balipost.com
I GUSTI NGURAH MADE AGUNG yang lebih dikenal sebagai Cokorda Mantuk Di Rana atau Cokorda Denpasar (Cokorda Made), tidak saja diketahui sebagai raja yang memiliki jiwa kepemimpinan yang luhur, juga termasyhur sebagai seorang pujangga atau sastrawan Bali terkemuka pada awal abad XX.
Dalam bidang sastra, beliau bahkan dapat dikatakan sebagai pembaharu yang memberikan sumbangan berharga bagi perkembangan sastra Bali pada zamannya serta khazanah sastra Bali, hingga saat ini. Pembaruan yang diperkenalkan oleh I Gusti Ngurah Made Agung tidak semata-mata karena kepeloporannya dalam menggubah Geguritan I Nengah Jimbaran dengan bahasa Melayu, –suatu bahasa yang agaknya sudah “lumrah” bagi kalangan terpelajar ketika itu, melainkan karena upayanya dalam menumbuhkan semacam kesadaran dalam menafsirkan kembali serta mengembangkan tradisi serta nilai-nilai tradisional yang bersumber pada sastra, dalam konteks dan tantangan zaman pada awal Abad XX.
Dalam hal pembaharuan ini, semangat beliau dapat disejajarkan dengan para pujangga Kraton Surakarta (Jawa Tengah) pada abad ke-18 dan 19, yang dikenal sebagai zaman renaissance, zaman kelahiran kembali dan keemasan sastra Jawa. Pigeaud, seorang ahli sastra Jawa Kuna berkebangsaan Belanda, mengatakan pada saat itu di Kraton Surakarta muncul suatu gerakan sastra di mana karya-karya sastra Jawa Kuna seperti kakawin dan parwa-parwa digubah kembali ke dalam bentuk-bentuk sastra Jawa yang lebih baru.
Tampaknya ada pengaruh yang kuat dari semangat renaissance yang dilakukan oleh para pujangga Kraton Surakarta seperti Yasadipura I, Yasadipura II, Ranggawarsita, dan juga keluarga kraton Surakarta seperti Paku Buwana IV dan Mangkunegara IV, pada perkembangan sastra Bali di awal abad ke-20. Tidaklah kebetulan kalau dalam karya-karya I Gusti Ngurah Made Agung, nama Surakarta sering disebut-sebut sebagai model karya yang dijadikannya teladan. IBG Agastia bahkan mengatakan, salah satu ciri karya-karya I Gusti Ngurah Made Agung adalah kegemarannya membubuhkan kalimat “tembang cara Surakarta” pada bagian awal karyanya atau bagian awal pupuh yang dipakainya.
Tema
Kesejajaran aktivitas sastra tersebut tidak hanya tampak dalam hal semangat, juga dalam pilihan tema. Dalam karyanya yang berjudul Geguritan Niti Raja Sasana misalnya, I Gusti Ngurah Made Agung menafsirkan kembali ajaran Astabrata yang dikenal berasal dari kakawin Ramayana, sama seperti yang dilakukan oleh pujangga Kraton Surakarta Yasadipura I. Yasadipura I, menuliskan kembali Astabrata yang merupakan bagian dari Serat Ramayana, dalam bentuk piwulang (tutur). Hanya saja, I Gusti Ngurah Made Agung mencoba menafsirkannya dengan lebih kreatif menjadi brata nembelas atau enam belas brata (dua kali jumlah Astabrata), yaitu:
Giribrata, Indrabrata, Mretawarsabrata, Gnibrata, Lawanabrata, Mregabrata, Singabrata, Anilabrata, Satabrata, Mayurabrata, Cantakabrata, Kaganilabrata, Wyaghrabrata, Cundagabrata, Welasabrata, dan Yamabrata. Meskipun agak berbeda dengan Astabrata sebagaimana terurai dalam Kakawin Ramayana, secara substansial isinya sama. Astabrata adalah delapan sikap dan tindakan yang meniru prilaku delapan Dewa, yaitu: Indrabrata, Yamabrata, Barunabrata, Kuwerabrata, Suryabrata, Candrabrata, Bayubrata, dan Agnibrata.
Kedekatan hubungan antara Mangkunegara IV dengan Ranggawarsita sebagaimana diungkapkan Pigeaud dalam bukunya Literature of Java juga mengingatkan kita pada kedekatan hubungan antara I Gusti Ngurah Made Agung dengan Ida Pedanda Made Sidemen yang juga dikenal sebagai seorang sastrawan besar abad ke-20 di Bali. Semenjak beliau (Mangkunegara IV) belum naik takhta, telah karib sekali dengan R. Ng. Ronggowarsito. Hampir setiap minggu sekali beliau itu bertemu untuk bertukar pikiran dan atau mengadu kawaskitan. Di samping pujangga besar R. Ng. Ronggowarsito, Sri Mangkunegara IV dapat disebut juga pujangga besar terakhir Sukarta.
Dalam proses kreatifnya, I Gusti Ngurah Made Agung lebih mengkhususkan diri dalam menggubah karya sastra dalam bentuk tembang macapat, seperti geguritan; sedangkan Ida Pedanda Made Sidemen lebih berminat pada kreativitas menggubah karya sastra dalam bentuk kakawin dan parwa. Mekipun demikian, keduanya juga menguasai dengan baik jenis sastra geguritan maupun kakawin. Selain menggubah kakawin dan parwa, Ida Pedanda Sidemen juga menulis sejumlah geguritan (macapat), seperti Geguritan Salampah Laku dan Kidung Rangsang. Demikian halnya I Gusti Ngurah Made Agung, beliau juga dikenal sebagai penulis Kakawin Atlas, sebuah kakawin yang sangat modern dan sangat berbeda.
Selain itu, satu hal yang cukup menarik adalah adanya latar belakang yang kurang lebih sama, antara renaissance yang melatarbelakangi kebangkitan kehidupan sastra di zaman Surakarta dengan semangat renaissance yang coba dikembangkan I Gusti Ngurah Made Agung, yaitu akibat dari adanya penetrasi Barat (kolonial Belanda). Dalam bukunya berjudul Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, Fachry Ali mengatakan, bahwa karya-karya Mangkunegara IV merupakan salah satu indikasi pada penekanan etik dan moral ksatria di dalam kultur Jawa, ketika otoritas kekuasaan Jawa semakin menyempit akibat penetrasi Barat. Hal yang sama juga terjadi dalam karya-karya I Gusti Ngurah Made Agung yang menekankan pentingnya etika.
***
http://sastra-indonesia.com/2010/10/i-gusti-ngurah-made-agung-pembaharu-sastra-bali-tradisional/
No comments:
Post a Comment