Monday, June 21, 2021

IRONI SEBUAH SANDAL UNTUK MIMPI NOBEL SASTRA

Harga Diri Sastra di Mata Sandal Jepit
 
Dani Sukma Agus Setiawan
 
Baru-baru ini bangsa kita dihebohkan oleh sandal jepit. Bagaimana tidak, beberapa pekan pemberitaan mengenai tragedi pencurian sandal yang dilakukan oleh ALL, bocah berusia 15 tahun terus bergulir bagai roda panas. Masyarakat gerah melihat briptu AR yang melakukan tindak kekerasan perkara sandal yang ‘katanya’ dicuri sang bocah. Kegemparan pun terjadi, masyarakat berduyun-duyun menyumbangkan sandal jepit ke posko “seribu sandal jepit”. Aduh, mau jadi apa Negara kita jika perkara sandal saja seorang penegak hukum yang seharusnya melindungi masyarakat malah menindas dengan buas. Gonjang-ganjing perihal sandal merembet ke dunia internasional, tercatat beberapa media massa luar negeri ikut beramai-ramai memberitakannya, mulai dari Singapura hingga AS. Ada yang memberi judul “Indonesians Protest With Flip-Flops”, “Indonesians have new symbol for injustice: sandals”, “Indonesia’s Flip-Flop Revolution”, “Indonesians dump flip-flops at police station in symbol of frustration over uneven justice”, maupun “Indonesians fight injustice with sandals”.
 
Anda takjub? Apalagi saya. Alangkah hebatnya negara kita, hanya dengan sandal bisa menghebohkan dunia. Mari kita bertepuk tangan untuk kesaktian sebuah sandal yang mampu menaklukkan media internasional. Tetapi, timbul sebuah pertanyaan yang menggelitik, bagaimanakah dengan sastra kita di mata dunia? Oi, untuk yang satu ini kita mesti mengurut dada, sebab sudah 66 Tahun negara kita merdeka, tak satupun sastrawan kita yang meraih nobel sastra. Namun, kita tak boleh berkecil hati, sebab paling tidak masih ada yang pernah mengecap manisnya menjadi kandidat peraih nobel sastra dari negara kita, yakni Pramoedya Ananta Toer. Ironisnya, pahlawan sastra ini sempat dimusuhi oleh sastrawan lain, hal tersebut terjadi pada saat Pram (demikian ia akrab dipanggil) menerima medali bergurat wajah presiden ke tiga Filipina, Ramon Magsaysay dan uang sejumlah USD50.000, sekira 26 sastrawan dan budayawan yang dipimpin Taufiq Ismail dan Muchtar Lubis memprotes peanugerahan penghargaan itu. Alasannya, mereka menganggap Yayayasan Ramon Magsaysay mengabaikan “dosa politik sastra” Pram pada masa lalu. Sebagaimana diketahui, Pram cukup dekat dengan lekra yang notabene organisasi sayap PKI yang dilarang pada masa orde baru.
 
Yulhasni, salah seorang akademisi sekaligus praktisi sastra, pernah mengulas permasalahan ini dalam tulisannya saat mengupas buku “Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, karangan Augus Hans den Boef dan Kees Snoek (http//www.leterater.com), ia berpandangan bahwa “Mungkin saja Pramudya Ananta Toer yang berulangkali masuk nominasi tersebut gagal karena ‘perseteruan’ abadinya dengan kelompok Non-Lekra. Perseteruan itu menjadi semacam ‘batu sandungan’ bagi Pram untuk masuk dalam jajaran elit sastrawan dunia dalam konteks peraih hadiah Nobel Sastra tersebut.”
 
Terlepas dari kontroversialnya sosok Pram dengan segala praduga yang menyeret namanya, terbukti karya yang dihasilkan layak untuk dikatakan tinta emas dalam sejarah sastra Indonesia. Bahkan menurut Budayawan Arief Budiman –kakak kandung Soe Hok Gie- sastrawan lain seharusnya malu dengan kemampuan Pram, sebab bisa menghasilkan karya yang bagus dalam kondisi apapun.
 
Senada dengan apa yang diujarkan Arief, sejatinya Pram menjadi pelecut bagi sastrawan lain untuk menunjukkan eksistensinya dalam menghasilkan karya yang berkualitas dan dipandang dunia. Beruntung karya salah seorang novelis kita, Andrea Hirata, dipinang penerbit luar negeri untuk diterbitkan. Seperti yang diberitakan dalam Bisnis Jabar, Novel The Rainbow Troops (edisi internasional Laskar Pelangi) diterbitkan oleh penerbit Farrar, Strauss and Giroux (FSG).
 
Kita tentu berharap semoga karya Andrea bisa diterima dengan baik di dunia Internasional seperti di tanah air yang meledak bahkan sampai difilmkan. Apabila hal tersebut terjadi, bukan tidak mungkin Andrea berpeluang untuk menjadi salah satu kandidat peraih nobel sastra di masa mendatang. Lebih lanjut dalam pemberitaan di Bisnis Jabar, Andrea mengemukakan, “Penerbit itu bukan sembarang penerbit. Banyak Peraih nobel yang karyanya diterbitkan oleh penerbit itu. Selain itu, buku yang diterbitkanpun melalui seleksi ketat.”
 
Apa yang diungkapkan Andrea sepertinya tidak berlebihan, FSG adalah penerbit ternama yang berdiri sejak tahun 1946 dan merupakan penerbit yang paling banyak menerbitkan karya para pemenang nobel. Sebanyak 21 pemenang Nobel Sastra yang karyanya diterbitkan FSG antara lain TS Eliot, Pablo Neruda, Nadine Gormer, dan Mario Vagas Llosa yang mendapat Nobel Sastra 2010.
 
Sepertinya jalan sudah terbuka, namun harapannnya bangsa kita tidak hanya bergantung pada Andrea Hirata saja, semoga sastrawan lain akan menyusul untuk berkiprah di kancah Internasional sehingga impian untuk menyaksikan peraih nobel sastra dari Indonesia dapat terwujud di masa mendatang. Seumpama pertandingan tinju, sastrawan kita telah dipukul telak oleh sandal yang berhasil meraih angka maksimal dari dewan juri –dalam hal ini media internasional-, namun pertandingan masih bisa berlanjut, semoga ronde-ronde berikutnya sastrawan kita bisa bangkit untuk membuktikan bahwa harga diri sastra Indonesia lebih tinggi derajatnya dari sandal, jika tidak, bersiap-siaplah mengenang kesuksesan sandal sebagai prasasti kebanggaan terbesar yang mampu menjadi simbol bangsa Indonesia di dunia Internasional.
 
Serambi Kompak, Universitas Negeri Malang-2012

*) Dani Sukma AS, Penggagas Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) Sumatera Utara. Karyanya dimuat di berbagai media massa, selain itu termaktub juga dalam antologi sastra. http://sastra-indonesia.com/2012/04/ironi-sebuah-sandal-untuk-mimpi-nobel-sastra/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar