Friday, January 15, 2021

Jawa Timur dalam Konstelasi Peta Teater Indonesia

Rakhmat Giryadi *
 
Dalam peta teater Indonesia, Jawa Timur selalu mendapatkan peran yang kurang menonjol. Kenyataan ini barangkali benar. Tetapi meski demikian, kalau kita melihat-lihat sejarah, Jawa Timur memiliki andil terhadap perkembangan teater Indonesia. Catatan yang saya kumpulkan dari data yang berserak ini barang kali bisa dijadikan bayangan keberadaan teater Jawa Timur dalam peta teater Indonesia hingga tahun 1980-an. Sehingga pertanyaan tentang jejak teater Jawa Timur bisa terjawabkan.
 
Memang benar yang dikatakan Faishal dalam tulisannya di Jawa Pos Minggu 12 Desember 2004, bahwa pada masa kejayaan kelompok sandiwara Orion, di Sidoarjo pada tanggal 21 Juni 1926 berdiri kelompok sandiwara Dardanella. Sandiwara yang didirikan oleh Willy Klimanoff alias A. Piedro ini bertujuan menyaingi kepopuleran Orion. Kalau Orion menjadi terkenal karena bintang panggungnya Miss Riboet, maka di Dardanella yang terkenal adalah Tan Tjeng Bok. Tan Tjeng Bok dikenal sebagai pemain pedang yang tangguh, sehingga banyak digemari penonton. Dia sangat dikenal sebagai pengejawantahan bintang film Amerika, Dauglas Fairbank. Memang, dalam pertunjukan Dardanella selalu didahuli dengan reportoar film-film barat (Amerika) dan film-film roman yang banyak mengetengahkan adegan permainan pedang.
 
Dua kelompok ini bersaing secara ketat. Mereka melakukan ?perang teater? melalui promosi besar-besaran lewat poster-poster yang dipasang di surat-surat kabar, majalah, dan propaganda di jalan-jalan. Dalam persaingan ini Orion harus menyerah pada Dardanella. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, Nyoo Cheong Seng penulis naskah Orion bersama istrinya, menyeberang ke Dardanella.
 
Mengapa Dardanella lebih bisa bertahan dari Orion? Kelompok Dardanela boleh dikatakan pembaharuan dari Orion. Dardanella berani memasukan cerita-cerita yang problimatik dan pendukung-pendukungnya rata-rata para kum terpelajar. Masa kejayaan kelompok Dardanella selama 10 tahun. Setelah mereka berhasil keliling ke Cina, Siam, Burma, India, Tibet, dan Eropa, kelompok ini pecah. Kelompok yang telah bekerja secara professional ini berakhir sampai masa penjajahan Jepang.
 
Di luar grup profesional seperti Dardanella, kaum terpelajar di Surabaya memiliki kelompok teater amatir “Bintang Surabaya”. Bintang Surabaya pada jaman Jepang ini lebih mementingkan aspek estetik teater modern. Bintang Surabaya banyak belajar pada konsep pertunjukan teater modern yang berkembang di Eropa. Inilah yang membedakan Dardanella yang cenderung ngepop bila di bandingkan dengan Bintang Surabaya yang lebih menekankan pada estetika pertunjukan.
 
Sejak masa itu kegiatan teater di Jawa Timur tidak surut. Ini terbukti pada masa pusat pemerintahan Indonesia berpindah ke Yogyakarta 1946, dalam catatan buku Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950-1990 seniman teater kontemporer aktif menjalin komunikasi dengan seniman teater di Surabaya salah satunya bernama Djamaludin. Bahkan pada sekitar tahun 1952-1954, di Surabaya berlangsung Festival Seni Drama Surabaya. Festival yang berifat amatur ini dikritik oleh Sukarno Hardian dengan mengatakan bahwa para pemain drama amatir belum paham tentang teknik bermain drama. Kritik ini didasarkan pada kekuatan naskah yang dibuat oleh kelompoknya sendiri. Festival ini dinilai olehnya telah merusak apresiasi penonton.
 
Meski dimikian perkembangan teater modern mau tidak mau terus berkembang ditangan kaum terpelajar. Dalam konggres kebudayaan I di Magelang tahun 1950, para peserta konggres bersepakat untuk membentuk pendidikan khusus teater dan film. Maka terbentuklah Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) di Yogyakarta pada tahun 1954. Akademi ini bertujuan untuk meningkatkan apresiasi teater modern di Indonesia.
 
Sejak munculnya akademi ini, perkembangan teater Indonesia mengalami kemajuan. Pada masa itu, Indonesia mengalami zaman kemasan teater I. Penulis-penulis naskah bermunculan, di Surabaya sendiri Suparta Brata telah menjadi salah seorang penulis yang berhasil menjadi pemenang sayembara penulisan naskah di Jogjakarta 1958 dengan naskah berjudul Cinta dan Penghargaannya.
 
Dalam catatan-catatan yang saya miliki, beberapa tokoh teater di Jawa Timur pada masa tahun 1960-1970an telah dikenal dilingkungan para teatrawan di Jogjakarta yang pada masa itu dikenal gudangnya tokoh teater Indonesia. Tokoh Jawa Timur yang terkenal waktu itu, Sunarto Timur yang pernah memainkan Suara-Suara Mati (Dode Klanken) karya Manuel Van Logem dengan para pemain Deddy Sutomo, Neny Kusumawardani, dan Suparto Prajitno. Pementasan itu diselenggarakan oleh Lingkar Drama Mahasiswa UGM. Selain Sunarto Timur dalam acara itu WS. Rendra memainkan Kereta Kencana yang diadaptasi dari karangan Ionesco.
 
Dalam catatan buku itu, pada tahun 60-an Surabaya sudah memiliki Paguyuban Teater 60-Surabaya. Ini artinya pada masa itu di Surabaya ?meski masih amatir- sudah banyak terdapat kelompok teater. Pada tahun 1976, ketika masa jayanya Bengkel Teater Rendra, sempat memainkan naskah Tuan Kondektur karya Emil Sanosa (penulis Malang) di Auditorium IKIP Malang. Bahkan ditahun yang sama, tanggal 20 Agustus, dramawan muda Yogyakarta, Untung Basuki, Yoyok, dan Merit Hendra yang hendak memainkan naskah Bui karya Akhudiat (dramawan Surabaya), dicekal polisi dengan alasan yang tidak jelas.
 
Pada tahun 1977, Sanggar Bambu Yogyakarta mengadakan ?Duel Teater? dua kota Yogyakarta dan Surabaya, di Senisono dengan mengangkat naskah yang sama, Bui karya Akhudiat. Yogyakarta diwakili Untung Basuki, Yoyok, dan Merit Hendra dan Surabaya diwakili oleh teater Merdeka Surabaya dengan sutradara Anang Hanani.
 
Pada Pertemuan Teater 80 di Jakarta, Akhudiat bersama teater Bengkel Muda Surabaya (BMS) mementaskan Syair, Bunga, dan Koran karya Akhudiat. Catatan ini menegaskan, bahwa sampai pada dasawarsa 80-an teater di Surabaya masih memiliki peran yang cukup berarti di peta teater Indonesia. Catatan selanjutnya pada masa 90-an, sudah banyak diketahui, teater Surabaya sedikit demi sedikit menghilang dari peta perteateran Indonesia. Sementara para generasi sebelumnya tidak sempat memikirkan regenerasi. Catatan yang barang kali tidak penting ini, hendaklah bisa menjadi bayangan betapa pada masa sebelumnya, Surabaya (Jawa Timur) telah memiliki tokoh dan kelompok teater yang tangguh. Lalu bagaimana generasi 90-an. Mampukah kita meneruskan catatan ini?

*) Penggiat teater tinggal di Sidoarjo. http://sastra-indonesia.com/2009/01/jawa-timur-dalam-konstelasi-peta-teater-indonesia/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar