Wednesday, November 4, 2020

Perjalanan Puitis ke Kuil Nietzsche

Peresensi: Ahmad Fatoni *
Judul: Kuil Nietzsche Kumpulan Puisi
Penulis: Binhad Nurrohmat
Penerbit: BOENGAKTJIL, Jombang
Cetakan: I, Agustus 2020
Tebal : 77 halaman
ISBN: 978-623-93384-9-7
 
”Tak ada lagi yang dimiliki selain kesunyian./ Cinta telah menjelma iman yang dilepaskan./ Tuhan alangkah renta untuk niscaya dipuja./ Diri yang agung memanggul umat manusia.”// (Kuil Nietzsche, hal 33)
 
”Kuil Nietzsche” yang menjadi judul buku kumpulan puisi, ini merupakan salah satu sajak yang mewakili dari sekian pemikiran filosofis Friedrich Nietzsche. Binhad seolah ingin mengulang suara lantang Nietzsche bahwa Tuhan yang dianggap kebenaran absolut oleh orang-orang kaum Kristianisme Barat, sudah mati terbunuh.
 
Berthold Damshäuser, pengamat sastra Indonesia dari Universitas Bonn, Jerman, memberi komentar di sampul belakang. Ia menyebut kumpulan puisi ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia Nietzsche, sang filosof dan pemikir unik dari abad ke-19. Ia pun menyarankan pembaca agar mencari sendiri berbagai informasi yang diperlukan untuk memahami keseluruhan dari sajak-sajak Binhad yang semuanya bertemakan Nietzsche.
 
Tak pelak, menyimak 62 puisi dalam buku ini sebagai perjalanan menelusuri riwayat hidup dan filsafat Nietzsche, mulai dari mitologi Yunani sampai ke tokoh-tokoh seperti Richard Wagner, Arthur Schopenhauer, Lou Salone dan banyak yang lain. Singkat kata, puisi-puisi Binhad kali ini membawa kita turut serta menelusuri rimba pemikiran Nietzsche.
 
Bagi Nietzsche, misalnya, dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Mari kita baca puisi Binhad pada (hal 68) “Cincin dan Cinta”: Tak adakah tangga atau sayap di dalam diri kita/ sehingga tak semua kisah adalah jejak kaki kita?/ Manusia di dunia melulu berlalu-lalang melata.// Di dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang ada adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk ditafsir.
 
Nietzsche sendiri terkenal dengan julukan ‘si pembunuh tuhan’ setelah dengan berani 'membunuh tuhan' (‘t’ dengan huruf kecil, sebab tuhan yang dimaksud Nietzsche hingga kini masih dalam perdebatan) lewat kutipannya yang terkenal, “tuhan sudah mati, kita yang membunuhnya.” Binhad sepertinya sengaja ingin menggaungkan lagi ‘pembunuhan’ itu. Diri mengembara di semesta tak bermajikan/ melepas waktu silam dan tanpa masa depan/ Sebelum manusia bimbang atau berontak/ mungkin Tuhan telah lebih dulu beranjak.// (“Tuhan, Selamat Tinggal” hal 19).
 
Tentu saja ‘pembunuhan’ tersebut menimbulkan pro dan kontra. Bahkan bila Nietzsche mengatakan hal itu sekarang di negara ini, niscaya dia akan dikenakan pasal penghinaan pada agama. Kendati kita tidak tahu pasti, agama mana yang menjadi perwakilan ‘tuhan’-nya Nietzsche. Sebagaimana kita tidak tahu pasti, ‘tuhan’ siapa yang dibunuhnya.
 
Kalimat filosofis “tuhan sudah mati, kita yang membunuhnya” senyatanya bisa bermakna banyak—sebagaimana karya sastra kebanyakan yang memiliki multi tafsir. Tergantung penafsirnya. Bisa pula bermakna keyakinan Nietzsche terhadap eksistensi manusia di masa depan, atau bisa juga sebagai kritik kepada umat beragama yang ‘ber-Tuhan’ namun kelakuannya jauh dari ‘Tuhan.’
 
Sekadar contoh yang terjadi di negeri ini. Benarkah radikalisme lahir sebagai pengabdian kepada Tuhan? Atau radikalisme hanya kemasan yang sebenarnya maksud di baliknya adalah kekuasaan politik? Sungguh, manusia terlalu sombong dengan membawa Tuhan hanya untuk urusan politik. Tetapi kenyataannya, hal itu terjadi berulang kali.
 
Maka, “Tuhan sudah mati” tidak boleh ditanggapi secara harfiah, seperti dalam “Tuhan kini secara fisik sudah mati”. Sebaliknya, inilah cara Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Firdaus serta jahanam terciptakan/ dari karunia sempurna di firman./ Nihil segalanya sejak tiada Tuhan.// (“Seusia Tuhan Pergi” hal.20).
 
Melalui pemikiran filosofis Nietzsche yang dibungkus dengan kata-kata puitis, kumpulan puisi Binhad seolah ingin menggugat segerombolan manusia nihil yang begitu getol berdalil dengan nama Tuhan demi segumpal kekuasaan. Tak ada wajah manusia di dunia/ kecuali makhluk-makhluk nihil./ Keagungan terakhir dan pertama/ dipersekutukan tempaan martil.? (“Martil Senja” hal 64).
 
Gugatan Binhad atas keserakahan para penguasa semakin menguat pada puisi (hal 76) ”Hans Olde Menggambar Nietzsche”: Siapa menemukan kuburan Tuhan?/ Sesudah dibunuh, tuhan lain berkeliaran./ Manusia terkesima tuhan kecil yang fana/ semabuk memuja idola agung di dunia.//
 
Sebagaimana Nietzsche, selain dikenal sebagai penyintas sastra Indonesia,  penyair Binhad menunjukkan kebebasan berbahasa, keindahan merangkai kata, dan aneka metafora yang demikian kaya. Karyanya ini tak sekadar berkhotbah, menghasut, apalagi berindah-indah. Binhad tampak ingin menohok kesadaran pembaca untuk membangun ruang spiritual-filosofis dalam jiwa dengan melakukan perjalanan puitis ke kuil Nietzsche.
***
 
*) Penikmat puisi dan pengajar Pendidikan Bahasa Arab UMM.

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar