Raudal Tanjung Banua *
Suatu hari dalam tahun 1996, kami baru saja selesai makan malam dengan menu
favorit: tempe goreng dan sayur oseng daun pepaya. Saat masih duduk melingkar
di ruang tengah rumah Bedahulu bersama Bung Umbu Landu Paranggi, terdengar deru
motor di halaman. Seorang kawan datang, dan segera menyatakan bahwa ia baru
saja dari sebuah toko buku di bilangan jalan utama Kota Denpasar. Ia melihat
buku puisi Iman Budhi Santoso (IBS), Dunia Semata Wayang, baru saja terbit.
Umbu senang sekali mendengar berita itu. Wajahnya cerah. Apalagi ketika
kawan itu cerita bahwa yang memberi Prolog pada buku tersebut adalah Emha Ainun
Nadjib dan yang memberi Epilog tidak lain Linus Suryadi AG. “Sudah pas itu!”
kata Umbu. Kebiasaannya menjentik-jentikkan jari pada kardus bekas plat cetak
Bali Post yang menjadi karpet istimewa kami, jadi semakin kencang saja. Jari
itu seolah menari-nari menyimbolkan girang hati.
Sayang, kawan itu tidak membawa buku dimaksud. “Belum gajian,” katanya,
sumringah. ”Besok kalau sudah gajian saya beli. Sepulang kerja tadi saya diberi
tahu Ema, langsung saya cek ke toko buku, ternyata benar.”
Ema yang dia maksud adalah Ema Sukarelawanto, wartawan Harian Nusa Tenggara
yang memang kerap memberi info terbitan buku baru. Selain Bli Ema, ada Bang
Muchsin Lubis, juga wartawan Nusa yang suka bersikap serupa. Beliau ini pernah
meminta saya untuk segera mencari Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang baru terbit
sebab sebentar pasti akan hilang, katanya. Benar saja, sehari setelah saya
beli, sisa buku itu raib dari rak toko buku.
Nah, kawan yang baru datang tadi mungkin memang tak perlu bergegas membeli
Dunia Semata Wayang. Kejaksaan Agung mungkin masih disibukkan buku Pram.
Rasanya mustahil pula buku puisi cepat ludes diborong konsumen. Jadi sementara,
info yang dia sampaikan sudah cukup memunculkan kesegaran puitik malam itu.
Ia menambahkan telah membaca hampir separoh puisi IBS. Enaknya, toko buku
zaman jadul, kita bebas membuka dan membaca buku di rak. Maklum belum ada
teknologi srink (bungkus plastik) seperti sekarang yang membuat kita hanya
menduga-duga isi sebuah buku.
Kemudian kawan baik itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya,”Saya bawa
ini,” katanya.
Ia membawa dua lembar kertas yang ternyata ia sobek dari buku Dunia Semata
Wayang, persis pada puisi “Dunia Semata Wayang”, halaman 56—di baliknya,
halaman 55 ada puisi “Amsal Perkutut”! Satu lagi halaman 13 dengan puisi
“Lelaki Empat Penjuru: kepada ULP” dan di baliknya, halaman 14 puisi “Kemamang
di Tepi Hutan Mantingan”.
Kami tak ingat lagi bagaimana kami menanggapi cara tak senonoh kawan
tersebut, namun yang jelas sobekan itu langsung menjadi rebutan untuk dibaca
dan diresepsi bersama-sama.
Ya, kami, anggota Tensut Bedahulu (Tendangan Sudut Bedahulu) atau Intens
Beh (Institut Tendangan Sudut Bedahulu), nama yang diberi Umbu untuk
kawan-kawan penyair muda yang tinggal dan ngumpul di sebuah rumah Jalan
Bedahulu XV/28, segera berebut membacanya dan ada yang membacakannya
keras-keras. Yang lain menyimak dengan takzim.
Termasuk membacakan puisi "Lelaki Empat Penjuru" yang ditujukan
IBS untuk Umbu, seteru sekaligus sekutunya itu:
Seorang lelaki Sumba lahir kembali di Jawa
memanggang diri, menggunting alamat pulang
menuntun puisi pandai mengundang
dipikul juga rindu murid berguru
ditantang pula cinta mengusut makna
..........
Pembacaan puisi lantas menggugah pembicaraan panjang lebar tentang kepenyairan
dan lebih khusus lagi tentang kepenyairan Iman Budhi Santoso.
Umbu sendiri, seperti biasa, tidak berkomentar. Ia lebih senang mendengar
obrolan kawan-kawan yang entah bagaimana ternyata cukup banyak tahu
sepak-terjang IBS.
Saya pun heran dan takjub dengan pengetahuan kawan-kawan tersebut.
Pengetahuan saya sendiri minim tentang sosok yang malam itu jadi bintang
imajinatif kami.
Meski pengetahuan beberapa orang kawan tentang sosok IBS itu, bukan perkara
aneh sebenarnya. Nama IBS sudah cukup santer menyebar dalam referensi dan
literasi sastra Tanah Air, apalagi di Bali yang notabene ada Umbu Landu
Paranggi sebagai karibnya dulu di PSK. Tambah lagi yang kami bicarakan dunia kepenyairan,
plus Yogya tempo doeloe sebagai “pusat” kepenyairan dengan segala keanehan dan
polanya. Alhasil memang pembicaraan kami lebih banyak tentang romantisisme.
“Katanya, Mas Iman jarang mandi,” kata kawan yang membawa sobekan buku itu.
“Ia mengunjungi tempat yang ia tulis dan mengamati semuanya dengan
telaten,” kata yang lain.
“Ia tak mau jadi pegawai negeri, meninggalkan jabatannya sebagai mandor
perkebunan dan kembali ke jalan yang lurus,” kata yang lain lagi, berseloroh.
“Ayah tirinya pengarang sastra Jawa terkenal, Any Asmara, dan saudara
tirinya sama-sama seangkatan dengannya di PSK, Teguh Ranusastra. Begitu, ya,
Bung?”
“Yaaa!”
Tidak ada yang disanggah Umbu. Laki-laki kuda itu hanya mesem-mesem dan
dalam beberapa tindak tertawa terbahak-bahak ketika apa yang disampaikan para
cantriknya mungkin mengenai tepat memori nostalgisnya. Kami menghabiskan malam
itu dengan bahagia sekaligus rasa penasaran.
Waktu itu, penerbitan buku, apalagi buku puisi dan masuk toko buku besar
pula, boleh dikatakan peristiwa langka. Buku sastra yang terbit kebanyakan ala
komunitas yang dicetak sederhana dan terbatas, bahkan banyak yang hanya difoto
copy dan diklip seadanya.
Besoknya kawan itu datang lagi. Buku Dunia Semata Wayang tergenggam elegan
di tangannya.
Katanya, Ema Sukarelawanto telah membelikannya, dan Ema berpesan supaya
bisa dibaca ramai-ramai di hadapan Umbu. Buku itu bercover putih,
bergambar/skets berupa perempuan arca dalam tatahan wayang. Di bagian belakang
ada sedikit warna merah, mungkin untuk memunculkan kesan bendera merah-putih
supaya identik dengan nama penerbitnya, Yayasan untuk Indonesia (YUI).
Kami langsung membuka buku itu, tapi ternyata tak ada halaman 13-14 dan
halaman 55-56! Tak ada puisi “Laki-laki Empat Penjuru”, “Kemamang di Tepi Hutan
Mantingan”, “Amsal Perkutut” dan “Dunia
semata Wayang”!
Lhadallah, ternyata itu buku bekas sobekan si kawan tempo hari! Saat Bli
Ema membelinya justru terambil buku yang “disakiti” itu!
Anehnya, kawan tersebut belum menyadarinya. Mungkin ia belum membukanya
lagi atau belum sempat mencek seluruhnya. Sejenak ia bengong.
Kami segera bersorak,”Karmapahla!”
Umbu yang mendengar ribut-ribut segera keluar kamarnya. Ternyata ia sudah
menyimak pembicaraan kami dari awal. Ia langsung bilang,”Yaaah, itulah, dunia
semata wayang, tak bisa dipisahkan, tak bisa dicaplok, ia akan kembali ke
alamatnya...”
Kami mengangguk-angguk, sebagian masih tertawa-tawa, dan yang lain mulai
menarik tali-temali filosofi.
Kawan itu, baik sekarang saya sebut namanya, Komang Harbali. Dia sudah
meninggal beberapa tahun lalu (semoga almarhum berbahagia). Ia dikenal sebagai
dokumentator dan tukang kliping sastra yang kemudian ia bagikan kepada
kawan-kawan. Kami sangat menghormatinya dalam hal itu. Selain membawakan
kliping, koran, majalah dan buku baru atau informasi tentang buku yang baru
terbit, ia juga rutin membawa minuman, kadang merk luar negeri. Maklum ia
bekerja sebagai bartender di sebuah hotel berbintang di Kuta. Itulah minuman
terbaik yang kami peroleh secara cuma-cuma dan nyaris secara teratur pula.
Tanpa kehilangan akal, hasil sobekan buku kemarin malam yang masih ia
simpan di dalam tasnya, langsung ia tempel kembali di halaman yang hilang.
Dunia Semata Wayang pun kembali pada tempatnya.
Itulah kenangan yang tak pernah terlupakan ketika saya mengingat
puisi-puisi IBS. Sebab sejatinya, sejak itulah saya benar-benar membaca
langsung puisinya, lebih dari sekedar membayangkan sebab hanya namanya yang
lebih banyak berkelabat. Sesekali, memang saya membaca juga puisinya di Republika
atau Kedaulatan Rakyat dan Minggu Pagi yang entah bagaimana ada dalam kliping
Harbali, tapi dalam buku “by insiden” itulah pertama kali saya baca puisinya
secara utuh.
Kelak, ketika saya pindah ke Yogya, pertemuan langsung dengan IBS membuka
eksemplar kisah tersendiri yang lebih panjang....
Ah, baiknya sekarang saya tampilkan puisi “Dunia Semata Wayang” (1997):
Memburu anak semata wayang
rindu berganti ibu
bertarung sungguh demi selendang
sampai tua minta ditunggu
bahu kekar, senyum mawar, selimut beledu
Dulu bocah sekarang bocah
tak sanggup menerima kalah
sebentar berani, sebentar sembunyi
mudah mendekat sukar didekati
karena ia tak beralamat
karena ia tak merasa jahat
meninggalkan kerabat tanpa permisi
segan bersurat di mana berdiri saat ini
Selebar apa pun dunia
anak semata wayang, kembali juga
ke kamarnya. Lengang dan laba-laba
lebih dipercaya menetapkan kuburnya nanti
mengatakan sepotong lidi
atau bintang yang nekat masuk atmosfer bumi
***
*) Raudal Tanjung Banua, sastrawan kelahiran Lansano, Kenagarian Taratak,
Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi
koresponden Harian Semangat juga Harian Haluan, Padang. Kemudian merantau ke
Denpasar, Bali, bergabung Sanggar Minum Kopi, serta intens belajar kepada
penyair Umbu Landu Paranggi. Lalu ke Yogyakarta; menyelesaikan studi di Jurusan
Teater Institut Seni Indonesia. Mendirikan Komunitas Rumah Lebah, dan bergiat
di Lembaga Kajian Kebudayaan AKAR Indonesia (Sebuah Lembaga Budaya yang
Menerbitkan Jurnal Cerpen Indonesia). Karya-karyanya berupa puisi, cerpen,
esei, dipublikasikan di pelbagai media massa pun antologi. Buku-bukunya: Pulau
Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), Parang Tak Berulu
(2005), Gugusan Mata Ibu (2005), Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai
(2018), dll. Penghargaan yang diterimanya: Sih Award dari Jurnal Puisi, dan
Anugerah Sastra Horison untuk cerpen terbaik dari Majalah Sastra Horison. http://sastra-indonesia.com/2021/02/prolog-ingatan-pada-ibs/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment