Afri Meldam
padangekspres.co.id
Blurb atau kutipan pendapat pembaca (pakar) terhadap suatu terhadap suatu
buku yang ditampilkan di sampul depan ataupun belakang, yang menonjolkan nilai
pujian. Blurb memang bias. Pemasangan kata-kata pujian tersebut tak lain adalah
strategi penerbit untuk mendongkrak angka penjualan sebuah buku. Mengapa perlu
menyoal blurb?
Ada beberapa alasan mengapa blurb pada sampul buku (sastra) perlu
dipersoalkan. Pertama, dalam kritik reader respons, tanggapan pembaca dianggap
sebagai salah satu kepingan puzzle yang membuat buku utuh. Tanpa tanggapan dari
pembaca, sebuah karya dinilai tidak lengkap. Dalam konteks ini, jelas blurb
merupakan unsur karya sastra yang berperan penting dalam menyeret opini pembaca.
Dengan blurb, pembaca setidaknya merasa lebih mempunyai alasan untuk membeli
sebuah buku.
Di samping itu, blurb patut dipersoalkan mengingat penilaian terhadap suatu
karya sastra akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana kualitas karya tersebut
dipertimbangkan. Ketika seorang pakar sudah men-judge sebuah buku sebagai karya
yang “sangat patut untuk dibaca”, “spektakuler”, dan seleretan kata-kata pujian
bombastis lainnya, maka pembaca kebanyakan akan menurut dan gentar untuk
menilai karya tersebut dengan pendapat yang berbeda apalagi menegasikan
pendapat para pakar yang ditampilkan pada blurb.
Pembaca biasa tentu tak ingin melempar opini yang berbeda dengan para pakar
karena mungkin takut ada hal-hal dalam karya tersebut yang luput dari perhatian
mereka ketika membaca dan para pakar tentu saja menemukannya.
Blurb pada sampul buku karya sastra akan sangat berpengaruh terhadap proses
demokratisasi kritik sastra. Dengan adanya blurb, kritik buruk terhadap suatu
karya seolah disiapkan untuk ditampik dan dibantah. Perkembangan kritik yang
sehat dan objektif pun tak akan pernah tercapai
Mengingat blurb tak lain adalah salah satu strategi pemasaran, maka isi
pesan yang disampaikan di dalamnya tak melulu benar. Dalam lingkar jerat
kapitalisme, pihak penerbit bisa saja “menyewa” seorang pembaca ahli yang
dianggap pakar untuk memberikan komentar terhadap isi buku. Dalam kasus ini,
seorang pembaca tentu tak bisa terlalu objektif dalam memberikan penilaian
karena walau bagaimanapun tujuan penilaian tersebut adalah untuk membantu
penjualan karya yang dinilai. Dengan kata lain, seorang pakar “katakanlah pakar
sastra” yang disewa “dipaksa” untuk mengeluarkan pendapat bahwa karya tersebut
bagus dan oleh karenanya patut dibeli. Seorang penanggap berada dalam suatu sistem
yang mengungkungnya untuk hanya memberikan pujian-pujian terhadap sebuah buku.
Blurb yang dihadirkan oleh pihak penerbit biasanya juga merupakan kutipan
komentar para resenator ketika buku tersebut diresensi. Yang ditonjolkan dalam
blurb jenis ini bukanlah siapa yang memberikan komentar, melainkan media apa
yang memuat resensi tersebut. Penerbit tentu tak akan memuat kutipan resensi
yang hanya berasal dari media beroplah kecil atau media lokal yang kurang
terkenal. Kredibilitas sebuah media akan menjadi faktor kunci dalam blurb model
ini. Pembaca tentu akan “nyerah” dan “nrimo” ketika media-media sebesar Kompas,
Tempo, Koran Tempo, atau Media Indonesia, misalnya, memberikan pujian dan
kata-kata bombastis terhadap suatu buku. Pembaca pun serta merta akan diseret
pada semacam pemahaman bahwa buku tersebut pastilah bagus dan ia pun akan
memutuskan untuk membelinya.
Sebenarnya, blurb yang menghadirkan kutipan resensi pada sebuah media lebih
objektif ketimbang blurb yang memuat pendapat pakar yang sengaja diminta untuk
itu. Namun, patut juga diingat bahwa resensi sebuah buku yang dimuat pada
sebuah media juga merupakan “promosi terselubung” terhadap buku tersebut.
Objektivitas penilaian pun patut dipertanyakan dalam konteks ini.
Tak hanya itu, adakalanya penerbit buku dan media yang kemudian memuat
resensi buku tersebut berada di bawah nauangan pemilik modal (korporasi) yang
sama, dan oleh karenanya patut dicurigai. Mereka (penerbit dan media) bisa saja
bekerja sama untuk mendukung penjualan sebuah buku.
Media jelas sangat berperan dalam membangun ataupun menghancurkan opini
publik terhadap sebuah buku karya sastra. Dengan demikian, iklim kritik sastra
akan berjalan secara kurang sehat dan pada gilirannya akan mendorong terjadinya
semacam “pembohongan publik”.
Blurb sebagai sebuah politik
Blurb merupakan politik pihak penerbit untuk membantu penjualan sebuah
buku. Blurb adalah senjata ampuh untuk mempengaruhi pembaca dan menyeret opini
publik ke sebuah kesimpulan absolut bahwa buku tersebut bagus. Komentar-komentar
pujian seperti “jika bulan ini Anda hanya akan membeli satu buku, maka buku
inilah pilihan yang tepat”,”novel yang begitu bertenaga”,”menyanyat hati”,
“memperlihatkan teknik komposisi yang sebelumnya belum pernah dicoba”, atau
“salah satu buku paling fenomenal di abad ini” -sekadar menampilakan beberapa
contoh, tentu akan sangat berimbas pada (calon) pembaca. Apalagi
komentar-komentar tersebut diberikan oleh para pakar di bidangnya ataupun
diambil dari kutipan resensi pada media-media ternama.
Pihak penerbit memang ahli dalam upaya mempengaruhi opini pembaca melalui
pemasangan blurb. Pakar-pakar yang dihadirkan untuk memberikan komentar atas
sebuah buku merupakan para pakar yang memang sepak terjangnya sudah teruji
dalam satu genre sastra tertentu. Untuk sebuah buku kumpulan puisi, misalnya,
nama-nama seperti Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum
Bachri atau Joko Pinurbo tentu akan sangat membantu upaya “pencucian otak” para
pembaca. Sementara itu, untuk novel atau buku kumpulan cerpen, pengarang
seperti Budi Darma, Ahmad Tohari, Seno Gumira Adjidarma, atau Ayu Utami, akan
menjadi “laskar” yang tangguh untuk memberikan blurb yang “tajam” dan
“menjual”.
Tak hanya itu, penerbit juga jeli dalam melihat jenis pasar (pembaca) yang
akan dituju. Jika sebuah buku ditujukan pada pembaca remaja, maka yang diminat
memberikan komentar pastilah berasal dari kalangan yang dikenal luas dan
menjadi idola remaja seperti penulis-penulis muda terkenal ataupun para
selebritis dunia hiburan. Sementara, untuk buku yang targetnya adalah pembaca
“islam”, maka nama-nama berbau “pesantren” dan identik dengan sastra islami
seperti K.H Mustafa Bisri, Abdul Hadi WM, Habiburrahman el Shirazy atau Helvi
Tiana Rosa, akan memuluskan politik pemasaran sebuah buku lewat blurb.
Tulisan ini bukan dimaksudkan agar kita menjadi pembaca yang anti-blurb,
tetapi lebih kepada pengharapan agar blurb tak menyesatkan opini pembaca. Blurb
memang sudah telanjur menjadi politik penjualan penerbit, namun komentar yang
dihadirkan hendaknya lebih realistis dan “apa adanya”. Para pakar sastra dengan
demikian juga diharapkan untjuk bisa lepas dari jerat para pelaku industri.
Blurb memang tak selamanya bias. Namun, mengingat politik yang dijalankan
di belakangnya, blurb patut dicurigai. Pembaca harus lebih kritis dan tidak
mudah terpengaruh oleh blurb sebuah buku.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment