Gabriel Garcia Marquez mencatat rasa sakit yang melebihi kematian, tatkala seseorang harus mengalami kepedihan di akhir kekuasaan. Ketika hidupnya tak lagi dibutuhkan, lantaran kebaikan-kebaikan yang dilakukannya buat menjaga nama baik belaka, memberikan barang tak berharga pada orang lain karena bosan, dan menjadi korban suatu perhelatan waktu sebagai martir yang sia-sia. Kolonel Aureliano Buendia dalam "Seratus Tahun Kesunyian" itu, menghadapi regu tembak. Ia akan mengalami kematian tanpa upacara kepahlawanan. Tubuhnya hanya akan digeletakkan begitu saja di bawah pohon. Si pemegang kuasa dengan kekuasaan besar itu, mengakhiri kekuasaannya dalam muram. Meski tak harus diselesaikan dengan peluru. Kesepian yang memedihkan.
Barangkali pada puncak pencapaian, seseorang agaknya merasa asing dengan semua ini. Kebanggaan omong kosong perihal kepuasan menjadi “seorang senior”, kemudian melihat orang lain sebelah mata sambil menghina. Di situ, ia hanya ingin orang-orang memuji-muji pencapaian hidupnya, keberhasilan demi keberhasilannya yang gemilang. Ia terbuai. Tapi tak sadar---atau curiga; jangan-jangan yang dipuja orang hanya kekuasaan, pencapaian, kekayaannya. Bukan arti dirinya sebagai manusia biasa. Pada titik itu, seseorang akan menghadapi dirinya sendiri. Ia dirasuki keangkuhan dan kesombongan. Segalanya sudah di tangan; apa lagi?
“Sepa sepi lir sepah ngasamun,” kata orang Jawa. Pada suatu keadaan yang dipenuhi kebanggaan yang menjelma keangkuhan, seseorang tak dapat menegakkan diri di tengah kehidupan yang beraneka. Seorang guru, merasa tetap seorang guru meski di luar sekolah, sehingga semua orang ia perlakukan sebagai muridnya. Tak mau menerima nasehat, tapi gemar menjejalkan nasehat. Seorang pedagang, merasa semua harus diperjual-belikan, sehingga apa yang seyogianya tak dihitung untung-rugi, ia hitung untung-ruginya dengan cermat. Hidupnya pun hanya punya pandangan pada untung-rugi, kalah-menang, sedikit-banyak, atau peluang-peluang. Dan seorang entah siapa lagi. Alangkah sempitnya. Tanpa kerendahan hati untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain, ia menjadi “sepa” kata orang Jawa, yakni “hampa”. Sepi tanpa kawan, maksudnya kawannya terbatas lantaran ia tak mau rendah hati membangun kesetaraan dan kepercayaan yang wajar dengan siapa saja. Maka jadilah ia “sepah” (ampas), yang bagi orang Jawa dibuang buat makanan ayam. Fungsinya hanya sebatas makanan binatang ternak.
Dan dalam “sepa” (hampa) itu, ia merasakan segalanya percuma, tak menemukan arti sejati dirinya dalam kenyataan sehari-hari, selain hanya menuruti kehendak sendiri tanpa mengerti buat apa semua ini. Ada diri yang tak menemukan dirinya dalam kewajaran. Ia tak punya kawan yang jujur menemaninya, semua hanya berpura-pura sebab menyimpan keharusan memuji dan memanfaatkan kekuasaannya. Semua orang mengerumuninya karena kekuasaannya, seperti semut yang mengerubungi gula. Masa lalu pun datang, ada kebanggaan yang menjelma keangkuhan. Tetapi orang-orang pergi lantaran tak merasa tenang dan nyaman berada di dekatnya. Ia lalu membenci keadaan. Tatkala keterpikatan pada kebanggaan masa lalu membuainya dengan “romantisme cengeng” perihal kehebatan-kehebatan, tepat di situlah ia jatuh. Menyedihkan, dan hanyalah “ampas” di tengah kehidupan.
Sunyi memang sendiri. Tapi dalam sendiri, seseorang mesti menemui dirinya: berdialog. Bagai bicara tanpa siapa-siapa dan berkata-kata tanpa suara. Agar tampaklah baginya dirinya sendiri yang “bukan apa-apa”, sehingga tak perlu bersikap congkak pada orang lain. Apa yang tak ada di dunia dan apa yang tak mungkin di dalamnya? Tanya kearifan Jawa itu. Segalanya ada lantaran menyimpan banyak sekali kemungkinan untuk diadakan. Segalanya mungkin, karena menyimpan daya hidup untuk mewujudkan suatu keadaan. Maka tak ada yang paling besar di dunia, melainkan pasti ada yang lebih besar lagi. Tak ada yang paling kecil, kecuali ada yang jauh lebih kecil di situ juga. Dalam hidup ini, yang agung adalah gajah, kata Charlie Chaplin suatu ketika entah di mana. Tak perlu “gumunan” (kaget), sehingga menyingkirkan akal sehat. Melainkan segalanya perlu dipahami dalam kewajaran dan pikiran yang waras, guna mewujudkan sikap saling menghargai dan mengerti sebagai nilai humanisme. Begitu kiranya kearifan Jawa melalui Serat Wedatama tersebut.
Tanpa kesadaran manusiawi dan kerendahan hati melewati hidupnya, mungkin manusia memang tak benar-benar kokoh dalam sunyi. Sehingga Nabi Ibrahim tak mengutuk api yang membakar tubuhnya. Api sunyi itu, membakar dinginnya kefanaan, mencicipi keabadian dalam keberserahan yang menggetarkan. “Maka hanguskan tubuhku dengan apimu, agar hatiku pulang padamu,” ujar seorang penyair entah siapa. Segala bentuk akan mengalami kemusnahan, sehingga yang kekal hanya “wajah-Nya”. Ketika segala bentuk dihanguskan dalam dada, ketika seseorang tak lagi terpikat pada bentuk, maka “wajah-Nya” menjadi “nyata”, menjadi tampak baginya, melezatkannya. Begitu ujar penyair itu sambil menandaskan anggurnya yang berwarna semerah darah.
Tetapi memang tak ada yang tersisa dari segala kenangan, betapa pun ia dihadirkan atau datang kembali. Ia bukan hari ini, bukan hari yang akan datang. Sebab “dulu dan esok adalah hari ini,” ujar WS. Rendra ketika mencaci kekuasaan puluhan tahun yang lalu. Mungkin yang tertinggal dari kenangan ialah hikmat dan ketakziman pada masa lalu. Menyadari “sangkan paraning dumadi” katanya.
Tembokrejo, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/02/lir-sepah-ngasamun/
No comments:
Post a Comment