Sunday, April 11, 2021

Manusia Indonesia: Daniel dan Umbu

Hairus Salim
 
Umbu Landu Paranggi dan Daniel Dhakidae pergi dalam waktu yang hampir bersamaan. Keduanya terbang menuju sorga bergandengan sembari berbincang tentang puisi atau isu-isu politik dan kebudayaan.
 
Umbu adalah ‘Robin Hood’nya penyair Indonesia. Ia mencurahkan waktu dan tenaga, serta pikiran hampir di sepanjang hidupnya untuk puisi, dan membimbing para penyair. Ia adalah guru yang altruis, yang luar biasa baik dan bersemangat mendorong para penyair muda dan tak pernah cemburu pada keberhasilan mereka. Dunia puisi di mata Umbu adalah dunia spiritual, dengan penyerahan diri yang tulus dan ikhlas.
 
Sementara Daniel adalah ‘Kresna’nya intelektual Indonesia. Ia mencurahkan energi dan pikirannya untuk meneliti dan menulis, serta memberikan kritik-kritik sosial. Melalui Harian Kompas dan jurnal Prisma, ia menjaring para intelektual muda. Ia bersetia pada dunia intelektual ini dan tak pernah tertarik terjun ke politik.
 
Mungkin lepas dari perhatian kita bahwa kedua sosok ini berasal dari NTT, salah satu provinsi di kawasan timur Indonesia. Satu dari Ngada dan satu lagi dari Sumba. Ketika saya ke Flores, saya entah mengapa langsung ingat nama Daniel Dhakidae (dan nama-nama lain seperti Ignas Kleden, Gorys Keraf yang menulis buku klasik Komposisi, dan juga sastrawan senior Gerson Poyk). Demikian juga ketika ke Sumba saya tak bisa menutup ingatan pada nama Umbu Landu Paranggi dan seorang teolog Kristen yang pernah menjadi Ketua PGI, Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe.
 
Kawasan NTT secara umum, adalah daerah yang penuh perbukitan dan cenderung kering. Ancaman bencana di kawasan ini adalah kekeringan di musim kemarau. Kehidupan bertumpu pada perladangan dan perternakan. Saya bertanya-tanya, tentu dengan bias saya sebagai orang yang tinggal di Jawa, bagaimana kawasan seperti ini bisa melahirkan para pemikir dan aktivis hebat seperti Daniel dan Umbu? Dari mana minat baca dan hasrat intelektual mereka semai? 50 tahunan lalu, ketika para aktivis dan pemikir Indonesia masih didominasi oleh orang-orang Jawa dan Sumatera, tentu tidak terbayangkan akan lahir orang seperti Umbu dan Daniel ini.
 
Umbu dan Daniel bisa dikatakan segenerasi. Umbu lahir tahun 1943 dan Daniel tahun 1945. Masa muda mereka sama-sama dilalui di Yogya, bisa jadi keduanya pernah bertemu, bahkan cukup kenal baik. Entahlah. Apalagi keduanya sama-sama bersekolah di UGM. Setelah itu: Daniel ke Jakarta dan Umbu ke Denpasar. Keduanya lalu menjadi pendekar legendaris di bidangnya masing-masing.
 
Jadi apa yang membuat keduanya bisa melesat dan mencurahkan pengabdian seperti itu? Dugaan saya kekristenan mempunyai peran dan andil dalam perkembangan intelektual awal mereka: Kristen-Protestan dalam hal Umbu dan Katolik dalam kasus Daniel. Kekristenanlah yang memberi inspirasi dan menanamkan semagat intelektual mereka. Kekristenan dengan vitalitas transformatif dan perubahan. Kekristenan yang emoh pada kejumudan, keterbelakangan dan kebodohan. Dalam semangat teologi seperti itulah keduanya dididik.
 
Dalam riwayat hidupnya yang awal, sosok Umbu tampak lebih mencerminkan seorang penyair muda Kristen. Ia misalnya dalam usia belasan menulis puisi “Nyanyian Malam Natal,” yang menunjukkan keterikatannya yang kuat dengan teologi dan tradisi kekristenan itu. Puisi yang dimuat dalam Majalah Mimbar Indonesia tahun 1958 itu menggambarkan suasana saat Jesus Juru Selamat lahir ke dunia. (terima kasih kepada Odi Shalahudin yang menampilkan dokumen ini).
 
Nyanyian Malam Natal
 
        malam sunyi
        malam bunyi
        sorga sunyi
        sorga bunyi
        dunia ramai
        dunia damai
 
jauh dimalam sunyi dipadang tiada bernama
di Betelhem Efrata yang tiada berangin
telah lahir kristus dalam kandang yang hina
berbaring dalam palungan, berbedung kain lampin
 
        --Kristus telah lahir buat seluruh dunia—
        --Kristus telah lahir buat semua manusia—
 
panjatkan seluruh puji Kristus lahir buat seluruh dunia
nyaringkan semua suara Kristus lahir buat semua manusia
 
 “HALELUYA”
 
        malam sunyi
        malam bunyi
        sorga sunyi
        sorga bunyi
        dunia ramai
        dunia damai
 
Kalau kita baca puisi itu, kita tak lain berpendapat bahwa puisi ini ditulis oleh seorang ‘true-believer’ sejati. Puisi seorang yang saleh, dan dengan puisi ini, pantaslah disematkan kepadanya sebagai ‘penyair muda Kristen’.
 
Ikatan dengan kekristenan yang jauh lebih kuat kita temui dalam riwayat hidup Daniel Dhakidae. Ia semasa muda bersekolah di seminari, sekolahnya para calon pastur. Warna filosofis dalam pemikiran sosialnya tampak dari warisan belajarnya di sekolah yang di periode awal itu amat menekankan pengajaran filsafat. Daniel, seperti Umbu di tataran lain, akan menjadi pemikir Katolik.
 
Tapi ternyata tidak. Umbu memang jadi penyair dan penggerak dunia perpuisian, tapi tak ada lagi di sana predikat Kristennya. Demikian juga Daniel, ia menjadi intelektual dan pemikir, tapi bukan seorang romo, atau pemikir Katolik. Kekristenan atau agama secara formal menjadi wadah yang sempit bagi mereka.
 
Keduanya pada awalnya saya kira digerakkan dan dipengaruhi oleh kekristenan. Kekristenan yang progresif dan bergerak maju. Tapi sekaligus dengan itu, kekristenan itu markanya mereka lampaui. Dalam hal Daniel, belokan itu terjadi mungkin ketika ia dikeluarkan dari seminari karena menggelar seminar yang ingin mereformasi pendidikan imam katolik (terima kasih Made Tony atas esai biografisnya).
 
Sebenarnya keduanya punya peluang dan kesempatan besar menjadi elit di masyarakatnya. Keluar dari UGM di tahun ketika sarjana masih langka, lebih-lebih di NTT, jelas merupakan karpet merah untuk naik kelas. Lebih-lebih keduanya sudah merupakan elit agama dan elit adat sebelumnya (ingat untuk kasus Umbu, nama depan ini sudah menunjukkan ia seorang bangsawan). Menjadi sarjana dengan demikian menjadi elit modern baru. Tetapi keduanya lebih memilik jalan yang sunyi, dunia yang tidak hingar bingar dengan keriuhan ekonomi-politik.
 
Saya yakin bahwa agama (apa pun agamanya) dengan vitalitas pada kemajuan dan keterbukaan menjadi katup penggerak dan pendorong seseorang (atau sekelompok masyarakat). Tetapi agama memiliki batas-batas terjauhnya terutama ketika ia demikian terlembaga dan menjadi kemapanan tersendiri. Jika marka ini tidak bisa dilewati maka agama adalah lambang kebekuan. Ia menjadi kurungan yang membuat orang tak bisa bergerak dan merasa terhukum di dalamnya.
 
Demikian saya kira dengan dua orang legenda dari wilayah NTT. Mereka dipengaruhi dan digerakkan oleh agama, tetapi mereka berdua sekaligus melampauinya. Dengan mengatakan melampauinya, bukan berarti mereka anti-agama, mereka tetap orang yang beragama, orang yang relijius, yang tidak lagi pakai bendera, embel-embel, dan predikat.
 
Mereka mengindonesia, tanpa perlu menggunakan slogan harga mati!
 
7 April 2021
http://sastra-indonesia.com/2021/04/manusia-indonesia-daniel-dan-umbu/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar