Satmoko Budi Santoso
Jurnal Kebudayaan The
Sandour
DALAM kitab risalahnya
yang berjudul Orientalism yang amat monumental dan sudah diterjemahkan ke
banyak bahasa di dunia itu, Edward W. Said menyebut satu term yang sungguh
menarik ditelaah. Tanpa rasa canggung Edward W. Said menyebut kalimat east is a
career untuk sebuah konteks pembicaraan mengenai dikotomi dunia Barat dan
Timur, terlebih lagi untuk kepentingannya menelaah tentang fenomena
postkolonialisme, yang memang sampai di Indonesia pun dijadikan obyek studi
serius.
Dalam konteks ini, saya
tak akan mempersoalkan apa pun, misalnya saja menyanggah pikiran-pikiran Edward
W. Said dalam risalah tersebut. Saya sungguh tidak ingin mengungkit-ungkit
masalah dikotomi, karena pembicaraan tentang Barat dan Timur sudah
berpuluh-puluh kali menjadi polemik di sejumlah koran dan majalah. Dalam
konteks ini, saya hanya ingin mengelaborasi tentang sisi ironisme tertentu
sebagai orang Timur, dan telaah saya ini pun hanya berdasarkan common sense,
karena memang saya hanya ingin berbagi rumpian.
Saya ingin mengurai sebuah
ironisme yang sudah sangat akut, dengan sebuah pertanyaan yang menggelitik,
kenapa Pemerintah Indonesia jarang berpihak terhadap kehidupan seni dan sastra,
juga pada kebudayaan pada umumnya? Kenapa banyak seniman dan sastrawan
Indonesia akhirnya malah mengabdikan pikiran dan menyandarkan masa depan
keseniannya dari peran funding atau lembaga-lembaga luar negeri? Atas
pertimbangan bargain apakah keputusan itu diambil? Apakah memang Pemerintah
Indonesia sudah tak mungkin memberikan jaminan kelayakan atas kehidupan
kesenian sehingga para seniman dan sastrawan Indo-nesia perlu mengambil langkah
alternatif dengan melirik lembaga asing? Padahal, bukankah hal itu mestinya
meru-pakan tanggung-jawab Pemerintah Indonesia, karena do-kumen hasil-hasil
penelitian yang dilakukan para seniman dan sastrawan masuk ke “orang negeri
sendiri”, dan bukan bule?
Tentu, ada banyak alasan
yang membuat setiap orang memutuskan sesuatu hal,entah atas dasar nasionalisme
ataupun tidak. Saya ingin berbagi ilustrasi, sebuah pengalaman riil yang
mudah-mudahan menarik bagi para pembaca.
***
SUATU hari, saya di-SMS
seorang kawan. Ada undangan menghadiri presentasi yang dilakukan sebuah lembaga
asing. Maka, berbondong-bondonglah kami, yang entah mengapa dianggap sebagai
sastrawan, menghadiri undangan presentasi itu. Sesampainya di tempat yang
dimaksud, kami dihadapkan pada orang-orang bule, yang mengawali presentasi
dengan menyebutkan bahwa pihaknya siap mendanai kegiatan penelitian berlatar
belakang studi kebudayaan. Laporan penelitian bisa diberikan dalam bentuk
fiksi, kajian ilmiah, atau apa pun.
Tentu saja, dalam kepala
kami yang hadir waktu itu, kami tertantang untuk melakukan penelitian ke luar
Jawa. Meneliti tradisi atau warna lokal kebudayaan Indonesia yang berserak.
Nah, kemudian, hasil dari penelitian itu bisa saja kami jadikan bahan penulisan
fiksi. Wow. Tantangan yang menarik! Selain bisa punya kesempatan jalan-jalan,
barangkali kami akan mendapatkan sisa finansial yang lumayan. Lagi pula, bisa
merancang-rancang membuat fiksi yang spektakuler dan berhasrat ingin dianggap
fenomenal.
Sampai akhirnya kami
sampai di rumah dan memikirkan peluang kesempatan tersebut. Apa mau dikata,
tanpa langkah kesepakatan, di antara kami tak juga saling ber-SMS, ternyata
masing-masing dari kami tak ada yang memenuhi tawaran tersebut. Masingmasing di
antara kami mempunyai alasan yang sama untuk sedikit kerepotan membikin sebuah
proposal, yang barangkali akan sangat menarik jika ditambahi dengan “langkah
estetik” berupa mark up budget.
Ketika masing-masing dari
kami bertemu, secara tegas alasan kami adalah sama: malas! Tanpa merinci alasan
yang membuat kami malas,kami pun saling tersenyum. Apa mau dikata, jika mau
bersikap idealis memang susah, karena tawaran menggiurkan bisa datang
mengejutkan. Tentu saja, atas pengalaman itu kami tak perlu dianggap sebagai
seorang nasionalis, juga seorang idealis, karena bisa jadi suatu ketika kami
akan terjegal godaan menggiurkan yang tak ka-lah menyakitkan: seperti halnya
“mr. clean” Mulyana W. Kusumah, tokoh HAM plus pro-demokrasi, dan selalu teriak
soal antikorupsi, namun pada akhirnya terjebak dan sungguh kebingungan ketika
dihadapkan pada godaan uang.
***
BAIKLAH. Saya hanya ingin
menegaskan bahwa apa yang saya tulis ini bukanlah merupakan “kampanye gerakan
moral”, untuk kembali dan hanya bersetia dengan dunia Timur. Karena, hidup di
Timur memang repot, risiko miskin finansial membayangi langkah kreatif
kesenimanan dan kesastrawanan. Tetapi, barangkali juga di situlah menariknya,
kita mendapatkan tantangan survival yang kelewat heroik, bagaimana bertahan
agar tetap steril dan menjaga integritas nasionalisme, dengan sama sekali tak
terjebal kolonisasi modern, seperti presentasi yang dilakukan sebuah lembaga
yang saya singgung di atas?
Sumpah mampus, saya hanya
ingin berbagi pengalaman saja, dan sebagai pondasi membagi pengalaman itu,
diakhir tulisan ini saya ingin berbagi pengamatan atas fenomena seorang WS
Rendra.
Saya hanya tahu, WS
Rendra ialah seniman dan sastrawan yang berkaliber internasional. Namun
rupa-rupanya ia tidak serta-merta menggadaikan kesempatan diperhitungkan di
dunia Eropa, misalnya saja dengan tinggal di luar negeri. Dalam amatan saya,
pastilah hal itu bisa dilakukannya. Apa mau dikata, meskipun WS Rendra
diperhitungkan dalam percaturan sastra Eropa, ia lebih memilih tinggal di
Indonesia. Bahkan, kehidupan kesehariannya pun ia jalani di sebuah kampung,
dengan tradisi hidup yang betul-betul back to nature: semua kebutuhan hidup
sehari-hari sebagian besar diperoleh dengan berladang dan beternak.
Ah, sampai pada
pembicaraan tentang WS Rendra, saya menjadi teringat kepada sebuah bukunya yang
berjudul Mempertimbangkan Tradisi. Dari judul buku-nya saja pastilah orang bisa
menebak idealisasi kesenian dan sastra macam apa yang sekiranya patut
diperhitungkan oleh para sastrawan dan seniman Indonesia.
Sumpah mati berkali-kali,
saya tidak akan menyimpulkan apa-apa dari buku itu, seperti saya sendiri tidak
tahu apakah kelak pikiran saya berubah ataukah tidak dalam mempertimbangkan
dikotomi perihal Barat dan Timur, yang memang tidak pernah selesai dalam
pikiran saya. Ah?
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment