Monday, December 14, 2020

Sastra Wangi Aroma Selangkangan

Agus Sulton
Kompas.com, 01/04/2010
 
Kemunculan para penulis wanita untuk meramaikan dunia sastra memang bisa dibilang memberikan warna tersendiri bagi dunia kesastraan. Tapi disisi lain terjadi pergeseran orientasi dalam dunia sastra Indonesia dan banyak orang awam mengatakan, karya mereka adalah sesuatu yang tabu. Bisa dibilang mereka adalah generasi sastra dunia ketiga—menolak tabu dalam budaya patriarki yang membelenggu kaum hawa, membuka sebuah kejujuran, menolak kritik penelaah tertentu, dan menolak larangan-larangan yang ditetapkan untuk kaum perempuan. Walaupun sebelumnya Nh Dini, Dayu Oka Rusmini, Ratna Indraswari Ibrahim, dan lain-lain sudah menyuarakan gender atau semacam usaha perempuan untuk bicara sebagai suatu percikan dari gelombang ideologi dan paradigma feminisme.
 
Seperti juga yang disuarakan, pemimpin kritikus sastra feminis, seperti Helene Cixous, Julia Kristeva dan Luce Irigaray. Pemikir feminis ini menolak kategorisasi didasarkan pada oposisi biner yang pada akhirnya, karya-karya perempuan terpinggirkan (The Jakarta Post, A. Junaidi). Menurut klasifikasi kutub ini, jiwa yang berharga dan tubuh kurang begitu; putih dipisahkan dari hitam—sebagai laki-laki dan perempuan.
 
Dan, Ayu Utami, Saman (DKJ, 1998) adalah awal mula tonggak dominasi genre sastra baru di dunia ketiga, yaitu ”sastra wangi” tahun 2000-an. Namun kedatangan sastra wangi banyak yang memperdebatkan. Karena sastra wangi itu sendiri adalah hal baru, dimulai oleh Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan berderet nama yang berkedok feminisme—menyatakan hak asasi berbicara masalah diri sendiri, termasuk di dalamnya; Fira Basuki, Nukila Amal, Dewi Lestari, Rieke Dyah Pitaloka, Dinar Rahayu, dan sebagainya. Ibnu Wahyudi (Dosen UI) menulis dalam salah satu jurnal mengatakan sastra wangi adalah istilah sesaat bagi kepopuleran sastra generasi perempuan yang mengandalkan tubuh. Dari definisi tersebut nampak jelas, bahwa penulis perempuan tersebut tidak hanya mengandalkan karyanya, tapi kecantikan dan seksinya penulis (lihat Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu).
 
Suatu Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, dinamika kesastraan di Indonesia beberapa tahun belakangan ini diramaikan oleh para pengarang wanita. Dari situlah kehidupan sastra Indonesia semakin riuh—dengan munculnya beberapa penulis wanita—yang usianya relatif cukup muda, dan dengan kecenderungan berkarya yang kian beragam, bebas , dan berani. Sehingga banyak pemikir dan penikmat sastra, mereka disebut-sebut sebagai sastra wangi. Karena merujuk pada karya sastra yang diciptakan kaum perempuan (Lampung Post, Soroso). Tetapi hal yang lebih dasar lagi dari sastra wangi adalah seringnya diwarnai tema seks yang bahkan sedikit vulgar, namun ada semangat feminisme, dengan setting dengan latar belakang yang menggambarkan kehidupan mereka sehari-hari (terutama kelas ekonomi atas) dibarengi dengan tumbuhnya individualisme dan ego yang tinggi. Seperti yang pernah ditulis oleh Saut Situmorang dalam ”Politik Kanoniasi Sastra 3” sastra wangi banyak mengangkat seksualitas, dan itu dijadikan sebagai isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban Indonesia, para perempuan yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi.
 
Memang karya sastra adalah sebuah cerminan zaman yang penulis alami, suatu refleksi atas suatu pengalaman dan menulis dijadikan sebagai jalan perenungan. Tapi kedatangannya karya mereka di dunia sastra Indonesia tidak lepas hanya sebuah cerminan fiktif. Akan tetapi, dunia fiktif ini bisa jadi mengandung nilai-nilai yang menjadi alternatif dari nilai-nilai yang selama ini mendominasi di dunia nyata. Nilai-nilai yang disodorkan dalam karya sastra ini bisa jadi baik atau bahkan lebih buruk, tergantung dari masyarakat yang mengkonsumsi karya sastra yang dimaksud. Penulis hanya memainkan parodi, paradok, dan ironi, sehingga tidak bisa memaksa masyarakat untuk menganut nilai-nilai dan norma-norma sosial tertentu. Namun, apa yang ditulisnya bisa menyuguhkan sesuatu yang up to date dan sedikit banyak bisa memberikan pengaruh kepada masyarakat, walaupun dari segi emosional.
 
Jelas, itu semua hanyalah sebagai kekuatan karya sastra.  Walaupun seperti itu, mereka bisa dibilang fanatisme yang begitu berani dan menjadi suatu hal yang dahsyat untuk perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Seperti ada nuansa baru yang intens dikalangan sastra muda Indonesia. Umar Kayam menyebutnya, para penulis-penulis muda banyak yang lebih berbakat bahkan kaum tua susah menandinginya, ada yang mengatakan kata-katanya bagaikan bercahaya seperti kristal (Ignas Kleden). Tapi disisi lain karya-karya dari sastra wangi; Ayu Utami, Dinar Rahayu, dan Djenar Maesa Ayu pernah dituding penetrasi kapitalisme ke dalam dunia sastra. Seks muncul sebagai tema, semata-mata karena tema itu laku di pasaran. Tudingan ini sebetulnya sungguh bukan tanpa alasan. Karena, para pengarang karya sastra kita memang tidak mungkin terlepas dari dimensi pasar dalam pembuatan karya sastra mereka. Selalu ada unsur kapitalisme dalam karya sastra, karena karya sastra harus dipasarkan. Itulah sebabnya, di setiap masa, selalu ada kecenderungan karya sastra ke arah model dan tema tertentu. Menuduh sebuah karya sastra sukses karena penetrasi kapitalisme adalah benar, sebab nyatanya semua karya sastra tidak kuasa melepaskan diri darinya (Surealisme, Sek, Kapitalisme: Karya sastra kaum muda, Saidiman). Kendati demikian, tentu publik pembaca karya sastra tidak seragam, bahkan semakin hari semakin beragam.
 
Terlepas dari kapitalisme dalam karya sastra, toh kalangan penulis perempuan telah memberikan wacana baru mengenai posisi perempuan di masyarakat. Perempuan selama ini dianggap tidak berhak untuk menyuarakan potensi seksual tubuh mereka, tetapi para penulis ini telah menawarkan satu pandangan baru, bahwa seks juga milik perempuan. Sampai-sampai Tufik Ismail menyebut karya mereka sebagai sastra selakangan, karena banyak mengungkap bagian ”jeroan” begitu vulgar—tanpa dinding pembatas. Seperti pada kutipan; ”Padahal saya sudah rindu. Tapi ayah malah menyangkal ! Katanya ia tidak pernah menyusui saya dengan penisnya.” (Manyusu Ayah, Djenar Maesa Ayu).
 
”Dan aku menamainya klenit karena serupa kontol yang kecil. Namun liang itu tidak diberinya sebuah nama. Melainkan, dengan ujung jarinya ia merogoh. Dan dengan penisnya ia menembus” (Saman, Ayu Utami).
 
Sedikit kutipan di atas jelas memberikan suatu fenomena sastra yang mengangkat tokoh perempuan dan kemudian ingin menunjukkan bahwa perempuan bisa memerkosa dan berinisiatif. Perempuan bisa saja berniat untuk melakukan hubungan seksual sebagai subjek, bukan sebagai objek. Hal semacam ini juga pernah ditulis oleh Motinggo Boesye, sastrawan tahun 70-an menulis kisah-kisah yang menceritakan hubungan seks yang menggairahkan, namun belum sampai berani mengarah sekitar selangkangan.
 
Memang selama ini para novelis yang banyak mengeksplorasi seks ke dalam karya sastra beranggapan bahwa kultur di Indonesia, baik budaya daerah atau agama, selalu memposisikan perempuan sebagai objek (Eksplorasi seks dalam sastra, Irfan Hidayatullah).
 
Sebenarnya banyak novel yang berbau seksual, tapi tidak sevulgar novel-novel dari sastra wangi. Begitu eksplisitnya penggambaran tentang bagian selakangan, tanpa rasa malu. Sehingga bisa dipastikan karya-karya dari sastra wangi banyak yang menyengat aroma selakangan dan seks dijadikan permasalahan utama dalam penulisan. Kalau dimasukkan dalam jajaran segmen, jelas karya mereka sudah pasti masuk dalam segmen pembaca dewasa.
 
Bukan hanya seks dan kevulgaran dalam pendeskripsian. Ditengok dari sudut pandang lain penulis sastra wangi juga banyak mengangkat ajaran moral yang baik, kritikan terhadap pemerintah, dan pernyataan gender. Tetapi ajaran gender tidak begitu difokuskan dalam ajaran moralnya. Mungkin bisa dilihat konflik yang terjadi dalam novel Saman.
 
An sich
 
Walaupun seperti itu, Ayu Utami sudah mampu menunjukkan pesona kepada pembaca—dari sudut ceritanya yang menawan, juga terpuaskan dengan sajian bahasa, bentuk, dan ungkapan yang indah, seperti kristal yang belum pernah dicoba sebelumnya. Disamping itu, pembaca juga dapat menikmati kefulgaran dunia seksualitas yang bisa bikin gerrr (baik bagi laki-laki maupun perempuan), bahkan pengikut ajaran pembelaan sastra kepada kaum tertindas—juga bisa menjadikan karya Ayu Utami tersebut sebagai instrumen perjuangan.
***
 
*) Agus Sulton lahir di Jombang, 1986. Status sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang. Penggiat di Lingkar Study Warung Sastra (LISWAS, komunitas tulis dan apresiasi sastra) Ngoro-Jombang. Kumpulan puisi pribadinya ”Tetesan Tinta Air Mata” (ditulis dari tahun 2002-2005), ”Sketsa Tak Bermantra 1” (ditulis dari tahun 2004-2006), ”Berhias Mata Kaca” (ditulis dari tahun 2006-2008), dan “Kantin Pelatuk Naga” 2010. Karya lainnya berupa cerpen, esai, dan 1 novel pribadi ”Rembulan Bernyanyi”. Saat ini tinggal dan berkarya, di Desa Rejoagung, Kec Ngoro, Kab Jombang JATIM. http://sastra-indonesia.com/2010/04/sastra-wangi-aroma-selangkangan/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar