Tuesday, January 19, 2021

Barat Dan Timur

Satmoko Budi Santoso
Jurnal Kebudayaan The Sandour
 
DALAM kitab risalahnya yang berjudul Orientalism yang amat monumental dan sudah diterjemahkan ke banyak bahasa di dunia itu, Edward W. Said menyebut satu term yang sungguh menarik ditelaah. Tanpa rasa canggung Edward W. Said menyebut kalimat east is a career untuk sebuah konteks pembicaraan mengenai dikotomi dunia Barat dan Timur, terlebih lagi untuk kepentingannya menelaah tentang fenomena postkolonialisme, yang memang sampai di Indonesia pun dijadikan obyek studi serius.
 
Dalam konteks ini, saya tak akan mempersoalkan apa pun, misalnya saja menyanggah pikiran-pikiran Edward W. Said dalam risalah tersebut. Saya sungguh tidak ingin mengungkit-ungkit masalah dikotomi, karena pembicaraan tentang Barat dan Timur sudah berpuluh-puluh kali menjadi polemik di sejumlah koran dan majalah. Dalam konteks ini, saya hanya ingin mengelaborasi tentang sisi ironisme tertentu sebagai orang Timur, dan telaah saya ini pun hanya berdasarkan common sense, karena memang saya hanya ingin berbagi rumpian.
 
Saya ingin mengurai sebuah ironisme yang sudah sangat akut, dengan sebuah pertanyaan yang menggelitik, kenapa Pemerintah Indonesia jarang berpihak terhadap kehidupan seni dan sastra, juga pada kebudayaan pada umumnya? Kenapa banyak seniman dan sastrawan Indonesia akhirnya malah mengabdikan pikiran dan menyandarkan masa depan keseniannya dari peran funding atau lembaga-lembaga luar negeri? Atas pertimbangan bargain apakah keputusan itu diambil? Apakah memang Pemerintah Indonesia sudah tak mungkin memberikan jaminan kelayakan atas kehidupan kesenian sehingga para seniman dan sastrawan Indo-nesia perlu mengambil langkah alternatif dengan melirik lembaga asing? Padahal, bukankah hal itu mestinya meru-pakan tanggung-jawab Pemerintah Indonesia, karena do-kumen hasil-hasil penelitian yang dilakukan para seniman dan sastrawan masuk ke “orang negeri sendiri”, dan bukan bule?
 
Tentu, ada banyak alasan yang membuat setiap orang memutuskan sesuatu hal,entah atas dasar nasionalisme ataupun tidak. Saya ingin berbagi ilustrasi, sebuah pengalaman riil yang mudah-mudahan menarik bagi para pembaca.
***
 
SUATU hari, saya di-SMS seorang kawan. Ada undangan menghadiri presentasi yang dilakukan sebuah lembaga asing. Maka, berbondong-bondonglah kami, yang entah mengapa dianggap sebagai sastrawan, menghadiri undangan presentasi itu. Sesampainya di tempat yang dimaksud, kami dihadapkan pada orang-orang bule, yang mengawali presentasi dengan menyebutkan bahwa pihaknya siap mendanai kegiatan penelitian berlatar belakang studi kebudayaan. Laporan penelitian bisa diberikan dalam bentuk fiksi, kajian ilmiah, atau apa pun.
 
Tentu saja, dalam kepala kami yang hadir waktu itu, kami tertantang untuk melakukan penelitian ke luar Jawa. Meneliti tradisi atau warna lokal kebudayaan Indonesia yang berserak. Nah, kemudian, hasil dari penelitian itu bisa saja kami jadikan bahan penulisan fiksi. Wow. Tantangan yang menarik! Selain bisa punya kesempatan jalan-jalan, barangkali kami akan mendapatkan sisa finansial yang lumayan. Lagi pula, bisa merancang-rancang membuat fiksi yang spektakuler dan berhasrat ingin dianggap fenomenal.
 
Sampai akhirnya kami sampai di rumah dan memikirkan peluang kesempatan tersebut. Apa mau dikata, tanpa langkah kesepakatan, di antara kami tak juga saling ber-SMS, ternyata masing-masing dari kami tak ada yang memenuhi tawaran tersebut. Masingmasing di antara kami mempunyai alasan yang sama untuk sedikit kerepotan membikin sebuah proposal, yang barangkali akan sangat menarik jika ditambahi dengan “langkah estetik” berupa mark up budget.
 
Ketika masing-masing dari kami bertemu, secara tegas alasan kami adalah sama: malas! Tanpa merinci alasan yang membuat kami malas,kami pun saling tersenyum. Apa mau dikata, jika mau bersikap idealis memang susah, karena tawaran menggiurkan bisa datang mengejutkan. Tentu saja, atas pengalaman itu kami tak perlu dianggap sebagai seorang nasionalis, juga seorang idealis, karena bisa jadi suatu ketika kami akan terjegal godaan menggiurkan yang tak ka-lah menyakitkan: seperti halnya “mr. clean” Mulyana W. Kusumah, tokoh HAM plus pro-demokrasi, dan selalu teriak soal antikorupsi, namun pada akhirnya terjebak dan sungguh kebingungan ketika dihadapkan pada godaan uang.
***
 
BAIKLAH. Saya hanya ingin menegaskan bahwa apa yang saya tulis ini bukanlah merupakan “kampanye gerakan moral”, untuk kembali dan hanya bersetia dengan dunia Timur. Karena, hidup di Timur memang repot, risiko miskin finansial membayangi langkah kreatif kesenimanan dan kesastrawanan. Tetapi, barangkali juga di situlah menariknya, kita mendapatkan tantangan survival yang kelewat heroik, bagaimana bertahan agar tetap steril dan menjaga integritas nasionalisme, dengan sama sekali tak terjebal kolonisasi modern, seperti presentasi yang dilakukan sebuah lembaga yang saya singgung di atas?
 
Sumpah mampus, saya hanya ingin berbagi pengalaman saja, dan sebagai pondasi membagi pengalaman itu, diakhir tulisan ini saya ingin berbagi pengamatan atas fenomena seorang WS Rendra.
 
Saya hanya tahu, WS Rendra ialah seniman dan sastrawan yang berkaliber internasional. Namun rupa-rupanya ia tidak serta-merta menggadaikan kesempatan diperhitungkan di dunia Eropa, misalnya saja dengan tinggal di luar negeri. Dalam amatan saya, pastilah hal itu bisa dilakukannya. Apa mau dikata, meskipun WS Rendra diperhitungkan dalam percaturan sastra Eropa, ia lebih memilih tinggal di Indonesia. Bahkan, kehidupan kesehariannya pun ia jalani di sebuah kampung, dengan tradisi hidup yang betul-betul back to nature: semua kebutuhan hidup sehari-hari sebagian besar diperoleh dengan berladang dan beternak.
 
Ah, sampai pada pembicaraan tentang WS Rendra, saya menjadi teringat kepada sebuah bukunya yang berjudul Mempertimbangkan Tradisi. Dari judul buku-nya saja pastilah orang bisa menebak idealisasi kesenian dan sastra macam apa yang sekiranya patut diperhitungkan oleh para sastrawan dan seniman Indonesia.
 
Sumpah mati berkali-kali, saya tidak akan menyimpulkan apa-apa dari buku itu, seperti saya sendiri tidak tahu apakah kelak pikiran saya berubah ataukah tidak dalam mempertimbangkan dikotomi perihal Barat dan Timur, yang memang tidak pernah selesai dalam pikiran saya. Ah?
***

http://sastra-indonesia.com/2009/02/barat-dan-timur/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar