Sunday, February 21, 2021

Menyoal Blurp

Afri Meldam
padangekspres.co.id
 
Blurb atau kutipan pendapat pembaca (pakar) terhadap suatu terhadap suatu buku yang ditampilkan di sampul depan ataupun belakang, yang menonjolkan nilai pujian. Blurb memang bias. Pemasangan kata-kata pujian tersebut tak lain adalah strategi penerbit untuk mendongkrak angka penjualan sebuah buku. Mengapa perlu menyoal blurb?
 
Ada beberapa alasan mengapa blurb pada sampul buku (sastra) perlu dipersoalkan. Pertama, dalam kritik reader respons, tanggapan pembaca dianggap sebagai salah satu kepingan puzzle yang membuat buku utuh. Tanpa tanggapan dari pembaca, sebuah karya dinilai tidak lengkap. Dalam konteks ini, jelas blurb merupakan unsur karya sastra yang berperan penting dalam menyeret opini pembaca. Dengan blurb, pembaca setidaknya merasa lebih mempunyai alasan untuk membeli sebuah buku.
 
Di samping itu, blurb patut dipersoalkan mengingat penilaian terhadap suatu karya sastra akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana kualitas karya tersebut dipertimbangkan. Ketika seorang pakar sudah men-judge sebuah buku sebagai karya yang “sangat patut untuk dibaca”, “spektakuler”, dan seleretan kata-kata pujian bombastis lainnya, maka pembaca kebanyakan akan menurut dan gentar untuk menilai karya tersebut dengan pendapat yang berbeda apalagi menegasikan pendapat para pakar yang ditampilkan pada blurb.
 
Pembaca biasa tentu tak ingin melempar opini yang berbeda dengan para pakar karena mungkin takut ada hal-hal dalam karya tersebut yang luput dari perhatian mereka ketika membaca dan para pakar tentu saja menemukannya.
 
Blurb pada sampul buku karya sastra akan sangat berpengaruh terhadap proses demokratisasi kritik sastra. Dengan adanya blurb, kritik buruk terhadap suatu karya seolah disiapkan untuk ditampik dan dibantah. Perkembangan kritik yang sehat dan objektif pun tak akan pernah tercapai
 
Mengingat blurb tak lain adalah salah satu strategi pemasaran, maka isi pesan yang disampaikan di dalamnya tak melulu benar. Dalam lingkar jerat kapitalisme, pihak penerbit bisa saja “menyewa” seorang pembaca ahli yang dianggap pakar untuk memberikan komentar terhadap isi buku. Dalam kasus ini, seorang pembaca tentu tak bisa terlalu objektif dalam memberikan penilaian karena walau bagaimanapun tujuan penilaian tersebut adalah untuk membantu penjualan karya yang dinilai. Dengan kata lain, seorang pakar “katakanlah pakar sastra” yang disewa “dipaksa” untuk mengeluarkan pendapat bahwa karya tersebut bagus dan oleh karenanya patut dibeli. Seorang penanggap berada dalam suatu sistem yang mengungkungnya untuk hanya memberikan pujian-pujian terhadap sebuah buku.
 
Blurb yang dihadirkan oleh pihak penerbit biasanya juga merupakan kutipan komentar para resenator ketika buku tersebut diresensi. Yang ditonjolkan dalam blurb jenis ini bukanlah siapa yang memberikan komentar, melainkan media apa yang memuat resensi tersebut. Penerbit tentu tak akan memuat kutipan resensi yang hanya berasal dari media beroplah kecil atau media lokal yang kurang terkenal. Kredibilitas sebuah media akan menjadi faktor kunci dalam blurb model ini. Pembaca tentu akan “nyerah” dan “nrimo” ketika media-media sebesar Kompas, Tempo, Koran Tempo, atau Media Indonesia, misalnya, memberikan pujian dan kata-kata bombastis terhadap suatu buku. Pembaca pun serta merta akan diseret pada semacam pemahaman bahwa buku tersebut pastilah bagus dan ia pun akan memutuskan untuk membelinya.
 
Sebenarnya, blurb yang menghadirkan kutipan resensi pada sebuah media lebih objektif ketimbang blurb yang memuat pendapat pakar yang sengaja diminta untuk itu. Namun, patut juga diingat bahwa resensi sebuah buku yang dimuat pada sebuah media juga merupakan “promosi terselubung” terhadap buku tersebut. Objektivitas penilaian pun patut dipertanyakan dalam konteks ini.
 
Tak hanya itu, adakalanya penerbit buku dan media yang kemudian memuat resensi buku tersebut berada di bawah nauangan pemilik modal (korporasi) yang sama, dan oleh karenanya patut dicurigai. Mereka (penerbit dan media) bisa saja bekerja sama untuk mendukung penjualan sebuah buku.
 
Media jelas sangat berperan dalam membangun ataupun menghancurkan opini publik terhadap sebuah buku karya sastra. Dengan demikian, iklim kritik sastra akan berjalan secara kurang sehat dan pada gilirannya akan mendorong terjadinya semacam “pembohongan publik”.
 
Blurb sebagai sebuah politik
 
Blurb merupakan politik pihak penerbit untuk membantu penjualan sebuah buku. Blurb adalah senjata ampuh untuk mempengaruhi pembaca dan menyeret opini publik ke sebuah kesimpulan absolut bahwa buku tersebut bagus. Komentar-komentar pujian seperti “jika bulan ini Anda hanya akan membeli satu buku, maka buku inilah pilihan yang tepat”,”novel yang begitu bertenaga”,”menyanyat hati”, “memperlihatkan teknik komposisi yang sebelumnya belum pernah dicoba”, atau “salah satu buku paling fenomenal di abad ini” -sekadar menampilakan beberapa contoh, tentu akan sangat berimbas pada (calon) pembaca. Apalagi komentar-komentar tersebut diberikan oleh para pakar di bidangnya ataupun diambil dari kutipan resensi pada media-media ternama.
 
Pihak penerbit memang ahli dalam upaya mempengaruhi opini pembaca melalui pemasangan blurb. Pakar-pakar yang dihadirkan untuk memberikan komentar atas sebuah buku merupakan para pakar yang memang sepak terjangnya sudah teruji dalam satu genre sastra tertentu. Untuk sebuah buku kumpulan puisi, misalnya, nama-nama seperti Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri atau Joko Pinurbo tentu akan sangat membantu upaya “pencucian otak” para pembaca. Sementara itu, untuk novel atau buku kumpulan cerpen, pengarang seperti Budi Darma, Ahmad Tohari, Seno Gumira Adjidarma, atau Ayu Utami, akan menjadi “laskar” yang tangguh untuk memberikan blurb yang “tajam” dan “menjual”.
 
Tak hanya itu, penerbit juga jeli dalam melihat jenis pasar (pembaca) yang akan dituju. Jika sebuah buku ditujukan pada pembaca remaja, maka yang diminat memberikan komentar pastilah berasal dari kalangan yang dikenal luas dan menjadi idola remaja seperti penulis-penulis muda terkenal ataupun para selebritis dunia hiburan. Sementara, untuk buku yang targetnya adalah pembaca “islam”, maka nama-nama berbau “pesantren” dan identik dengan sastra islami seperti K.H Mustafa Bisri, Abdul Hadi WM, Habiburrahman el Shirazy atau Helvi Tiana Rosa, akan memuluskan politik pemasaran sebuah buku lewat blurb.
 
Tulisan ini bukan dimaksudkan agar kita menjadi pembaca yang anti-blurb, tetapi lebih kepada pengharapan agar blurb tak menyesatkan opini pembaca. Blurb memang sudah telanjur menjadi politik penjualan penerbit, namun komentar yang dihadirkan hendaknya lebih realistis dan “apa adanya”. Para pakar sastra dengan demikian juga diharapkan untjuk bisa lepas dari jerat para pelaku industri.
 
Blurb memang tak selamanya bias. Namun, mengingat politik yang dijalankan di belakangnya, blurb patut dicurigai. Pembaca harus lebih kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh blurb sebuah buku.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/04/menyoal-blurp/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar