Saturday, June 5, 2021

“LYSISTRATA” Cara Jitu Menghentikan Perang *

Robert Adhi KS, Taufik Ikram Jamil
Kompas, 24 Maret 1991
 
“Kami bersumpah. Sebelum perdamaian terjadi antara Sparta dan Athena, kami tak akan berbuat anu dengan lelaki. Kalau dpaksa untuk anu, kami akan dingin seperti batu… Apabila kami melanggar sumpah ini, kami rela dihukum seberat-beratnya.”
 
Perempuan-perempuan Athena dan Sparta itu bersumpah, untuk menghentikan perang yang berkecamuk diantara keduanya. Dan, seperti halnya dialog lain yang diucapkan secara koor, ritmis, bersanjak dan lamban, sumpah itu pun dikatakan secara koor dalam lakon Lysistrata oleh Bengkel Teater yang disutradarai Rendra di Graha Bhakti Budaya PKJ-TIM (Pusat Kesenian Jakarta Timur-Taman Ismail Marzuki), Sabtu malam (23/3/1991).
 
Syahdan, komedi Yunani karya Aristhopanes ini bercerita tentang perang yang tak akan terhindar antara Athena dan Sparta. Maka, seorang bangsawan dari Athena, Lysistrata (Ken Zuraida) menggalang pertemuan wanita-wanita yang berpengaruh di seluruh Yunani. Ia imbau kaumnya baik di Athena maupun Sparta untuk mogok seks. Langkah kejut ini ditempuh sebagai ultimatum agar kaum lelaki segera menghentikan perang. Ini tentu saja setelah melewati perdebatan yang cukup alot dan main dengan Stratylis (NC Nani Nasution), Clorus (Nyai Dewi Pakis), Lampito (Clara Sinta), Mirina (Lily Suardi), dan terutama dengan Calisa (Ria Rondang Pardede).
 
Pada awal pertunjukan ketika lampu yang ditata Jose Rizal Manua terang, lima pemain musik sudah mangkal pada level tertinggi di latar belakang. Latar panggung berwarna hitam. Level-level yang makin rendah ditata di depannya dalam komposisi simetris. Empat rumpun bambu ditancapkan, di antaranya memberi kesan gapura tepat di depan pemusik.
 
Beberapa pemain secara simetris muncul dari kanan dan kiri, sementara musik tataan Sawung Jabo masih bertalu. Mereka kemudian duduk di depan pemusik, tenggelam di belakang level yang lebih rendah, memberi kesan simpingan wayang jajawan wayang kulit di kanan dan kiri gapura yang dibentuk oleh gunungan. Terlihat juga upaya pementasan ini memanfaatkan roh lenong terutama pada keluar-masuknya aktor. Musik antara lain dominan diisi kepyak, simbal, saron dan kethuk-kenong.
 
Musik berakhir ketika Lysistrata muncul dan mulai bicara. Ia prihatin terhadap nasib kaum wanita. Mereka hanya mau daang kalau ke pesta yang penuh gincu. Tetapi, tak demikian ketika negara dilanda kegawatan. “Di mana mereka?” kata Lysistrata. Muncullah Calisa. Lysistrata bilang bahwa kita sedang menghadapi sesuatu yang besar. “Besar dan marem?” tanya Calisa dengan geit. “Wah, benar-benar kumel fantasi kamu.” Kata Lysistrata sewot.
 
Plesetan-plesetan dialog ke arah fantasi yang kumal itu kemudian banyak mengisi perbincangan keduanya. Begitu pun ketika datang wanita-wanita dari Sparta. Bahkan ketika sumpah telah mereka ikrarkan dan muncul kaum laki-laki bertelanjang dada dari simpingan tadi. Kaum lelaki itu muncul beruntun berlompatan seperti katak. Mereka lalu bergandengan seperti gerbong, menari serempak mengelilingi panggung, dengan gerak pinggul yang menjurus ke arah fantasi kumal.
 
Semula kaum wanita masih bisa tahan terhadap godaan itu. Mereka masih menduduki gedung perbendaharaan negara. Kunci kas negara bahkan disimpan di perut bagian bawah Lysistrata. Tetapi, lama-lama pertahanan mereka runtuh. Banyak yang melanggar sumpah. Pejuang perdamaian ini bahkan telah menangkap basah selusin orang dalam seminggu.
 
Sama seperti laki-laki, kaum wanita menderita karena birahi tak tersalurkan. Puncak ketidaktahanan itu dilakonkan suami-istri Calisa dan Cinesias (Adi Kurdi), sampai panglima perang Athena itu merencanakan perjanjian perdamaian. Datanglah utusan Sparta yang berjalan mundur memunggungi penonton. Pemogokan seks, katanya juga telah merata di Sparta. Akhirnya perdamaian tercapai. Pertunjukan pun selesai.
 
Lampu baru bermain di akhir pertunjukan ketika seluruh pemain berjajar dan beberapa di antaranya mengatur salam kepada penonton. Monotonitas lampu selama pertunjukan itu masih ditambah lagi dengan monotonnya blocking dan regrouping. Juga minimalnya penguasaan timing rata-rata pemain sebagai unsur utama komedi. Kecuali, tentu saja, bagi aktor sekaliber Rendra dan Adi Kurdi. Tanpa kemampuan timing, terasa para pemain hanya mengucapkan jejak-jejak kepenyairan Rendra yang menulis ungkapan-ungkapan itu.
 
Memilih lakon ini, tampaknya Rendra percaya bahwa, seks berada pada posisi yang vital, tetap punya finishing sakral. Di dalam seks, totalitas kosmos itu terengkuh. Tapi mestinya hal itu bisa tampak, paling tidak, dalam adegan Calisa dan Cinesias. Pada adegan ini, sebenarnya musik apik dari Sawung Jabo cukup membangun suasananya. Tetapi, mungkin lampu yang selalau general dari awal, kurang partisipatif. Jika adegan tersebut berhasil mengantarkan seks (suami-istri) sebagai sesuatu yang sakral setidaknya ini akan mengimbangi adegan-adegan lain yang terasa hanya berupa plesetan ke arah fantasi yang kumal.
 
Juga, tanpa puncak itu, plesetan seks seperti ungkapan atas-bawah ke arah “fantasi sosial politik”, terasa hanya tempelan. Tanpa audio-visualisasi bahwa seks itu sakral, dengan demikian intinya kosmos, bagaimana mungkin seks begitu mudah dikaitkan dengan segala aspek, termasuk perjuangann keadilan untuk rakyat dan sebagainya. Kecuali kalau Rendra memang sejak awal berkeinginan mengangkat soal seks ini ke pentas, hanya tinggal sebagai hubungan badaniah belaka.
***
 
*) Tulisan ini merupakan kritik sastra terhadap pementasan Wahyu Sulaiman Rendra, yang dimuat Kompas dan masuk di buku “Rendra, Ia Tak Pernah Pergi.”
http://sastranesia.com/lysistrata-cara-jitu-menghentikan-perang/

http://sastra-indonesia.com/2019/11/lysistrata-cara-jitu-menghentikan-perang/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar