Saturday, December 12, 2020

Membaca Istriku Seribu, Polimonogami Monopoligami

Peresensi: Tri Umi Sumartyarini
Judul buku: Istriku Seribu Polimonogami Monopoligami
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Progress
Cetakan: Ketiga, April 2008
Jumlah halaman: 64 Halaman
 
Istriku-seribuProfil keberhasilan Puspowardoyo pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo selalu dikaitkan dengan keberhasilan poligami yang dijalaninya; bahwa perempuan melalui poligami bisa diberdayakan. Selain itu dalam setiap kesempatan wawancara ia memakai dalih menjalankan syariat Islam dalam menjalani poligami. Benarkah demikian? Poligami dihalalkan karena perempuan tak berdaya dan semata menjalankan perintah tuhan?
 
Nah, jika Anda masih bingung jawabannya, ada baiknya Anda membaca buku ini. Cak Nun menulis poligami dengan cara yang unik, ringan, penuh selera humor sekaligus mengajak kita untuk melihat permasalahan poligami dengan view sejarah, landasan hukum pada khasanah agama, ideologi serta filsafat.
 
Buku ini seperti buku kumpulan esai Cak Nun yang lain. Jika dalam buku sebelumnya kumpulan esai Cak Nun terdiri dari beberapa esai dan mempunyai panjang rata-rata 4-5 lembar, dalam buku ini Cak Nun menulis satu esai panjang sampai 64 halaman.
 
Pandangan Cak Nun tentang poligami tidak membabi buta. Ia berangkat dari pendekatan kritik terhadap agama dulu tidak langsung masuk pada persoalan perempuan. Ia membongkar nalar Islam klasik yang konservatif dan konvensional di kalangan agamawan. Ia tidak hanya membela perempuan tetapi mengajak kita memberi penyegaran terhadap paham keagamaan itu sendiri.
 
Ayat yang bicara soal poligami dan biasanya dijadikan landasan adalah surat An-nisa ayat 3. Cak Nun tidak langsung menerjemahkan ayat ini dengan mentah. Ia mengaitkan teks dengan konteks. Sebab teks selalu dilahirkan oleh konteksnya. Ia mencoba membongkar mengapa teksnya berbunyi seperti itu.
 
Di dalamnya menyinggung tentang nikahilah perempuan yang kamu sukai dua, tiga, atau empat. Tetapi kalau kamu takut tidak berlaku adil, cukup satu saja. Teks tersebut sebenarnya mencoba melihat realitas yang ada yaitu keadaan dimana mereka berpoligami tanpa batas.
 
Seperti yang dilakukan lelaki pada jaman sebelum kanjeng nabi, pada saat itu  kaum wanita hanya dijadikan sebagai barang atau aksesori berlian atau budak. Lelaki waktu itu kalau kaya bisa mengawini ratusan wanita. Untuk hal ini Cak Nun menyamakan lelaki beristri banyak sama dengan katak jantan yang bisa mengawini ratusan katak betina.
 
Teks itu muncul untuk membuat sindiran kepada realitas tersebut. Dalam keadaan itu Allah melakukan revolusi dari fakta ratusan istri diradikalkan menjadi paling banyak empat istri dengan peringatan keras jangan mengekspolitasi mereka dalam hal apapun. Maka dalam hal ini bukan berarti agama menyuruh untuk poligami, tetapi yang terjadi sedang memotret realitas. Dan kemudian sindiran itu keluar di ujung ayat tersebut yang berbunyi, “kalau kamu tidak bisa berlaku adil ya satu saja.” Bahkan kemudian di surat yang sama ayat 129 ditegaskan lagi, “tidaklah engkau (wahai lelaki) sesekali akan pernah mampu berbuat adil.” Sebetulnya kata-kata itu adalah inti sindiran yang menegaskan realitas poligami.
 
Dari ratusan istri diradikalkan menjadi empat itu sebuah tahap. Dan tahap inilah yang digunakan oleh sebagian besar pelaku pernikahan dalam Islam untuk dipakai sebagai dasar hukum bahwa lelaki boleh beristri empat. Segala sesuatunya di-stop di sini dan dilegitimasi bahwa syariat Islam memperkenankan hal itu, seolah tidak ada dimensi yang perlu dipertimbangkan.
 
Tuhan tidak hanya memberi batasan dan perintah, melainkan menyikapi manusia sebagai makhluk yang sudah dibekali oleh-Nya dengan alat canggih yang namanya akal. Maka dalam banyak hal sesungguhnya Tuhan tidak hanya memberi perintah, tetapi mengajak manusia berdiskusi, agar manusia memproses pemikirannya kemudian mengambil keputusan sendiri dengan akalnya.
 
Revolusi Tuhan meradikalisasi ratusan istri menuju empat istri sebenarya tuhan sedang memancing kedewasaan akal manusia: “Kalau engkau takut akan tidak bisa berbuat adil, maka satu istri saja.” Maka tidak tahu dirilah manusia itu. Lantas mereka bersombong menjawab kepada tuhan: “Aku bisa kok berbuat adil”, kemudian mengambil perempuan jadi istri kedua. Bahkan menyatakan “Aku ingin memberi contoh poligami yang baik” seolah-olah tuhan tidak membekalinya dengan akal dan rasa kalbu kemanusiaan.
 
Dari sini sebenarnya poligami dalam teks tidak memiliki pembenaran, baik dari justifikasi maupun legitimasi teologisnya.
 
***
https://sastra-indonesia.com/2020/12/membaca-istriku-seribu-polimonogami-monopoligami/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar