Thursday, September 3, 2020

Sang Pencerah

Jauhari Zailani

lampungpost.com

Satu abad Muhammadiyah. Melalui film Sang Pencerah, pemahaman terhadap organisasi ini tercerahkan.

MUMPUNG Lebaran, sekeluarga kami menonton. Ada dua isu penting, menurut anak-anak saya, yang aktual. Pertama, film ini diluncurkan ketika umat Islam dihebohkan dalam menentukan arah kiblat salat. Kedua, sepanjang dekade terakhir, kita disibukkan isu pluralisme.

Dalam film berdurasi 120 menit ini, sutradara Hanung Bramantyo menceritakan kisah perjuangan Ahmad Dahlan yang diperankan Lukman Sardi. Setting cerita di Kelurahan Kauman, Keraton Yogyakarta, 100 tahun lalu. Sebagai latar sosial yang kemudian menjadi basis perjuangan Sang Pencerah adalah praktek agama Islam yang cenderung melenceng, penuh ritual mistik, dan memberatkan pemeluknya.

Dahlan muda bernama Darwis, menjadi istimewa karena gerakannya terjadi satu abad yang lalu ketika orang-orang di sekitarnya sedang menikmati fasilitas kekuasaan Raja Yogyakarta dan kekuasaan Belanda. Dalam usia belia (15 tahun) ia sudah naik haji, pada usia 21 tahun ia mendirikan Muhammadiyah yang gerakanya searah dengan Boedi Oetomo. Sebab itu, ada yang berpendapat Bapak Pendidikan mestinya Ahmad Dahlan, karena Ki. Hajar Dewantara jauh setelah Ahmad Dahlan mendirikan sekolah bagi kaum pribumi dan miskin.

Dalam usia muda, ia melakukan perubahan di lingkungannya. Meskipun untuk itu ia harus berbenturan dengan kiai-kiai sepuh di bawah pimpinan Kiai Penghulu Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo). Melalui sebuah gerakan yang represif kaum yang terusik dengan gerakan Ahmad Dahlan merobohkan langgar/surau Ahmad Dahlan karena dianggap mengajarkan aliran sesat dan kafir. Ahmad Dahlan dan murid-muridnya diintimidasi dan mengalami ?pengusiran?, di tuduh sebagai kiai kafir karena mengajar di sekolah Belanda, dan membuka sekolah yang menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern Belanda.

Perubahan Cara Beragama

Pandangan Ahmad Dahlan terjadi sebagai hasil dialektika intelektual ketika itu, misalnya gerakan Wahidin Sudiro Husodo dengan Boedi Oetomonya. Oleh Hanung Bramantyo, sang sutradara, tokoh intelektual di sekitar Ahmad Dahlan direpresentasikan melalui pikiran dan sikap M. Fadil Aman (Sujiwo Tejo) yang mengatakan pada Dahlan dengan sinisnya "..kamu hendak ke Mekah? Ha ha ha, sudah berapa orang dari Kauman ini yang pergi ke Mekah. Pulangnya bukan tambah pinter tetapi malah keblinger. Setelah pulang dari Mekah, malah tunduk dan menjadi cecunguk penguasa; majenun! Semestinya seseorang di Mekah mengalami pencerahan karena bergaul dengan tokoh dari berbagai negara, Mekah adalah internasional. Bukan malah majenun! Ha ha ha..."

Sepulang dari Mekah, Dahlan mengajarkan hal-hal yang aneh bagi elite Islam di seputar Masjid Keraton. Dahlan mungkin dianggap majenun oleh kiai di lingkungannya, tetapi tidak oleh orang yang sejalan dengan pikiran Kiai Fadhil Aman. Karena bagi Dahlan agama bukan membingungkan dan memberatkan bagi pemeluknya, melainkan harus mendatangkan kedamaian, ketenteraman, kenyamanan, dan kecerdasan bagi pemeluk dan lingkunganya. Untuk itu, agama harus dijauhkan dari tradisi yang cenderung membebani umatnya.

Cara Berdakwah

Dahlan ditampilkan sebagai sosok yang nyleneh dalam mengajarkan agama. Untuk keanehannya itu ia memperoleh julukan kiai kafir dari masyarakat di sekitarnya. Para tetangga dan saudaranya mengucilkan dan mengusirnya setelah membakar musalanya.

Pertama, kepada seorang murid yang hendak mengaji kepadanya, ia sodorkan biola. "Mainkan!" perintahnya. Setelah biola mengeluarkan ngak ngek ngok tak beraturan, kepada murid-muridnya ia bertanya.."Apa yang kamu rasakan?" Jawabannya beragam: kacau, campur aduk, damai, indah. Itulah agama. Kata dahlan menlajutkan "Jika agama dipahami tidak benar, akan campur aduk dan menimbulkan kekacauan. Semestinya agama seperti bermusik, akan menimbulkan kesejukan, keindahan, dan kedamaian bagi pemeluk dan masyarakatnya."

Kedua, pada kali lain, ia mengajarkan surat Al Ma'un dengan mengulang dan mengulang. Kepada Dahlan seorang murid protes "Maaf kiai, kok diulang terus. Kapan surat yang lain..? Kepada Suja, diperankan oleh Giring Niji, Dahlan bertanya... "Sudah berapa anak yatim yang kau santuni..? Ngaji dan beragama itu belajar memahami dan kemudian mengamalkan perintah Allah, bukan hanya menghafalkan."

Ketiga, ia mendirikan madrasah (pendidikan agama Islam) di rumahnya. Pendidikan ini mengadopsi sekolah model Belanda. Murid-murid duduk di bangku-meja belajar mempergunakan buku dan papan tulis, dan Dahlan berpakaian modern (beskap) ala pegawai Belanda, kiai yang lainnya memakai gamis dan sorban. Oleh kiai lainya, ia di cap telah kafir. Sebagai kiai kafir, ia dan pengikutnya diejek dan diintimadasi.

Keempat, sekolah umum (Belanda) tidak mengajarkan agama Islam. Dahlan membujuk otoritas sekolah Belanda agar diberikan kesempatan kepadanya untuk memperkenalkan pendidikan agama kepada anak-anak di kelas sekolah tersebut.

Islam Harus Pintar dan Kaya

Melalui film ini Hanung (dan tentu Dahlan) ingin mengatakan bahwa menjadi orang Islam itu harus berdaya secara ilmu maupun harta.

Pertama, sebab itu, sosok Dahlan ditampilkan sebagai seorang pedagang yang sibuk dan sukses. Beberapa adegan: ia sibuk berjualan batik di Pasar Beringharjo. Dan ini diperkuat oleh kemampuan Dahlan pergi haji yang kedua kalinya dan kemudian tinggal beberapa lama di Mekah untuk belajar agama. Selama perjuanganya ia menggunakan uang pribadinya untuk membangun musala, membuat sekolah, dan perabotnya.

Kedua, beragama harus berilmu agar memiliki pegangan dan tidak mudah terombang-ambing. Melalui film ini, penonton disuguhi Dahlan yang intelek dan berani menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam praktek ibadahnya. Dalam menentukan arah kiblat salat, sebagai contoh, ia menggunakan peta bumi dan kompas. Meskipun karena itu ia dicap sebagai orang dan kiai kafir.

Ketiga, Dahlan mengajarkan kepada pengikutnya prinsip pluralisme dalam masyarakat. Untuk mewadahi kegiatan dakwahnya, Dahlan mendirikan organisasi, melalui diskusi dengan murid-muridnya akhirnya disepakati dan berdirilah Muhammadiyah (pengikut ajaran Nabi Muhammad). Dari wadah ini Dahlan tampaknya sadar bahwa dakwah, apalagi dakwah bilhal (dengan tindakan nyata) harus melibatkan banyak orang.

Penutup

Film ini sejak awal sarat konflik. Konflik utama adalah antara Kiai Penghulu (Slamet Raharjo) dan Ahmad Dahlan. Konflik dua pusat agama, Masjid Agung di utara dan Langgar Kidoel (selatan). Akibat perubahan yang dibawa Dahlan telah menimbulkan goncangan. Konflik terjadi antara kakak dan adik, antara orang tua dan anak, antara generasi tua dan generasi muda, antara ulama tua dan ulama muda. Dengan berbagai intimidasi, pengucilan, pengusiran, hingga pembakaran musala.

Namun, film ini diakhiri dengan dialog manis antara dua tokoh utama yang berkonflik. Penghulu sadar telah terjadi kesalahpahaman, dan setelah perenungan yang mendalam, akhirnya mereka berdamai.

***

*) Jauhari Zailani, dosen FISIP Universitas Bandar Lampung

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar