri, melainkan juga dimaksudkan sebagai pengingat masyarakat agar mau bangkit dari kerapuhan. Bagaimana caranya? Idrus Tintin menunjukkannya pada “Syair Perahu” Hamzah Fansuri, bukan pada sajaknya.
***
 
*) Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau. Tinggal di Pekanbaru. http://sastra-indonesia.com/2010/09/perahu-rapuh-idrus-tintin/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar