Sunday, February 21, 2021

I Gusti Ngurah Made Agung, Pembaharu Sastra Bali Tradisional

IDG Windhu Sancaya
balipost.com
 
I GUSTI NGURAH MADE AGUNG yang lebih dikenal sebagai Cokorda Mantuk Di Rana atau Cokorda Denpasar (Cokorda Made), tidak saja diketahui sebagai raja yang memiliki jiwa kepemimpinan yang luhur, juga termasyhur sebagai seorang pujangga atau sastrawan Bali terkemuka pada awal abad XX.
 
Dalam bidang sastra, beliau bahkan dapat dikatakan sebagai pembaharu yang memberikan sumbangan berharga bagi perkembangan sastra Bali pada zamannya serta khazanah sastra Bali, hingga saat ini. Pembaruan yang diperkenalkan oleh I Gusti Ngurah Made Agung tidak semata-mata karena kepeloporannya dalam menggubah Geguritan I Nengah Jimbaran dengan bahasa Melayu, –suatu bahasa yang agaknya sudah “lumrah” bagi kalangan terpelajar ketika itu, melainkan karena upayanya dalam menumbuhkan semacam kesadaran dalam menafsirkan kembali serta mengembangkan tradisi serta nilai-nilai tradisional yang bersumber pada sastra, dalam konteks dan tantangan zaman pada awal Abad XX.
 
Dalam hal pembaharuan ini, semangat beliau dapat disejajarkan dengan para pujangga Kraton Surakarta (Jawa Tengah) pada abad ke-18 dan 19, yang dikenal sebagai zaman renaissance, zaman kelahiran kembali dan keemasan sastra Jawa. Pigeaud, seorang ahli sastra Jawa Kuna berkebangsaan Belanda, mengatakan pada saat itu di Kraton Surakarta muncul suatu gerakan sastra di mana karya-karya sastra Jawa Kuna seperti kakawin dan parwa-parwa digubah kembali ke dalam bentuk-bentuk sastra Jawa yang lebih baru.
 
Tampaknya ada pengaruh yang kuat dari semangat renaissance yang dilakukan oleh para pujangga Kraton Surakarta seperti Yasadipura I, Yasadipura II, Ranggawarsita, dan juga keluarga kraton Surakarta seperti Paku Buwana IV dan Mangkunegara IV, pada perkembangan sastra Bali di awal abad ke-20. Tidaklah kebetulan kalau dalam karya-karya I Gusti Ngurah Made Agung, nama Surakarta sering disebut-sebut sebagai model karya yang dijadikannya teladan. IBG Agastia bahkan mengatakan, salah satu ciri karya-karya I Gusti Ngurah Made Agung adalah kegemarannya membubuhkan kalimat “tembang cara Surakarta” pada bagian awal karyanya atau bagian awal pupuh yang dipakainya.
 
Tema
 
Kesejajaran aktivitas sastra tersebut tidak hanya tampak dalam hal semangat, juga dalam pilihan tema. Dalam karyanya yang berjudul Geguritan Niti Raja Sasana misalnya, I Gusti Ngurah Made Agung menafsirkan kembali ajaran Astabrata yang dikenal berasal dari kakawin Ramayana, sama seperti yang dilakukan oleh pujangga Kraton Surakarta Yasadipura I. Yasadipura I, menuliskan kembali Astabrata yang merupakan bagian dari Serat Ramayana, dalam bentuk piwulang (tutur). Hanya saja, I Gusti Ngurah Made Agung mencoba menafsirkannya dengan lebih kreatif menjadi brata nembelas atau enam belas brata (dua kali jumlah Astabrata), yaitu:
 
Giribrata, Indrabrata, Mretawarsabrata, Gnibrata, Lawanabrata, Mregabrata, Singabrata, Anilabrata, Satabrata, Mayurabrata, Cantakabrata, Kaganilabrata, Wyaghrabrata, Cundagabrata, Welasabrata, dan Yamabrata. Meskipun agak berbeda dengan Astabrata sebagaimana terurai dalam Kakawin Ramayana, secara substansial isinya sama. Astabrata adalah delapan sikap dan tindakan yang meniru prilaku delapan Dewa, yaitu: Indrabrata, Yamabrata, Barunabrata, Kuwerabrata, Suryabrata, Candrabrata, Bayubrata, dan Agnibrata.
 
Kedekatan hubungan antara Mangkunegara IV dengan Ranggawarsita sebagaimana diungkapkan Pigeaud dalam bukunya Literature of Java juga mengingatkan kita pada kedekatan hubungan antara I Gusti Ngurah Made Agung dengan Ida Pedanda Made Sidemen yang juga dikenal sebagai seorang sastrawan besar abad ke-20 di Bali. Semenjak beliau (Mangkunegara IV) belum naik takhta, telah karib sekali dengan R. Ng. Ronggowarsito. Hampir setiap minggu sekali beliau itu bertemu untuk bertukar pikiran dan atau mengadu kawaskitan. Di samping pujangga besar R. Ng. Ronggowarsito, Sri Mangkunegara IV dapat disebut juga pujangga besar terakhir Sukarta.
 
Dalam proses kreatifnya, I Gusti Ngurah Made Agung lebih mengkhususkan diri dalam menggubah karya sastra dalam bentuk tembang macapat, seperti geguritan; sedangkan Ida Pedanda Made Sidemen lebih berminat pada kreativitas menggubah karya sastra dalam bentuk kakawin dan parwa. Mekipun demikian, keduanya juga menguasai dengan baik jenis sastra geguritan maupun kakawin. Selain menggubah kakawin dan parwa, Ida Pedanda Sidemen juga menulis sejumlah geguritan (macapat), seperti Geguritan Salampah Laku dan Kidung Rangsang. Demikian halnya I Gusti Ngurah Made Agung, beliau juga dikenal sebagai penulis Kakawin Atlas, sebuah kakawin yang sangat modern dan sangat berbeda.
 
Selain itu, satu hal yang cukup menarik adalah adanya latar belakang yang kurang lebih sama, antara renaissance yang melatarbelakangi kebangkitan kehidupan sastra di zaman Surakarta dengan semangat renaissance yang coba dikembangkan I Gusti Ngurah Made Agung, yaitu akibat dari adanya penetrasi Barat (kolonial Belanda). Dalam bukunya berjudul Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, Fachry Ali mengatakan, bahwa karya-karya Mangkunegara IV merupakan salah satu indikasi pada penekanan etik dan moral ksatria di dalam kultur Jawa, ketika otoritas kekuasaan Jawa semakin menyempit akibat penetrasi Barat. Hal yang sama juga terjadi dalam karya-karya I Gusti Ngurah Made Agung yang menekankan pentingnya etika.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/10/i-gusti-ngurah-made-agung-pembaharu-sastra-bali-tradisional/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar