Sunday, December 20, 2020

WALI ULO

Taufiq Wr. Hidayat *
 
Seseorang yang bernama Kisemaur mengisahkan perihal orang yang disebut Wali Ulo. Bagi saya, kisah Kisemaur itu bukan cerita baru. Ia mengisahkan kembali kisah-kisah lama yang pernah didengarnya ketika menjadi santri dulu. Sekarang Kisemaur sudah tidak nyantri lagi. Umurnya hampir 50 tahun. Tapi gerahamnya kokoh, besar, dan giginya masih kuat menghaluskan jagung goreng.
 
Meski dia bernama Kisemaur sejak kecil, ternyata dia bukan orang Jawa. Melainkan orang Madura, orangtuanya berasal dari Sumenep. Merantau ke Banyuwangi, menikah dengan perempuan Banyuwangi, lalu lahirlah anak semata wayang yang kemudian diberi nama Kisemaur. Bibirnya tebal dan hitam. Jari-jari tangannya besar-besar. Tapi lincah memainkan gitar seperti Alip Ba Ta. Siapa kira, Kisemaur adalah ahli Balaghoh. Akan tetapi, dia tidak pernah menjadi pembicara perihal tafsir. Sehari-hari Kisemaur adalah pedagang bawang dan bumbu-bumbu dapur. Ia mengulak bahan-bahan dari petani, lalu dijual di pasar Sabtu di desanya. Untuk itu, ia memakai mobil pick-up jadul, tapi masih kokoh dan tidak gampang macet. Itu lantaran Kisemaur memiliki kepandaian memelihara dan membongkar-pasang mesin mobil.
 
Setiap pagi, sambil menjual bumbu-bumbu dapur dari atas pick-up-nya, ia meminum kopi. Kopinya hitam, hanya memakai sedikit gula. Ia gemar kopi Arabika. Saya sering berbincang dengan Kisemaur. Mendengarkan cerita-ceritanya yang aneh, tapi menarik.
 
Dikisahkan langsung dari lisan Kisemaur kepada saya pagi itu, bahwa ada seorang gembala yang lebih agung kedudukannya dari seorang nabi. Menurut Kisemaur, gembala itu menjadi sosok yang keagungannya melampaui keagungan seorang nabi, lantaran ia diam saja ketika ditegur seorang nabi. Suatu hari, Nabi Musa mendengarkan doa sang gembala tersebut. Sebagaimana disampaikan Kisemaur waktu mengupas bawang merah, sang gembala berdoa. Adapun doanya adalah sebagai berikut:
 
“Ya Tuhan yang maha esa. Di mana Engkau. Aku ingin menyediakan makan buat-Mu, agar Kau tidak kelaparan. Mengadukkan segelas susu bagi-Mu, agar Kau tidak kehausan. Menjahitkan baju-Mu. Dan menyediakan tempat tidur yang hangat buat-Mu, agar Kau dapat beristirahat melepaskan lelah-Mu mengurus dunia. Amen..”
 
Nabi Musa menegur sang gembala.
 
“Wahai Sang Gembala! Doamu salah total! Tuhan tidak membutuhkan makan dan minum. Tuhan tidak tidur. Anggapanmu kepada Tuhan telah menyalahi akidah. Hentikan doamu!”
 
Sang gembala diam. Menghentikan doanya. Lalu kembali menggiring domba-dombanya. Nabi Musa melanjutkan perjalanan sucinya ke puncak bukit. Menghadap Tuhan. Kisemaur melanjutkan kisahnya. Menurut Kisemaur, giliran Nabi Musa ditegur Tuhan.
 
“Musa, kenapa kamu tegur doa sang gembala tadi?”
 
“Ampun, Tuhan. Doanya tergolong doa sembarangan. Dia mengira-Mu butuh tidur, makan, dan minum. Bukankah itu melanggar akidah?”
 
“Dengar, Musa. Bukan kata-kata dari doa sang gembala yang aku utamakan dan Aku lihat. Yang Aku utamakan dan Aku lihat adalah hati yang mengucapkan doanya dengan ketulusan. Sekarang kembalilah kamu padanya. Minta maaf padanya.”
 
“Ampun, Tuhan.”
 
“Lantas apakah Nabi Musa kemudian mencari sang gembala?” tanya saya.
 
Kisemaur tertawa.
 
“Hahaha! Apakah Nabi Musa berani melanggar perintah Tuhan? Mana mungkin dia berani, meski pikirannya galau!” ujar Kisemaur.
 
Setelah mengepulkan asap rokoknya, Kisemaur melanjutkan.
 
“Maafkan aku, wahai Sang Gembala. Kembalilah berdoa seperti doamu tadi, ucapkanlah kata-kata doamu. Tuhan berkenan menerimanya,” ujar Nabi Musa.
 
Tapi sang gembala tak menjawab. Dia diam saja. Menatap domba-domba. Dia menuding-nuding, memberikan isyarat dengan jarinya. Menurut Kisemaur, sang gembala tiba-tiba menjadi bisu. Nabi Musa heran. Ia kembali menghadap Tuhan.
 
“Tuhan, perintah-Mu telah aku tunaikan. Aku menemui sang gembala untuk menyampaikan perkenan-Mu atas doanya itu. Tapi sang gembala telah menjadi bisu. Kenapa seketika dia menjadi bisu?”
 
“Musa, kebijaksanaanmu tak sampai pada kebijaksanaan sang gembala itu. Ia tak lagi membutuhkan kata-kata untuk menyampaikan maksud hatinya kepada-Ku. Sedangkan kamu masih membutuhkan kata-kata untuk dapat mengerti perintah-Ku dan untuk menyampaikan pengaduanmu kepada-Ku.”
 
Menurut Kisemaur---sebagaimana dikisahkan dalam kitab kuno yang mashur, Nabi Musa tertunduk. Ia menyadari betapa lebih agung kebijaksanaan sang gembala itu dari kebijaksanaan kenabiannya.
 
“Itu kisah menarik, bukan?” kata Kisemaur sambil menghirup kopinya.
 
“Di mana letak menariknya?” tanya saya.
 
“Kita masih membutuhkan keluhan orang lain agar hati tergerak untuk memperhatikannya. Kita masih membutuhkan begitu banyak ungkapan hanya sekadar untuk mengerti kebutuhan dan penderitaan sesama. Kita tak sampai pada kebijaksanaan sang gembala, yang membisu dalam menyampaikan maksudnya. Dan membisu serta tak membutuhkan kata-kata dalam memahami kebutuhan domba-dombanya, ia tak perlu domba-dombanya berkata-kata untuk sekadar mengerti apakah domba-domba itu haus, lapar, dan kelelahan.”
***
 
Pada sekali waktu, Kisemaur mengisahkan perihal orang yang bernama Wali Ulo. Orang itu orang Jawa, hidup di Jawa. Disebut Wali Ulo karena ia memelihara ular piton di rumahnya. Ular itu dimasukkan ke dalam kotak kayu, dibawanya ke pasar-pasar. Dia menjual jamu pegal linu dan impotensi. Membual. Wali Ulo menyampaikan, bahwa dalam kotak kayunya terdapat ular piton, ular piton yang ganas. Dia menawarkan jalan keluar, yakni menyulap daun-daun menjadi uang. Menyatakan mampu memantrai keadaan supaya menjadi baik-baik saja, dan dapat meramalkan masa depan. Wali Ulo juga menyatakan, bahwa segala tindakannya yang tidak masuk akal harap dimaklumi, karena semua tindakannya adalah tindakan yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Dia menyatakan tahu di mana dan bagaimana menemukan Tuhan dan Nabi Khidir. Sebagai orang yang dipanggil Wali Ulo, dia tahu bagaimana kebutuhan seekor ular setiap harinya.
 
“Wali Ulo itu pembual. Dia gemar mengundang grup musik supaya manggung, tapi dengan bayaran surga kelak. Dan menegaskan, segala perbuatan harus ikhlas,” ujar Kisemaur.
 
“Apakah orang yang bernama Wali Ulo dalam kisah Anda itu terdapat dalam kitab-kitab kuno?” tanya saya.
 
“Wali Ulo tidak pernah ada dalam kitab-kitab kuno.”
 
“Lalu dari mana Anda dapatkan kisah perihal Wali Ulo itu?”
 
“Dari saya sendiri. Wali Ulo itu tetangga saya! Hahaha!”
 
“Hahaha! Jadi Wali Ulo tidak terdapat dalam kitab kuno dan ayat suci?”
 
“Tidak ada. Tapi kamu harus tahu, Wali Ulo itu anak seorang tokoh agama, bapaknya banyak tanahnya. Begitu lahir, Wali Ulo langsung pakai jaket. Langsung mapan. Dan aman. Orang yang usianya lebih tua harus bicara menggunakan unggah-ungguh, sedang dia sendiri kalau bicara sama orang yang lebih tua dari usianya tidak pakai unggah-ungguh. Karena dia dianggap “putra mahkota”, pembawaannya selalu ingin dan harus dilayani, dihormati dan dijunjung. Tapi dia tidak mau menghormati orang lain. Semua orang disuruhnya tulus dan mengabdi kepadanya. Maunya enak sendiri. Ketika harta warisan orangtuanya habis, dia hidup sengsara. Menjadi penjual obat di jalanan, mengoceh ke barat dan ke timur, kalau menasehati orang paling jago. Kalau bicara seenak udelnya. Sekarang yang bisa dia lakukan hanya membual, memelihara ular piton. Sehingga disebut Wali Ulo. Apa sebutan lain dari Wali Ulo?”
 
“Apa sebutan lainnya, Kisemaur?” tanya saya.
 
“Sebutan lain dari Wali Ulo adalah “jancuk”. Tahu, jancuk?! Hahaha!”
 
Kisemaur tertawa. Giginya putih seperti tawanya. Tapi kopinya tetap hitam pekat seperti bibirnya.
 
Gumuk Angin, Tembokrejo, 2020

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2020/12/wali-ulo/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar