Thursday, November 5, 2020

PROGRAM BUDAYA ARYO SEKTI

(Satire Pembentukan Budaya Kekerasan)
 
Djoko Saryono
 
demokrasi adalah tanah air bagi semua suara
demokrasi adalah samudra bagi semua jenis suara
demokrasi adalah tanah air dan samudra bagi semua pikiran
 
I
Konon, kursi-kursi buatan Indonesia laris sekali di luar negeri. Pasalnya, kursi buatan Indonesia enak sekali diduduki sehingga orang bisa berlama-lama duduk di atasnya. Tak heran, banyak kursi buatan Indonesia menjadi rebutan banyak orang. Bahkan ada satu kursi yang dinamai kursi goyang tunggal -- yang tidak ada duanya di seluruh Indonesia karena jumlahnya hanya satu -- menjadi incaran demikian banyak orang. Salah seorang yang mengincarnya ialah Aryo Sekti (dinamai demikian karena dia ingin menjadi orang sakti). Memang, sudah beberapa lama Ayo Sekti menginginkan kursi goyang tersebut karena bila dia duduk di atasnya tiba-tiba akan menjadi sakti mandraguna, berbuat apapun bias karena semua kekuasaan bisa digenggamnya, dan menguasai seluruh negeri gemah ripah loh jinawi.
 
Aryo Sekti sungguh-sungguh bertekad mendapatkan dan memantapkan kursi goyang tersebut. Segalanya akan dipertaruhkan demi kursi goyang. Cara apapun akan dilakukan atau dipergunakannya. "Pakai kekerasan diramu kelicikan? Kenapa tidak? Kalau memang diperlukan, apa salahnya? Tapi tetap harus halus dan terlihat prosedural dan yuridis", ujarnya tenang, tidak pernah meledak. Tumbal apapun juga akan dipersembahkan demi kursi goyang. "Nyawa manusia? Darah manusia? Anak-anak muda? Rakyat jelata? Satu juta lebih nyawa manusia dengan berjuta liter darah dapat aku persembahkan demi kursi goyang idamanku. Perjuangan memang butuh banyak pengorbanan. Revolusi butuh tumbal anak-anaknya sendiri", akunya bangga sambil tersenyum khas dengan gaya tutur kalem-- senyum yang sudah dihapal semua orang. Kemanusiaan dan kesederhanaan, agaknya, mulai tersingkir dari pikiran Aryo Sekti. Kekerasan apapun, mulai kekerasan simbolis sampai kekerasan fisikal, dijadikannya andalan utama untuk merebut dan mempertahankan kursi goyang idamannya.
 
Singkat kata, kursi goyang dapat direbut oleh Ayo Sekti dengan kekerasan yang sudah dibungkus rapi dengan kelembutan ucapan dan kelicinan siasat. Kini dia duduk di kursi goyang. Namun, agaknya dia tak suka tempat duduknya tersebut bergoyang terus-menerus, khawatir jatuh terjerembab di lantai sejarah dan dicatat sebagai raja yang tersungkur. Sebab itu, dia menyuruh tiga kelompok orang untuk memegangi sekaligus menjaga keamanan kursi goyang tunggal, yaitu kelompok polisi, parlemen, dan pebisnis kakap pada umumnya. "Dengan ditopang tiga kelompok orang ini, sejak sekarang, aku duduk di atas kursi goyang ini dan menguasai seluruh negeri gemah ripah loh jinawi", dia memaklumkan diri menjadi penguasa, menempatkan diri lebih kuat dari yang lainnya. "Sejak sekarang", lanjutnya, "namaku pun berganti. Nama baruku Raja Donya Brono. Bukan Aryo Sekti lagi!". Dia mendaulat dirinya demikian karena dia bertekad akan menguasai harta benda di dunia (donya brono) demi kemakmuran kawan-kawan yang mendukungnya dan demi kelanggenggan kekuasasan yang kini dipegangnya.
 
II
"Para wargaku, dengarlah ucapanku", Raja Donya Brono mulai bersabda kepada seluruh warga negeri gemah ripah loh jinawi. "Marilah kita lupakan duka derita akibat kekerasan yang telah membuatku tak bisa lelap di kursi goyang tunggal ini. Semenjak sekarang, anggaplah dan masukkanlah dalam pikiran kalian bahwa kekerasan bukanlah cacat atau penyakit kebudayaan yang harus disembunyikan, disedihkan, dan ditangisi terus-menerus. Kekerasan adalah kewajaran, kenormal-an, bahkan kadang-kadang kebutuhan dalam hidup kita bersama. Demi keamanan dan kestabilan negeri -- tepatnya keamanan dan kestabilan kekuasaanku di negeri ini sehingga bisnis kawan-kawanku bisa berkembang cepat tanpa kesulitan dan kesusahan -- justru kekerasan perlu kita jadikan subjek, kita jadikan cara sekaligus pola berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Apalah arti kemanusiaan dibandingkan kestabilan dan keamanan demi perekonomisan dan kewirausahaan. Jadikanlah kekerasan sebagai kewajaran meskipun tetap harus didahulukan hukum yang sudah kutata sedemikian rupa. Demikianlah ucapanku, camkanlah seluruh wargaku". Raja Donya Brono tampak mulai menganggap wajar kekerasan, bahkan menjadikan kekerasan sebagai sistem nilai dan simbol. Dia mulai membangun budaya kekerasan di negeri gemah ripah loh jinawi.
 
Agar kekerasan diingat sekaligus mengikat seluruh warga negeri, dia kemudian membuat program pembentukan lingkungan simbolis yang bernuansa kekerasan. Jalan-jalan utama di seluruh negeri dinamai dengan nama-nama tokoh tentara agar terkesan gagah perwira sekaligus menakutkan; bukan nama tokoh-tokoh guru, ulama, budayawan, seniman, dan ilmuwan. Lembaga-lembaga pendidikan baik dasar, menengah maupun tinggi juga banyak dinamai nama tokoh peperangan dan pahlawan perang, bukan nama tokoh pendidik dan ilmuwan (ironis?). Tempat ibadah juga tidak sedikit yang dinamai dengan nama tokoh peperangan dan pahlawan perang, bukan ulama. Patung-patung di taman-taman dan sudut-sudut kota dipenuhi dengan patung peperangan, perjuangan, dan pahlawan yang tentu saja militer. Film-film dan lukisan-lukisan tentang dirinya sedang membantai atau membasmi pemberontak dibuat. Film-film kekerasan dari luar negeri diimpor dan diputar di seluruh negeri, sedang film-film artistik produksi dalam negeri disingkirkan. Teve-teve dibiarkan menayangkan adegan-adegan kekerasan, tapi dibungkam bila menayangkan acara-acara cerdas-kritis. Demikian juga bahasa kekerasan dengan kata-kata kunci inskonstitusional, gebuk, libas, sikat habis, subversif, komunis, makar, tindak tegas, tembak di tempat diciptakan dan dipakai secara luas. Dengan berbagai cara tersebut, lingkungan simbolis negeri jauh lebih bernuansa kekerasan ketimbang keunggulan peradaban. Tanpa disadari, hal ini sudah mengepung, bahkan mengungkung alam pikiran warga negeri loh jinawi.
 
Di samping itu, Raja Donya Brono juga menciptakan ritus-ritus kekerasan sekaligus panggung-panggung kekerasan agar warga masyarakatnya selalu menyadari betapa efektifnya kekerasan untuk mengamankan dan menstabilkan negeri. "Demi keamanan dan kestabilan negeri, demi kepentingan nasional, dan demi pembangunan bangsa kita, saksikanlah ritus-ritus kekerasan dalam berbagai panggung kekerasan yang kubuat ini", sabdanya memecah gendang telinga warga negeri. Ritualisme kekerasan oleh negara dimaklumkan oleh raja. Maka, Raja Donya Brono pun menanamkan telik-telik sandi ke sudut-sudut terkecil negeri, melaksanakan berbagai operasi keamanan di berbagai daerah, merancang atau membiarkan berbagai kerusuhan di berbagai wilayah, dan melaksanakan peredaman kekerasan dengan kekerasan lain. Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan lain-lain dibiarkan menjadi panggung kekerasan. Sudah barang tentu, itu semua didramatisasi atau diteatrikalisasi dengan adegan-adegan pemukulan, penendangan, penangkapan, dan pembakaran di luar batas peri kemanusiaan dan peradaban. "Lihatlah betapa dahsyat ritus kekerasan berikut ini", ujar Raja Donya Brono bangga. Dan dia pun menggelar ritus kekerasan antar-masyarakat. Ritus-ritus kekerasan itu bukan cuma menampakkan sebuah aksi kekerasan yang menakjubkan, tapi juga frekuensi, eskalasi, akumulasi, dan sofistikasi kekerasa¬n yang luar biasa. Ini berarti era budaya kekerasan telah tiba. Akibatnya, terjelmalah negeri kecemasan karena seluruh masyarakat demikian cemas menyaksikan ritus kekerasan.
 
Biar ritus-ritus kekerasan tersebut diyakini benar oleh semua orang, Raja Donya Brono menciptakan berbagai pembenaran (justifikasi-justifikasi) selain menyebarkan stigmatisasi dan labelisasi negatif kepada berbagai kelompok masyarakat. Untuk itu, dibuatlah berbagai peraturan sebagai sarana sofistikasi kekerasan. Dikerahkan juga para pendengung, pemengaruh, dan pemelintir informasi. "Demi kelestarian ritus kekerasan kita, hai para punggawa negeri, buatlah berbagai aturan yang membolehkan aku, juga warga masyarakatku, mengambil tindakan-tindakan kekerasan atau memainkan tarian kekerasan di berbagai wilayah -- wilayah sosial, budaya, politik, ekonomi, dan lain-lain. Dengan sigap dan cekatan, para punggawa negeri pun membuat berbagai peraturan yang mengatur permainan kekerasan Raja Donya Brono. Baik di wilayah sosial, budaya, politik maupun ekonomi dibuatlah aturan-aturan permainan kekerasan. Dengan aturan itu, Raja Donya Brono beserta keluarga dan anak buahnya dengan penuh kelembutan dan keleluasaan bisa melakukan ritus kekerasan sepanjang waktu. Pada sisi lain, dengan aturan itu, warga masyarakat menjadi kehilangan kebebasan. "Tapi, apalah arti kebebasan dibandingkan dengan kemajuan fisik negeri, kemakmuran anak-anak bangsa, dan kesatuan-persatuan bangsa?", ujar Raja menyanggah setiap orang yang berusaha mengingatkannya. "Kalian mau mengungulkan kebebasan? Silakan gugat saya ke lembaga hukum yang berwenang!", ancam Raja Donya Brono. Akibatnya, tidak ada orang yang berani menyanggah atau mengingatkannya. Tak terbendunglah tabiat raja beserta keluarga dan anak buahnya untuk melakukan ritus kekerasan dengan berbagai bungkus aturan indah dan kemilau. Maka, kekerasan pun makin dalam merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
 
Tak terasa, sudah sekian tahun lebih Raja Donya Brono melaksanakan berbagai program budaya kekerasan tersebut. Kini dia sudah tidak muda lagi karena umur terus merambat naik, tak terbendung. "Untuk menyesuaikan dengan umurku yang sekarang sudah berangkat tua, maka mulai hari ini, namaku kuganti Raja Sepuh", dia memaklumkan diri kepada seluruh warga bangsa. "Dalam usiaku yang tak muda ini, aku bangga pada kalian, seluruh warga masyarakatku, karena kalian sudah memahami benar arti kekerasan dan mahir melakukan ritus kekerasan yang aku ajarkan sekaligus programkan selama tiga puluh tahun ini", ujar Raja Sepuh bangga. Kini Raja Sepuh memang tinggal menyaksikan ritus kekerasan yang dimainkan oleh para punggawanya dan masyarakatnya dari atas kursi goyangnya -- yang sudah sewindu ini tidak bergoyang lagi berkat budaya kekerasan. "Sungguh menakjubkan!", gumamnya sembari memperbaiki posisi tubuh langsingnya, "Para punggawa dan aparat keamananku sekarang sudah pandai merancang, mengatur, dan melaksanakan ritus kekerasan. Juga sudah sangat mahir dan fasih merapalkan aturan-aturan untuk pembenaran ritus kekerasan. Tanpa dikomando lagi, warga masyarakatku juga sudah lihai bermain kekerasan sekaligus memainkan dalih-dalih aturan". Raja Sepuh tampak puas dengan hasil kerjanya, yaitu menciptakan budaya kekerasan. Tidak peduli aparatus negara, pebisnis, dan kelompok masyarakat, semuanya kini senang menyelenggarakan sandiwara ritus kekerasan.
 
Dari jendela istana, Raja Sepuh melonggok ke luar. Dilihatnya aparatus negara, tentara, dan masyarakat sedang suntuk memainkan ritus kekerasan semenjak krisis ekonomi melanda negeri gemah ripah loh jinawi. Suasana hiruk-pikuk, menjurus ke kacau. Aparatus negara dengan berbagai cara mengintai dan menangkapi warga masyarakat. Seperti dalam keadaan ekstase, para tentara memuntahkan peluru-peluru karet dan tajam serta menyemprotkan gas air mata. Warga masyarakat terutama mahasiswa berteriak dan melontarkan batu-batu untuk membalas tembakan dan semprotan tentara. Suasana ritus kekerasan benar-benar kacau-balau, crowded. "Baginda Raja, ritus kekerasan berlangsung di luar skenario dan kehendak baginda", lapor seorang abdi setia Raja Sepuh. "Biarkanlah! Nanti aku ambil tindakan tegas", jawab Raja Sepuh kalem, tanpa ekspresi risau dan bingung sama sekali. "Tapi, Baginda! Kali ini lain. Keadaan sudah tidak terkendali. Aparatus negara dan tentara sudah terpojok. Masyarakat sudah beringas dan terus merangsek! Masyarakat menjarah dan membakar di luar batas skenario kita. Kita bisa celaka Baginda", tegas abdi setia. Baginda Raja Sepuh termenung demi mendengar laporan abdi setianya.
 
Sementara itu, di luar istana -- di jalan-jalan, di kantor-kantor negara, dan lain-lain -- warga masyarakat semakin ekstase menarikan ritus perlawanan. "Adili Raja Sepuh! Gantung Raja Sepuh! Turunkan Raja Sepuh! Usut harta benda Raja Sepuh. Kita sudah capek dengan permainan ritus kekerasan ini!", pekik sekelompok mahasiswa. "Masak kita tak mampu menurunkan Raja Sepuh?! Rapatkanlah barisan, kita gempur pertahanan Raja Sepuh" imbuh seorang tokoh. "Ayo, ramai-ramai kita goyang kursi goyang Raja Sepuh. Jangan takut tentara. Tentara milik kita", ujar tokoh lain. Menyaksikan semua ini, terperangahlah Raja Sepuh. Dunia tiba-tiba berputar. Kepala baginda Raja Sepuh pening. Dia tak bisa kukuh lagi berpegangan pada kursi goyangnya ataupun kukuh memegangi kursi goyangnya. Pantatnya tak bisa lagi duduk dengan enak di atas kursi goyang. Bahkan kemudian pantatnya merosot. Hampir saja dia jatuh tanpa sadar. Untung ada seorang aparatus negara dan seorang tentara yang memegangi kedua tangan baginda Raja Sepuh. "Aku mau turun. Turun sekarang juga tak apa. Aku kapok duduk di atas daripada kursi goyang ini! Panggil putra mahkota, beritahu besok dia harus menggantikanku duduk di kursi goyang ini!", ucap baginda lemah, dalam sorot mata sayu, dan tanpa senyum khasnya.
 
Keesokan harinya, Raja Sepuh menyatakan berhenti duduk di atas kursi goyang kepada seluruh masyarakat negeri gemah ripah loh jinawi. "Sesuai dengan undang-undang yang sudah saya atur begitu rupa, maka saya menyatakan akan mewariskan kursi goyang tunggal ini kepada putri mahkota!", dia memaklumkan diri berhenti. "Selanjutnya, kursi goyang ini saya berikan kepada putri mahkota yang telah 20 tahun lebih saya didik di kancah politik". Putri mahkota -- bernama Ayu Culas Pekerti -- yang memiliki postur tubuh lumayan langsing dan tinggi disumpah untuk menduduki kursi goyang. Tetapi, karena amuk massa dan suasa-na kacau-balau belum berhenti, kursi goyang tak dapat diduduki Ayu Culas Pekerti dengan enak. Sudah hampir setahun dia belum bisa duduk enak di kursi goyang. Dia sangat takut kalau-kalau jatuh seperti Raja Sepuh. Sebab takut itulah kemudian dia ingat ritus kekerasan warisan Raja Sepuh. Maka, setelah hampir setahun duduk di atas kursi goyang, Ayu Culas Pekerti mulai memainkan kembali ritus kekerasan. Aparatus negara diminta mulai bertindak keras. Aparatus keamanan diminta untuk melesatkan timah panas ke tubuh warga masyarakat. Dan banyak warga masyarakat mulai ditangkapi kembali. "Ambil tindakan tegas dan tangkap semua orang yang makar", perintah Ayu Culas Pekerti. Maka, sejak itu, banyak warga masyarakat tidak bisa menikmati menu makar malam karena ikan makar tidak tersedia di kafe-kafe. Semuanya sudah diborong oleh Ayu Culas Pekerti dan kawan-kawannya untuk membungkam seluruh lawan politiknya, bahkan membungkam rakyat yang hendak menyampaikan aspirasinya.

***

https://sastra-indonesia.com/2020/11/program-budaya-aryo-sekti/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar