Peresensi: Tri Umi
Sumartyarini
Judul buku: Istriku Seribu
Polimonogami Monopoligami
Penulis: Emha Ainun
Nadjib
Penerbit: Progress
Cetakan: Ketiga, April
2008
Jumlah halaman: 64
Halaman
Istriku-seribuProfil
keberhasilan Puspowardoyo pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo selalu
dikaitkan dengan keberhasilan poligami yang dijalaninya; bahwa perempuan
melalui poligami bisa diberdayakan. Selain itu dalam setiap kesempatan
wawancara ia memakai dalih menjalankan syariat Islam dalam menjalani poligami.
Benarkah demikian? Poligami dihalalkan karena perempuan tak berdaya dan semata
menjalankan perintah tuhan?
Nah, jika Anda masih
bingung jawabannya, ada baiknya Anda membaca buku ini. Cak Nun menulis poligami
dengan cara yang unik, ringan, penuh selera humor sekaligus mengajak kita untuk
melihat permasalahan poligami dengan view sejarah, landasan hukum pada khasanah
agama, ideologi serta filsafat.
Buku ini seperti buku
kumpulan esai Cak Nun yang lain. Jika dalam buku sebelumnya kumpulan esai Cak
Nun terdiri dari beberapa esai dan mempunyai panjang rata-rata 4-5 lembar,
dalam buku ini Cak Nun menulis satu esai panjang sampai 64 halaman.
Pandangan Cak Nun tentang
poligami tidak membabi buta. Ia berangkat dari pendekatan kritik terhadap agama
dulu tidak langsung masuk pada persoalan perempuan. Ia membongkar nalar Islam
klasik yang konservatif dan konvensional di kalangan agamawan. Ia tidak hanya
membela perempuan tetapi mengajak kita memberi penyegaran terhadap paham
keagamaan itu sendiri.
Ayat yang bicara soal
poligami dan biasanya dijadikan landasan adalah surat An-nisa ayat 3. Cak Nun
tidak langsung menerjemahkan ayat ini dengan mentah. Ia mengaitkan teks dengan
konteks. Sebab teks selalu dilahirkan oleh konteksnya. Ia mencoba membongkar
mengapa teksnya berbunyi seperti itu.
Di dalamnya menyinggung
tentang nikahilah perempuan yang kamu sukai dua, tiga, atau empat. Tetapi kalau
kamu takut tidak berlaku adil, cukup satu saja. Teks tersebut sebenarnya
mencoba melihat realitas yang ada yaitu keadaan dimana mereka berpoligami tanpa
batas.
Seperti yang dilakukan
lelaki pada jaman sebelum kanjeng nabi, pada saat itu kaum wanita hanya dijadikan sebagai barang
atau aksesori berlian atau budak. Lelaki waktu itu kalau kaya bisa mengawini
ratusan wanita. Untuk hal ini Cak Nun menyamakan lelaki beristri banyak sama
dengan katak jantan yang bisa mengawini ratusan katak betina.
Teks itu muncul untuk membuat
sindiran kepada realitas tersebut. Dalam keadaan itu Allah melakukan revolusi
dari fakta ratusan istri diradikalkan menjadi paling banyak empat istri dengan
peringatan keras jangan mengekspolitasi mereka dalam hal apapun. Maka dalam hal
ini bukan berarti agama menyuruh untuk poligami, tetapi yang terjadi sedang
memotret realitas. Dan kemudian sindiran itu keluar di ujung ayat tersebut yang
berbunyi, “kalau kamu tidak bisa berlaku adil ya satu saja.” Bahkan kemudian di
surat yang sama ayat 129 ditegaskan lagi, “tidaklah engkau (wahai lelaki)
sesekali akan pernah mampu berbuat adil.” Sebetulnya kata-kata itu adalah inti
sindiran yang menegaskan realitas poligami.
Dari ratusan istri
diradikalkan menjadi empat itu sebuah tahap. Dan tahap inilah yang digunakan
oleh sebagian besar pelaku pernikahan dalam Islam untuk dipakai sebagai dasar
hukum bahwa lelaki boleh beristri empat. Segala sesuatunya di-stop di sini dan
dilegitimasi bahwa syariat Islam memperkenankan hal itu, seolah tidak ada
dimensi yang perlu dipertimbangkan.
Tuhan tidak hanya memberi
batasan dan perintah, melainkan menyikapi manusia sebagai makhluk yang sudah
dibekali oleh-Nya dengan alat canggih yang namanya akal. Maka dalam banyak hal
sesungguhnya Tuhan tidak hanya memberi perintah, tetapi mengajak manusia
berdiskusi, agar manusia memproses pemikirannya kemudian mengambil keputusan
sendiri dengan akalnya.
Revolusi Tuhan
meradikalisasi ratusan istri menuju empat istri sebenarya tuhan sedang
memancing kedewasaan akal manusia: “Kalau engkau takut akan tidak bisa berbuat
adil, maka satu istri saja.” Maka tidak tahu dirilah manusia itu. Lantas mereka
bersombong menjawab kepada tuhan: “Aku bisa kok berbuat adil”, kemudian
mengambil perempuan jadi istri kedua. Bahkan menyatakan “Aku ingin memberi contoh
poligami yang baik” seolah-olah tuhan tidak membekalinya dengan akal dan rasa
kalbu kemanusiaan.
Dari sini sebenarnya
poligami dalam teks tidak memiliki pembenaran, baik dari justifikasi maupun legitimasi
teologisnya.
***
https://sastra-indonesia.com/2020/12/membaca-istriku-seribu-polimonogami-monopoligami/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment