Esha Tegar Putra
padangekspres.co.id
Perioderisasi kesusastraan Indonesia beberapa tahun belakangan ini jauh
berubah dari wacana yang muncul sebelumnya. Di segi permunculan karya, media
penyebaran, dan lahirnya institusi independen dengan berbagai kegiatan yang
mendukung perkembangan kesusastraan di berbagai daerah telah merubah paradigma
“peta kesusastraan” memusat, menjadi “jejaring kesusastraan” yang meyebar.
Wacana perubahan tersebut lahir dari intensitas publikasi karya sastrawan
di sekitar jejaring dan ragam kegiatan kesusastraan yang diikuti. Pembuktian
eksistensi akhirnya mendatangkan penyebutan, dalam hal ini Korrie Layun Rampan
terakhir menasbihkan sebuah angkatan sastra yang dimanifeskan lewat sebuah buku
dengan judul Angkatan Sastra 2000. Sebagai catatan atau pembuktian
ke-sastrawan-an yang seseorang di dekade tersebut, ternyata hal itu tak banyak
memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan kesusastraan Indonesia.
Tentunya itu sebuah usaha, bentuk lain dari peralihan, untuk meraih (lagi)
tampuk keberhasilan dari apa yang telah ditumbuhkan oleh para sastrawan
sebelumnya yang juga membentuk angkatan-angkatan serupa.
Tulisan ini sebentuk refleksi dari kesusastraan kita beberapa tahun
belakang ini?khususnya Sumbar. Waktu melaju dengan ragam karya yang hadir
melesat dan iringan polemik telah membentuk sejarah kesusastraan Indonesia yang
manis dan getir.
Merunut Jejaring, Tak lagi Membaca Peta
Sebagian besar kritikus sastra belakangan ini bukanlah pembaca peta yang
baik saya kira. Sebab peta tak hanya ibu kota saja, tak hanya memusat pada
sebuah tempat. Akan tetapi ada kampung, kelok sungai, gunung , tasik, tanjung
dan pastinya jalur kereta yang tak harus dan tak bisa luput dibaca.
Begitu juga dengan “peta” dalam kesusastraaan Indonesia yang dipakai selama
ini tak akan layak jika masih ada daerah yang tidak dibaca dengan baik.
Tentunya daerah yang saya maksud adalah daerah penciptaan karya dan
penyebarannya. Pada tulisan ini saya merunut jejaring, tak membaca “peta” yang
selama ini saya anggap belum mewakili persebaran dan geliat kesusastraan di
Indonesia.
Contoh, jika tertinggal saya membaca, “kota Padang” tentunya banyak
sastrawan di Sumbar yang akan menganggap saya tak baik dalam membaca peta. Tapi
jika saya merunut jejaring, toh jejaring itu banyak sekali garis-garis yang
harus dirunut dan tak jelas, ada yang kusut, kadang putus-putus karena banyak
sebab, dan hal ini tentunya itu lain soal (exs: konsep “peta” pada Padang
-sebagai daerah kreatif kesusastraan- di “jejaring” akan dirunut menjadi
kelompok kecil [komunitas/instansi/dll], bahkan mungkin personal, tanpa
menghilangkan atau melupakan Padang).
Berbicara soal jejaring (bukan peta) maka akan terunut beberapa tempat
(bahkan instansi, komunitas dan personal) yang berupa perpanjangan dari
jejaring tersebut. Kita mulai saja dari luar kita (Sumbar) dan kita runut dari
jejaring paling sudut yakni Makasar (sulawesi), Banjar (kalimatan), Denpasar
(Bali) dan Lombok, Madura. Di Pulau Jawa menjejaring Surabaya, Jogja, Solo,
Kudus, Pekalongan, Tasik Malaya, Bandung, Tangerang. Di Sumatra menjejaring
Lampung, Palembang, Pekanbaru, Batam, Banda Aceh, Medan, dll. Nah, itu baru
jejaring pulau menjadi kota, belum lagi kita mengulas komunitas dan personal di
dalamnya.
Kota atau daerah penyebaran kesusastraan yang meliputi proses penciptaan
dan publikasi karya sastra di atas hanya sebentuk runutan tak teratur di luar
komunitas-komunitas, institusi pemerintah atau swasta yang membangun kondisi
kesusastraan di daerah tersebut menggeliat dan terjaga dengan baik.
Daerah-daerah di atas dengan sastrawan dan karya-karya mereka tak hanya
menggeliat di daerahnya, akan tetapi tetap mendominasi pentas kesusastraan di
tingkat nasional (mendunianya kapan?).
Jejaring Kesusastraan Sumbar dan Sebuah Posisi
Tiga tahun belakangan Sumatra Barat “buncah” akan karya di media-media
lokal (meliputi media sastra di koran Haluan, Singgalang dan Padang Ekspres)
dan di media-media nasional, tapi hal ini tak dibarengi dengan apresiasi yang
bagus.
Dulu memang tak bisa disamakan dengan sekarang. Saya mengistilahkan
sastrawan mutakhir Sumbar “menjemput bola” ke pentas nasional. Selepas A. A.
Navis, Rusli Marzuki Saria, Wisran Hadi atau generasi sesudahnya Haris Effendi
Thahar, Darman Moenir, Yusrizal KW, Ode Barta Ananda, Gus Tf, tak lagi
terbentuk sebuah jejaring yang utuh. Mungkin karena mereka berkarya dibarengi
dengan kritikus semisal Mursal Esten, Ivan Adilla, dll-sesudahnya. Tentunya
dulu, ada dukungan berbagai pihak dan institusi yang selalu membarengi mereka
dalam mengembangkan jejaring kesusastraan yang mereka bangun. Tapi tak begitu
adanya sekarang, dan inilah yang saya istilahkan dengan “jemput bola” (kadang
sastrawan jadi kritikus, jadi panitia acara, jadi tukang jual karya).
Jejaring kesusastraan di Sumbar jalan sendiri dan tak menemukan jalur
semenjak generasi Iyut Fitra, Irmansah, Agus Hernawan, Sondri Bs, dll. Selepas
“jemput bola” makin menggila, sampai ke “titik darah penghabisan”. Maka
beberapa tahun belakang ini akan terbaca karya-karya Ragdy F Daye, Maya Lestari
Gf, Zelfeni Wimra, Yetti Aka, Farizal Sikumbang, Iggoy El Fitra, Romi Zarman,
Chairan Hafzan Yurma, Deddy Arsya, Rio Sy, Delvi Yandra, Pinto Anugrah, Anda S,
Ria Febrina, Nilna R Isna, Sayyid Madani S, Andika Destika Khagen, dan
banyaknya nama yang belakangan muncul menggairahkan kesusastraan di Sumatra
Barat dengan karya mereka.
Sebagian besar mereka lahir dari komunitas-kominitas kampus dan independen
yang dibangun dari pertemuan-pertemuan kecil. Seperti komunitas sastra di
padang, Ilalang Senja, Intro, Daun, Teater Imam Bonjol, Sanggar Pelangi,
Ruangsempit dan Intro (Payakumbuh). Komunitas inilah yang menjadi mediasi
mereka selama berproses secara komunal, di balik prosespenciptaan karya secara
personal, jauh di ruang pribadi.
Beberapa sastrawan mutakhir yang berkarya selepas tahun 2000, dari
pembacaan saya, termuat dalam berbagai surat kabar di nasonal, antologi cerpen
dan puisi, dan banyak ajang perlombaan yang mereka dapatkan. Selain itu, mereka
tak hanya berpatokan di media nasional, sekelas koran Kompas dan Tempo, akan
tetapi mereka menjelajah lewat karya di berbagai media-media daerah di berbagai
daerah. Sebut saja Jawa Pos, Lampung Pos, Bali Pos, Pikiran Rakyat, Suara
Merdeka, Riau Pos, Analisa Medan, dll (alah lanyah jo karya nak rang tu…). Dan
memang sastrawan mutakhir Indonesia secara keseluruhan dibesarkan oleh media
cetak (koran) karena di sanalah ruang apresiasi karya yang memadai, selain
jurnal atau majalah yang terbit berkala, atau pembuatan buku pribadi bagi yang
mampu. Berbagai media cetak inilah yang coba ditembus oleh sastrawan mutakhir
Sumbar dengan banyaknya karya-karya sastrawan di luar mereka yang juga ingin
karyanya dipublikasikan.
Tapi “jemput bola” yang dilakukan sastrawan mutakhir di Sumbar ternyata tak
sebanding dengan apresiasi di luar sana, hanya sebatas karya yang bertebaran
dan di baca sepintas lalu. Jejaring sastrawan mutakhir Sumbar tak begitu
dirunut oleh para penggiat sastra di pentas nasional “panek mambajak, urang juo
nan mambaniah” Sebab apa?
Saya kira banyak hal yang terjadi, selain tak ada kritikus yang
mengapresiasi karya mereka, apresiasi di luar karya dari pihak yang
berkepentiangan juga kurang. Dan kurangnya bantuan dari instansi pemerintah
atau lainnya yang berkaitan dengan sastra sudah menjadi hal yang biasa bagi
mereka. “Tak soal, yang penting kita berkarya, nanti akan dilirik sendiri!”
ungkap seorang teman.
Saya kira permasalahan sastrawan bukanlah milik sastrawan sendiri, tapi
milik elemen yang membangunnya. Dan kiranya ini permasalahan? Pastilah
sastrawan juga menginginkan sesuatu gairah yang baik di balik banjir karya yang
bermutu. Perlunya apresiasi yang baik, semisal bantuan penerbitan buku atau
pembuatan ajang-ajang sastra di Sumbar dan pengiriman sastrawan untuk ajaang
kesusastraan di luar daerah. Hal ini tentunya untuk keberlangsungan
kesusastraan di Sumbar juga. Kiranya persoalan ini perlu kita cari jawabnya
bersama, sebagai masyarakat sastra yang peduli dengan kesusastraannya.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment