Tuesday, February 16, 2021

PROLOG INGATAN PADA IBS

Raudal Tanjung Banua *
 
Suatu hari dalam tahun 1996, kami baru saja selesai makan malam dengan menu favorit: tempe goreng dan sayur oseng daun pepaya. Saat masih duduk melingkar di ruang tengah rumah Bedahulu bersama Bung Umbu Landu Paranggi, terdengar deru motor di halaman. Seorang kawan datang, dan segera menyatakan bahwa ia baru saja dari sebuah toko buku di bilangan jalan utama Kota Denpasar. Ia melihat buku puisi Iman Budhi Santoso (IBS), Dunia Semata Wayang, baru saja terbit.
 
Umbu senang sekali mendengar berita itu. Wajahnya cerah. Apalagi ketika kawan itu cerita bahwa yang memberi Prolog pada buku tersebut adalah Emha Ainun Nadjib dan yang memberi Epilog tidak lain Linus Suryadi AG. “Sudah pas itu!” kata Umbu. Kebiasaannya menjentik-jentikkan jari pada kardus bekas plat cetak Bali Post yang menjadi karpet istimewa kami, jadi semakin kencang saja. Jari itu seolah menari-nari menyimbolkan girang hati.
 
Sayang, kawan itu tidak membawa buku dimaksud. “Belum gajian,” katanya, sumringah. ”Besok kalau sudah gajian saya beli. Sepulang kerja tadi saya diberi tahu Ema, langsung saya cek ke toko buku, ternyata benar.”
 
Ema yang dia maksud adalah Ema Sukarelawanto, wartawan Harian Nusa Tenggara yang memang kerap memberi info terbitan buku baru. Selain Bli Ema, ada Bang Muchsin Lubis, juga wartawan Nusa yang suka bersikap serupa. Beliau ini pernah meminta saya untuk segera mencari Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang baru terbit sebab sebentar pasti akan hilang, katanya. Benar saja, sehari setelah saya beli, sisa buku itu raib dari rak toko buku.
 
Nah, kawan yang baru datang tadi mungkin memang tak perlu bergegas membeli Dunia Semata Wayang. Kejaksaan Agung mungkin masih disibukkan buku Pram. Rasanya mustahil pula buku puisi cepat ludes diborong konsumen. Jadi sementara, info yang dia sampaikan sudah cukup memunculkan kesegaran puitik malam itu.
 
Ia menambahkan telah membaca hampir separoh puisi IBS. Enaknya, toko buku zaman jadul, kita bebas membuka dan membaca buku di rak. Maklum belum ada teknologi srink (bungkus plastik) seperti sekarang yang membuat kita hanya menduga-duga isi sebuah buku.
 
Kemudian kawan baik itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya,”Saya bawa ini,” katanya.
 
Ia membawa dua lembar kertas yang ternyata ia sobek dari buku Dunia Semata Wayang, persis pada puisi “Dunia Semata Wayang”, halaman 56—di baliknya, halaman 55 ada puisi “Amsal Perkutut”! Satu lagi halaman 13 dengan puisi “Lelaki Empat Penjuru: kepada ULP” dan di baliknya, halaman 14 puisi “Kemamang di Tepi Hutan Mantingan”.
 
Kami tak ingat lagi bagaimana kami menanggapi cara tak senonoh kawan tersebut, namun yang jelas sobekan itu langsung menjadi rebutan untuk dibaca dan diresepsi bersama-sama.
 
Ya, kami, anggota Tensut Bedahulu (Tendangan Sudut Bedahulu) atau Intens Beh (Institut Tendangan Sudut Bedahulu), nama yang diberi Umbu untuk kawan-kawan penyair muda yang tinggal dan ngumpul di sebuah rumah Jalan Bedahulu XV/28, segera berebut membacanya dan ada yang membacakannya keras-keras. Yang lain menyimak dengan takzim.
 
Termasuk membacakan puisi "Lelaki Empat Penjuru" yang ditujukan IBS untuk Umbu, seteru sekaligus sekutunya itu:
 
Seorang lelaki Sumba lahir kembali di Jawa
memanggang diri, menggunting alamat pulang
menuntun puisi pandai mengundang
dipikul juga rindu murid berguru
ditantang pula cinta mengusut makna
..........
 
Pembacaan puisi lantas menggugah pembicaraan panjang lebar tentang kepenyairan dan lebih khusus lagi tentang kepenyairan Iman Budhi Santoso.
 
Umbu sendiri, seperti biasa, tidak berkomentar. Ia lebih senang mendengar obrolan kawan-kawan yang entah bagaimana ternyata cukup banyak tahu sepak-terjang IBS.
 
Saya pun heran dan takjub dengan pengetahuan kawan-kawan tersebut. Pengetahuan saya sendiri minim tentang sosok yang malam itu jadi bintang imajinatif kami.
 
Meski pengetahuan beberapa orang kawan tentang sosok IBS itu, bukan perkara aneh sebenarnya. Nama IBS sudah cukup santer menyebar dalam referensi dan literasi sastra Tanah Air, apalagi di Bali yang notabene ada Umbu Landu Paranggi sebagai karibnya dulu di PSK. Tambah lagi yang kami bicarakan dunia kepenyairan, plus Yogya tempo doeloe sebagai “pusat” kepenyairan dengan segala keanehan dan polanya. Alhasil memang pembicaraan kami lebih banyak tentang romantisisme.
 
“Katanya, Mas Iman jarang mandi,” kata kawan yang membawa sobekan buku itu.
 
“Ia mengunjungi tempat yang ia tulis dan mengamati semuanya dengan telaten,” kata yang lain.
 
“Ia tak mau jadi pegawai negeri, meninggalkan jabatannya sebagai mandor perkebunan dan kembali ke jalan yang lurus,” kata yang lain lagi, berseloroh.
 
“Ayah tirinya pengarang sastra Jawa terkenal, Any Asmara, dan saudara tirinya sama-sama seangkatan dengannya di PSK, Teguh Ranusastra. Begitu, ya, Bung?”
 
“Yaaa!”
 
Tidak ada yang disanggah Umbu. Laki-laki kuda itu hanya mesem-mesem dan dalam beberapa tindak tertawa terbahak-bahak ketika apa yang disampaikan para cantriknya mungkin mengenai tepat memori nostalgisnya. Kami menghabiskan malam itu dengan bahagia sekaligus rasa penasaran.
 
Waktu itu, penerbitan buku, apalagi buku puisi dan masuk toko buku besar pula, boleh dikatakan peristiwa langka. Buku sastra yang terbit kebanyakan ala komunitas yang dicetak sederhana dan terbatas, bahkan banyak yang hanya difoto copy dan diklip seadanya.
 
Besoknya kawan itu datang lagi. Buku Dunia Semata Wayang tergenggam elegan di tangannya.
 
Katanya, Ema Sukarelawanto telah membelikannya, dan Ema berpesan supaya bisa dibaca ramai-ramai di hadapan Umbu. Buku itu bercover putih, bergambar/skets berupa perempuan arca dalam tatahan wayang. Di bagian belakang ada sedikit warna merah, mungkin untuk memunculkan kesan bendera merah-putih supaya identik dengan nama penerbitnya, Yayasan untuk Indonesia (YUI).
 
Kami langsung membuka buku itu, tapi ternyata tak ada halaman 13-14 dan halaman 55-56! Tak ada puisi “Laki-laki Empat Penjuru”, “Kemamang di Tepi Hutan Mantingan”,  “Amsal Perkutut” dan “Dunia semata Wayang”!
 
Lhadallah, ternyata itu buku bekas sobekan si kawan tempo hari! Saat Bli Ema membelinya justru terambil buku yang “disakiti” itu!
 
Anehnya, kawan tersebut belum menyadarinya. Mungkin ia belum membukanya lagi atau belum sempat mencek seluruhnya. Sejenak ia bengong.
 
Kami segera bersorak,”Karmapahla!”
 
Umbu yang mendengar ribut-ribut segera keluar kamarnya. Ternyata ia sudah menyimak pembicaraan kami dari awal. Ia langsung bilang,”Yaaah, itulah, dunia semata wayang, tak bisa dipisahkan, tak bisa dicaplok, ia akan kembali ke alamatnya...”
 
Kami mengangguk-angguk, sebagian masih tertawa-tawa, dan yang lain mulai menarik tali-temali filosofi.
 
Kawan itu, baik sekarang saya sebut namanya, Komang Harbali. Dia sudah meninggal beberapa tahun lalu (semoga almarhum berbahagia). Ia dikenal sebagai dokumentator dan tukang kliping sastra yang kemudian ia bagikan kepada kawan-kawan. Kami sangat menghormatinya dalam hal itu. Selain membawakan kliping, koran, majalah dan buku baru atau informasi tentang buku yang baru terbit, ia juga rutin membawa minuman, kadang merk luar negeri. Maklum ia bekerja sebagai bartender di sebuah hotel berbintang di Kuta. Itulah minuman terbaik yang kami peroleh secara cuma-cuma dan nyaris secara teratur pula.
 
Tanpa kehilangan akal, hasil sobekan buku kemarin malam yang masih ia simpan di dalam tasnya, langsung ia tempel kembali di halaman yang hilang. Dunia Semata Wayang pun kembali pada tempatnya.
 
Itulah kenangan yang tak pernah terlupakan ketika saya mengingat puisi-puisi IBS. Sebab sejatinya, sejak itulah saya benar-benar membaca langsung puisinya, lebih dari sekedar membayangkan sebab hanya namanya yang lebih banyak berkelabat. Sesekali, memang saya membaca juga puisinya di Republika atau Kedaulatan Rakyat dan Minggu Pagi yang entah bagaimana ada dalam kliping Harbali, tapi dalam buku “by insiden” itulah pertama kali saya baca puisinya secara utuh.
 
Kelak, ketika saya pindah ke Yogya, pertemuan langsung dengan IBS membuka eksemplar kisah tersendiri yang lebih panjang....
 
Ah, baiknya sekarang saya tampilkan puisi “Dunia Semata Wayang” (1997):
 
Memburu anak semata wayang
rindu berganti ibu
bertarung sungguh demi selendang
sampai tua minta ditunggu
bahu kekar, senyum mawar, selimut beledu
 
Dulu bocah sekarang bocah
tak sanggup menerima kalah
sebentar berani, sebentar sembunyi
mudah mendekat sukar didekati
karena ia tak beralamat
karena ia tak merasa jahat
meninggalkan kerabat tanpa permisi
segan bersurat di mana berdiri saat ini
 
Selebar apa pun dunia
anak semata wayang, kembali juga
ke kamarnya. Lengang dan laba-laba
lebih dipercaya menetapkan kuburnya nanti
mengatakan sepotong lidi
atau bintang yang nekat masuk atmosfer bumi
 
***
 
*) Raudal Tanjung Banua, sastrawan kelahiran Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi koresponden Harian Semangat juga Harian Haluan, Padang. Kemudian merantau ke Denpasar, Bali, bergabung Sanggar Minum Kopi, serta intens belajar kepada penyair Umbu Landu Paranggi. Lalu ke Yogyakarta; menyelesaikan studi di Jurusan Teater Institut Seni Indonesia. Mendirikan Komunitas Rumah Lebah, dan bergiat di Lembaga Kajian Kebudayaan AKAR Indonesia (Sebuah Lembaga Budaya yang Menerbitkan Jurnal Cerpen Indonesia). Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, esei, dipublikasikan di pelbagai media massa pun antologi. Buku-bukunya: Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), Parang Tak Berulu (2005), Gugusan Mata Ibu (2005), Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (2018), dll. Penghargaan yang diterimanya: Sih Award dari Jurnal Puisi, dan Anugerah Sastra Horison untuk cerpen terbaik dari Majalah Sastra Horison. http://sastra-indonesia.com/2021/02/prolog-ingatan-pada-ibs/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar