Tuesday, February 16, 2021

LIR SEPAH NGASAMUN

Taufiq Wr. Hidayat *
 
Gabriel Garcia Marquez mencatat rasa sakit yang melebihi kematian, tatkala seseorang harus mengalami kepedihan di akhir kekuasaan. Ketika hidupnya tak lagi dibutuhkan, lantaran kebaikan-kebaikan yang dilakukannya buat menjaga nama baik belaka, memberikan barang tak berharga pada orang lain karena bosan, dan menjadi korban suatu perhelatan waktu sebagai martir yang sia-sia. Kolonel Aureliano Buendia dalam "Seratus Tahun Kesunyian" itu, menghadapi regu tembak. Ia akan mengalami kematian tanpa upacara kepahlawanan. Tubuhnya hanya akan digeletakkan begitu saja di bawah pohon. Si pemegang kuasa dengan kekuasaan besar itu, mengakhiri kekuasaannya dalam muram. Meski tak harus diselesaikan dengan peluru. Kesepian yang memedihkan.
 
Barangkali pada puncak pencapaian, seseorang agaknya merasa asing dengan semua ini. Kebanggaan omong kosong perihal kepuasan menjadi “seorang senior”, kemudian melihat orang lain sebelah mata sambil menghina. Di situ, ia hanya ingin orang-orang memuji-muji pencapaian hidupnya, keberhasilan demi keberhasilannya yang gemilang. Ia terbuai. Tapi tak sadar---atau curiga; jangan-jangan yang dipuja orang hanya kekuasaan, pencapaian, kekayaannya. Bukan arti dirinya sebagai manusia biasa. Pada titik itu, seseorang akan menghadapi dirinya sendiri. Ia dirasuki keangkuhan dan kesombongan. Segalanya sudah di tangan; apa lagi?
 
“Sepa sepi lir sepah ngasamun,” kata orang Jawa. Pada suatu keadaan yang dipenuhi kebanggaan yang menjelma keangkuhan, seseorang tak dapat menegakkan diri di tengah kehidupan yang beraneka. Seorang guru, merasa tetap seorang guru meski di luar sekolah, sehingga semua orang ia perlakukan sebagai muridnya. Tak mau menerima nasehat, tapi gemar menjejalkan nasehat. Seorang pedagang, merasa semua harus diperjual-belikan, sehingga apa yang seyogianya tak dihitung untung-rugi, ia hitung untung-ruginya dengan cermat. Hidupnya pun hanya punya pandangan pada untung-rugi, kalah-menang, sedikit-banyak, atau peluang-peluang. Dan seorang entah siapa lagi. Alangkah sempitnya. Tanpa kerendahan hati untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain, ia menjadi “sepa” kata orang Jawa, yakni “hampa”. Sepi tanpa kawan, maksudnya kawannya terbatas lantaran ia tak mau rendah hati membangun kesetaraan dan kepercayaan yang wajar dengan siapa saja. Maka jadilah ia “sepah” (ampas), yang bagi orang Jawa dibuang buat makanan ayam. Fungsinya hanya sebatas makanan binatang ternak.
 
Dan dalam “sepa” (hampa) itu, ia merasakan segalanya percuma, tak menemukan arti sejati dirinya dalam kenyataan sehari-hari, selain hanya menuruti kehendak sendiri tanpa mengerti buat apa semua ini. Ada diri yang tak menemukan dirinya dalam kewajaran. Ia tak punya kawan yang jujur menemaninya, semua hanya berpura-pura sebab menyimpan keharusan memuji dan memanfaatkan kekuasaannya. Semua orang mengerumuninya karena kekuasaannya, seperti semut yang mengerubungi gula. Masa lalu pun datang, ada kebanggaan yang menjelma keangkuhan. Tetapi orang-orang pergi lantaran tak merasa tenang dan nyaman berada di dekatnya. Ia lalu membenci keadaan. Tatkala keterpikatan pada kebanggaan masa lalu membuainya dengan “romantisme cengeng” perihal kehebatan-kehebatan, tepat di situlah ia jatuh. Menyedihkan, dan hanyalah “ampas” di tengah kehidupan.
 
Sunyi memang sendiri. Tapi dalam sendiri, seseorang mesti menemui dirinya: berdialog. Bagai bicara tanpa siapa-siapa dan berkata-kata tanpa suara. Agar tampaklah baginya dirinya sendiri yang “bukan apa-apa”, sehingga tak perlu bersikap congkak pada orang lain. Apa yang tak ada di dunia dan apa yang tak mungkin di dalamnya? Tanya kearifan Jawa itu. Segalanya ada lantaran menyimpan banyak sekali kemungkinan untuk diadakan. Segalanya mungkin, karena menyimpan daya hidup untuk mewujudkan suatu keadaan. Maka tak ada yang paling besar di dunia, melainkan pasti ada yang lebih besar lagi. Tak ada yang paling kecil, kecuali ada yang jauh lebih kecil di situ juga. Dalam hidup ini, yang agung adalah gajah, kata Charlie Chaplin suatu ketika entah di mana. Tak perlu “gumunan” (kaget), sehingga menyingkirkan akal sehat. Melainkan segalanya perlu dipahami dalam kewajaran dan pikiran yang waras, guna mewujudkan sikap saling menghargai dan mengerti sebagai nilai humanisme. Begitu kiranya kearifan Jawa melalui Serat Wedatama tersebut.
 
Tanpa kesadaran manusiawi dan kerendahan hati melewati hidupnya, mungkin manusia memang tak benar-benar kokoh dalam sunyi. Sehingga Nabi Ibrahim tak mengutuk api yang membakar tubuhnya. Api sunyi itu, membakar dinginnya kefanaan, mencicipi keabadian dalam keberserahan yang menggetarkan. “Maka hanguskan tubuhku dengan apimu, agar hatiku pulang padamu,” ujar seorang penyair entah siapa. Segala bentuk akan mengalami kemusnahan, sehingga yang kekal hanya “wajah-Nya”. Ketika segala bentuk dihanguskan dalam dada, ketika seseorang tak lagi terpikat pada bentuk, maka “wajah-Nya” menjadi “nyata”, menjadi tampak baginya, melezatkannya. Begitu ujar penyair itu sambil menandaskan anggurnya yang berwarna semerah darah.
 
Tetapi memang tak ada yang tersisa dari segala kenangan, betapa pun ia dihadirkan atau datang kembali. Ia bukan hari ini, bukan hari yang akan datang. Sebab “dulu dan esok adalah hari ini,” ujar WS. Rendra ketika mencaci kekuasaan puluhan tahun yang lalu. Mungkin yang tertinggal dari kenangan ialah hikmat dan ketakziman pada masa lalu. Menyadari “sangkan paraning dumadi” katanya.
 
Tembokrejo, 2021

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/02/lir-sepah-ngasamun/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar