Agus Sulton
Kompas.com, 01/04/2010
Kemunculan para penulis
wanita untuk meramaikan dunia sastra memang bisa dibilang memberikan warna
tersendiri bagi dunia kesastraan. Tapi disisi lain terjadi pergeseran orientasi
dalam dunia sastra Indonesia dan banyak orang awam mengatakan, karya mereka
adalah sesuatu yang tabu. Bisa dibilang mereka adalah generasi sastra dunia
ketiga—menolak tabu dalam budaya patriarki yang membelenggu kaum hawa, membuka
sebuah kejujuran, menolak kritik penelaah tertentu, dan menolak
larangan-larangan yang ditetapkan untuk kaum perempuan. Walaupun sebelumnya Nh
Dini, Dayu Oka Rusmini, Ratna Indraswari Ibrahim, dan lain-lain sudah
menyuarakan gender atau semacam usaha perempuan untuk bicara sebagai suatu
percikan dari gelombang ideologi dan paradigma feminisme.
Seperti juga yang
disuarakan, pemimpin kritikus sastra feminis, seperti Helene Cixous, Julia
Kristeva dan Luce Irigaray. Pemikir feminis ini menolak kategorisasi didasarkan
pada oposisi biner yang pada akhirnya, karya-karya perempuan terpinggirkan (The
Jakarta Post, A. Junaidi). Menurut klasifikasi kutub ini, jiwa yang berharga
dan tubuh kurang begitu; putih dipisahkan dari hitam—sebagai laki-laki dan perempuan.
Dan, Ayu Utami, Saman
(DKJ, 1998) adalah awal mula tonggak dominasi genre sastra baru di dunia
ketiga, yaitu ”sastra wangi” tahun 2000-an. Namun kedatangan sastra wangi
banyak yang memperdebatkan. Karena sastra wangi itu sendiri adalah hal baru,
dimulai oleh Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan berderet nama yang berkedok
feminisme—menyatakan hak asasi berbicara masalah diri sendiri, termasuk di
dalamnya; Fira Basuki, Nukila Amal, Dewi Lestari, Rieke Dyah Pitaloka, Dinar
Rahayu, dan sebagainya. Ibnu Wahyudi (Dosen UI) menulis dalam salah satu jurnal
mengatakan sastra wangi adalah istilah sesaat bagi kepopuleran sastra generasi
perempuan yang mengandalkan tubuh. Dari definisi tersebut nampak jelas, bahwa
penulis perempuan tersebut tidak hanya mengandalkan karyanya, tapi kecantikan
dan seksinya penulis (lihat Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu).
Suatu Hal yang tidak
dapat dipungkiri adalah, dinamika kesastraan di Indonesia beberapa tahun
belakangan ini diramaikan oleh para pengarang wanita. Dari situlah kehidupan
sastra Indonesia semakin riuh—dengan munculnya beberapa penulis wanita—yang
usianya relatif cukup muda, dan dengan kecenderungan berkarya yang kian
beragam, bebas , dan berani. Sehingga banyak pemikir dan penikmat sastra,
mereka disebut-sebut sebagai sastra wangi. Karena merujuk pada karya sastra
yang diciptakan kaum perempuan (Lampung Post, Soroso). Tetapi hal yang lebih
dasar lagi dari sastra wangi adalah seringnya diwarnai tema seks yang bahkan
sedikit vulgar, namun ada semangat feminisme, dengan setting dengan latar
belakang yang menggambarkan kehidupan mereka sehari-hari (terutama kelas
ekonomi atas) dibarengi dengan tumbuhnya individualisme dan ego yang tinggi.
Seperti yang pernah ditulis oleh Saut Situmorang dalam ”Politik Kanoniasi
Sastra 3” sastra wangi banyak mengangkat seksualitas, dan itu dijadikan sebagai
isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban
Indonesia, para perempuan yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara
ekonomi.
Memang karya sastra
adalah sebuah cerminan zaman yang penulis alami, suatu refleksi atas suatu
pengalaman dan menulis dijadikan sebagai jalan perenungan. Tapi kedatangannya
karya mereka di dunia sastra Indonesia tidak lepas hanya sebuah cerminan
fiktif. Akan tetapi, dunia fiktif ini bisa jadi mengandung nilai-nilai yang
menjadi alternatif dari nilai-nilai yang selama ini mendominasi di dunia nyata.
Nilai-nilai yang disodorkan dalam karya sastra ini bisa jadi baik atau bahkan
lebih buruk, tergantung dari masyarakat yang mengkonsumsi karya sastra yang
dimaksud. Penulis hanya memainkan parodi, paradok, dan ironi, sehingga tidak
bisa memaksa masyarakat untuk menganut nilai-nilai dan norma-norma sosial
tertentu. Namun, apa yang ditulisnya bisa menyuguhkan sesuatu yang up to date
dan sedikit banyak bisa memberikan pengaruh kepada masyarakat, walaupun dari
segi emosional.
Jelas, itu semua hanyalah
sebagai kekuatan karya sastra. Walaupun
seperti itu, mereka bisa dibilang fanatisme yang begitu berani dan menjadi
suatu hal yang dahsyat untuk perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Seperti
ada nuansa baru yang intens dikalangan sastra muda Indonesia. Umar Kayam
menyebutnya, para penulis-penulis muda banyak yang lebih berbakat bahkan kaum
tua susah menandinginya, ada yang mengatakan kata-katanya bagaikan bercahaya
seperti kristal (Ignas Kleden). Tapi disisi lain karya-karya dari sastra wangi;
Ayu Utami, Dinar Rahayu, dan Djenar Maesa Ayu pernah dituding penetrasi
kapitalisme ke dalam dunia sastra. Seks muncul sebagai tema, semata-mata karena
tema itu laku di pasaran. Tudingan ini sebetulnya sungguh bukan tanpa alasan.
Karena, para pengarang karya sastra kita memang tidak mungkin terlepas dari
dimensi pasar dalam pembuatan karya sastra mereka. Selalu ada unsur kapitalisme
dalam karya sastra, karena karya sastra harus dipasarkan. Itulah sebabnya, di
setiap masa, selalu ada kecenderungan karya sastra ke arah model dan tema
tertentu. Menuduh sebuah karya sastra sukses karena penetrasi kapitalisme
adalah benar, sebab nyatanya semua karya sastra tidak kuasa melepaskan diri
darinya (Surealisme, Sek, Kapitalisme: Karya sastra kaum muda, Saidiman).
Kendati demikian, tentu publik pembaca karya sastra tidak seragam, bahkan
semakin hari semakin beragam.
Terlepas dari kapitalisme
dalam karya sastra, toh kalangan penulis perempuan telah memberikan wacana baru
mengenai posisi perempuan di masyarakat. Perempuan selama ini dianggap tidak
berhak untuk menyuarakan potensi seksual tubuh mereka, tetapi para penulis ini
telah menawarkan satu pandangan baru, bahwa seks juga milik perempuan.
Sampai-sampai Tufik Ismail menyebut karya mereka sebagai sastra selakangan,
karena banyak mengungkap bagian ”jeroan” begitu vulgar—tanpa dinding pembatas.
Seperti pada kutipan; ”Padahal saya sudah rindu. Tapi ayah malah menyangkal !
Katanya ia tidak pernah menyusui saya dengan penisnya.” (Manyusu Ayah, Djenar
Maesa Ayu).
”Dan aku menamainya
klenit karena serupa kontol yang kecil. Namun liang itu tidak diberinya sebuah
nama. Melainkan, dengan ujung jarinya ia merogoh. Dan dengan penisnya ia menembus”
(Saman, Ayu Utami).
Sedikit kutipan di atas
jelas memberikan suatu fenomena sastra yang mengangkat tokoh perempuan dan
kemudian ingin menunjukkan bahwa perempuan bisa memerkosa dan berinisiatif.
Perempuan bisa saja berniat untuk melakukan hubungan seksual sebagai subjek,
bukan sebagai objek. Hal semacam ini juga pernah ditulis oleh Motinggo Boesye,
sastrawan tahun 70-an menulis kisah-kisah yang menceritakan hubungan seks yang
menggairahkan, namun belum sampai berani mengarah sekitar selangkangan.
Memang selama ini para
novelis yang banyak mengeksplorasi seks ke dalam karya sastra beranggapan bahwa
kultur di Indonesia, baik budaya daerah atau agama, selalu memposisikan
perempuan sebagai objek (Eksplorasi seks dalam sastra, Irfan Hidayatullah).
Sebenarnya banyak novel
yang berbau seksual, tapi tidak sevulgar novel-novel dari sastra wangi. Begitu
eksplisitnya penggambaran tentang bagian selakangan, tanpa rasa malu. Sehingga
bisa dipastikan karya-karya dari sastra wangi banyak yang menyengat aroma
selakangan dan seks dijadikan permasalahan utama dalam penulisan. Kalau
dimasukkan dalam jajaran segmen, jelas karya mereka sudah pasti masuk dalam
segmen pembaca dewasa.
Bukan hanya seks dan
kevulgaran dalam pendeskripsian. Ditengok dari sudut pandang lain penulis sastra
wangi juga banyak mengangkat ajaran moral yang baik, kritikan terhadap
pemerintah, dan pernyataan gender. Tetapi ajaran gender tidak begitu difokuskan
dalam ajaran moralnya. Mungkin bisa dilihat konflik yang terjadi dalam novel
Saman.
An sich
Walaupun seperti itu, Ayu
Utami sudah mampu menunjukkan pesona kepada pembaca—dari sudut ceritanya yang
menawan, juga terpuaskan dengan sajian bahasa, bentuk, dan ungkapan yang indah,
seperti kristal yang belum pernah dicoba sebelumnya. Disamping itu, pembaca juga
dapat menikmati kefulgaran dunia seksualitas yang bisa bikin gerrr (baik bagi
laki-laki maupun perempuan), bahkan pengikut ajaran pembelaan sastra kepada
kaum tertindas—juga bisa menjadikan karya Ayu Utami tersebut sebagai instrumen
perjuangan.
***
*) Agus Sulton lahir di
Jombang, 1986. Status sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI
Jombang. Penggiat di Lingkar Study Warung Sastra (LISWAS, komunitas tulis dan
apresiasi sastra) Ngoro-Jombang. Kumpulan puisi pribadinya ”Tetesan Tinta Air Mata”
(ditulis dari tahun 2002-2005), ”Sketsa Tak Bermantra 1” (ditulis dari tahun
2004-2006), ”Berhias Mata Kaca” (ditulis dari tahun 2006-2008), dan “Kantin
Pelatuk Naga” 2010. Karya lainnya berupa cerpen, esai, dan 1 novel pribadi
”Rembulan Bernyanyi”. Saat ini tinggal dan berkarya, di Desa Rejoagung, Kec
Ngoro, Kab Jombang JATIM. http://sastra-indonesia.com/2010/04/sastra-wangi-aroma-selangkangan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment