Sunday, December 20, 2020

Antara Lokalitas dan Modernitas Dalam Puisi Latief S. Nugraha

Peresensi: Nurul Anam *
 
Membicarakan dunia kesusastraan Indonesia kita, tidak akan terlepas dari dua kutub persoalan, antara lokalitas dan modernitas. Mengapa demikian? Dinamika perkembangan kesusastraan Indonesia dapat ditandai dari pengaruh modernitas dan lokalitas. Jika kita mau runut perkembangannya mulai dari kenalnya budaya tulis, melukis, dan pementasan-pementasan kesenian dapat kita pahami sebagai dari pengaruh modernitas. Kemudian berlanjut atas penamaan-penamaan karya tulis, semisal novel, cerpen juga puisi adalah bukti paling jelas dari pengaruh modernitas atas perkembangan kesusastraan Indonesia.
 
Dalam kesusastraan, puisi khusunya, kita lebih akrab mengenal puisi yang muncul di era modern. Seperti puisi-puisi Khairil Anwar yang menyuarakan tentang eksistensialisme “AKU” dalam puisinya begitu akrab di mata masyarakat. Bahkan sudah menjadi suatu keharusan puisi Khairil tersebut untuk dijadiakan contoh/panutan dalam buku-buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
 
Namun di sisi lain jangan pernah kita lupakan soal lokalitas. Lokalitas juga merupakan ruh dari kesusastraan Indonesia, dan kalau boleh dibilang lokalitas adalah pendorongan modernitas untuk berkembang dalam diskursus kesusastraan kita.  Siti Nurbaya, roman yang sangat terkenal pada masa Balai Pustaka itu, bukankah sangat kental dengan persoalan budaya lokalnya? Dan sekarang masih banyak para kritikus dari berbagai institusi untuk mengkaji ulang dan merepresentasikannya dengan kehidupan modern ini. Di dalam novel Larung karya Ayu Utami yang cukup populer itu, saya pikir Larung adalah garapan kreatifitas Ayu dari permasalahan dua kutub yang saya sebut di atas barusan; gabungan antara modernitas dan lokalitas.
 
Maka sudah jelas adanya, dua kutub tersebut menjadi penanda lahirnya kesusastraan Indonesia secara pesat. Namun dari benyak orang penyuka sastra termasuk kritikus sastra sendiri menjadikan dua kutub tersebut sebagai saingan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal dalam kajian-kajian lebih luasnya, lokalitas dan modernitas adalah tuntutan zaman yang sama memberi dan melengkapi. Tidak ada diskriminasi atau pengkerdilan identitas antara dua kutub tersebut, andai saja manusia (kita) lebih serius lagi menjadikan dua kutub itu sebagai landasan ideologi, baik ideologi humanisme maupun modernisme, maka tak akan ada percekcokan pemahaman dalam menyikapi kehidupan ini.
 
Kita, manusia Indonesia yang hidup di zaman ini; modern, tidak bisa menghapus salah satu dari dua kutub tersebut. Sebab apabila kita sok idealis; mengutamakan salah satunya dan menghapus satunya lagi, maka yang kita hadapi adalah kita akan kehilangan identiasnya. Lokalitas tentu identitas kita, budaya kita dan jiwa kita, sedangkan modernitas adalah zaman di mana kita hidup sebagai manusia yang berpengetahuan dan kita tak bisa keluar dari tuntutan zaman ini. maka untuk menemukan identitas kita di tengah arus zaman, kita harus menyatukan dua kutub tersebut sebagai ideologi kreatifitas kita.
 
Membaca puisi-puisi Latief S. Nugraha dalam antologi puisinya Menoreh Rumah Terpendam ini, sangat jelas bagaimana Latief begitu ingin menggabungkan aroma lokaliats dan modernitas dalam puisi-puisinya. Misalnya seperti puisi “Bukit Menoreh II” bukit ini/ rumah masa kecil dan segenap kenangan rahasia/ kekal abadi dalam lindap ingatan sisa usia// bukit ini/ cerau deras hujan melepas kemarau yang pasi/ lantas kata-kata tumbuh berbuah ruah puisi// bukit ini/ kicau burung, dengung lebah, sepasang cinta/ di antara rimbun pohonan dan mekar bunga-bunga// bukit ini/ malam sunyi, heneng hening henung henang/ angin pagi, dingin embun bening berlinang// bukit ini/ bukti keberadaan kakang marmati, kakang kawah, adhi rah, adhi ari-ari/ ditanam dikedalaman tanah jawa setiap hari (hlm: 20).
 
Sedangkan di puisi yang lain Latief menulis “Menonton Separuh Wanita” kita tengah berada di tahun-tahun yang jelas(sekaligus bias)/ ketika mulus paha para wanita/ ranum buah dada gadis remaja nyembul telanjang/ membahagiakan lelaki mata keranjang/ yang benak binalnya ingin segera ke ranjang// para wanita membuat pria yang terluka/ menjadi tubuh perkasa berkilat keringat/ kekar berotot bagi cermin dan wajah-wajah rupawan// seterusnya, di dalam terang warna-warni televisi/ dunia maya dan majalah pria dewasa/ tubuh-tubuh sintal dipamerjajakan/ dikirim ke pasar-pasar/ kaku dalam poster serta komputer di kamar-kamar// sungguh menarik, sungguh menggoda/ meski, mata bundar, wajah bundar, dada bundar, bokong bundar, semua akan pudar// saat itu/ aku benar-benar malu/ lalu teringat ibu (hlm: 06).
 
Di dalam puisi “Bukit Manoreh II” jelas sekali Latief mengangkat tema yang bernuansa lokalitas, di mana di bukit itu pohon-pohon tumbuh dan bunga-bunga mekar serta burung-burung yang berkicau, menandakan bahwa di tanah kelahirannya itu masih sangat hijau, asri dan tentram. Namun di puisi kedua “Menonton Separuh Wanita” Latief seakan-akan mengatakan kalau dia hidup di zaman modern yang semakin hari semakin menjadi-jadi, di mana paha-paha wanita yang mulus di pamerkan, gadis-gadis remaja yang mulai memamerkan buah dadanya, tayangan-tayangan mesra di televisi, poster-poster sintal, semua ini adalah potret zaman modern di mana manusia bebas sebebas-bebasnya bergaya dan menjual dirinya. 
 
Barangkali Latief sepenuhnya sadar bahwa hidup di zaman ini adalah hidup di antara dua dunia yaitu modern dan masalalu. Sehingga mau tidak mau Latief tidak bisa lepas dari masalalunya dan kehidupan yang dia jalani sekarang. Hasta Indrayana dalam catatan pengantarnya mengatakan, kalau membaca puisi-puisi Latief dalam Menoreh Rumah Terpendam terdapat dua kutub, yang saya maksudkan di sini adalah Latief mencatat hal-hal dengan kaca mata positif dan negatif (hlm: xi). Positif dan negatif ini dalam pandangan saya “lokalitas dan modern”. 
 
Membaca antologi ini sebenarnya tidak hanya puisi Bukit Manoreh II dan Menonton Separuh Wanita, yang menggambarkan realitas lokal dan modern, tapi juga seperti judul: Puisi, Puncak Suralaya, Kematian Datang Di Hari Kelahiran, Di Atas Jembatan Progo, Di Stasiun Tugu, Gua Kiskenda, Jakarta, Samigaluh, Di Taman Budaya Yogyakarta, Jatilan, Di Ramai Pusat Pembelanjaan, Sungai Tinalah, Malioboro, Sela Gilang, Kota Rantau, Nglanggeran Dll.
 
Kentalnya budaya lokal yang dibangun dalam lirik-lirik puisi di dalam buku antologi ini sangat terasa, tapi tidak juga tertinggal mengenai aroma modernitas di dalamnya. Bagi saya, Latief sengaja mengaduk-aduk realitas modern dan lokal, mengkolaborasikan dua kutub tersebut, sekaligus dua preode kehidupan menusia ini. sehingga dalam buku yang kira-kira terdapat 125 puisi ini begitu lengkap menggambarkan dua kutub (modernitas dan lokalitas) dalam kesusastraan Indonesia kita. Dan di dalam antologi ini kita menemukan kekayaan ide, ke-kreatifan dan kecerdasan pengetahuan dari seorang penyair asal Yogyakarta  ini.
***
 
Judul: Menoreh Rumah Terpendam
Penulis: Latief S. Nugraha
Cetakan: September, 2016
Penerbit: Interlude
Tebal: 150 halaman
 
*) Nurul Anam, Penggerak Lembaga Al-Kindy Institute. Tinggal di Jln, Cuwiri Krapyak, Yogyakarta. http://sastra-indonesia.com/2020/12/antara-lokalitas-dan-modernitas-dalam-puisi-latief-s-nugraha/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar