Thursday, September 3, 2020

Persoalan Seni Fiksi dan Seni Fakta

Hudan Hidayat

Republika 10 Feb 2008

Mengkritisi tradisi sastra Indonesia terkini yang ditandai kecenderungan menguatnya politik sastra, penyair Ahmadun meminta kita berdialog kembali kepada teks. Sehingga, yang akan terjadi bukanlah "inilah saya'', tapi ''inilah karya saya."

Opini penyair Sembahyang Rumputan itu nampak mengandung perbedaan yang tegas. Tapi, kalau kita pikirkan lagi, "inilah saya" dan "inilah karya saya" adalah hal yang niscaya. Karena "saya" berada di dalam "karya saya". Dan saya yang sedang melakukan politik sastra atau politik tekstual sastra, bisa terjadi, atau tak bisa dilepaskan, dari "inilah karya saya". Atau "inilah karya saya" bisa terjadi, atau tak bisa dilepaskan, dari "inilah saya".

Kita sangat beruntung memiliki Tuhan. Karena, model pertama "inilah saya" datang dari-Nya. Yang mewujud ke dalam dialog. Tuhan bisa langsung menciptakan manusia (Adam) tanpa harus mengatakannya. Tetapi toh Dia mengatakannya. Akan Kuciptakan manusia ke dunia, kata-Nya. Kata-kata Tuhan ini adalah model "dialog pertama". Dan, respon iblis menjadi model "konflik pertama". Maka dialog dan konflik menjadi paket dari pihak yang berkomunikasi.

Karena itu, mengharapkan dunia sepi dari konflik, hampir mustahil. Sama mustahilnya meminta dunia tanpa dialog. Mematikan dialog terasa tak menghormati ajaran Tuhan, atau menantang Tuhan. Kemanakah kita kalau berpaling dari Tuhan? Tak akan kemana, karena kemana pun kau menghadap di sana wajah-Nya juga.

"Inilah saya" oleh Tuhan mewujud ke dalam "inilah karya-Ku" yakni dunia dan isinya. Kau boleh menggunakannya sesuai ajaran-Ku. Tetapi ingat, karena "saya" ada di situ maka kau harus mengingat-Ku dengan menyebut nama-Ku. Banyak memuji dan memuliakan diri-Ku. Segera terlihat Dia yang ingin "diakui". Dan Dia yang murka bila "eksistensi-Nya" tak diakui. Maka, Tuhan tak cukup hadir beserta karya-Nya tapi hadir juga beserta diri-Nya.

Untuk alasan semacam ini maka saya berpendapat bahwa seni bukan hanya terdedah dalam kata. Tapi, juga dalam manusia. Sehingga dia menjadi "seni fiksi" dan "seni fakta". Sehingga, sebuah novel bukan hanya mengeram dalam aksara, tapi juga mengeram dalam (diri dan ucapan) manusia. Sehingga, novel menjadi manusia yang berjalan. Persambungan semacam ini mengisyaratkan sebuah dialektik: keindahan yang berjalan bolak-balik, antara novel dan pengarangnya.

Dialog dan konflik dalam sastra Indonesia kini bisa dipandang sebagai jejak dari seni fiksi dan seni fakta yang sedang memainkan perjalanan bolak-baliknya. Pada titik tertentu, seni fakta itu menjadi seni fiksi. Ia menjadi fiksi yang enak juga dinikmati (umpama gerak mata Saut dan Wowok yang seolah mengedip nakal, atau senyum Goenawan yang nampak misteri dan intelektual). Selalu kita bisa mencari atau menemukan sisi-sisi humor dari dunia yang sedang kita hadapi.

Saya telah menjelaskan filsafat "saya" dan "mengada" dari Sidratil Munthaha. Tempat saya mengembalikan segala dialog dan konflik. Tempat nenek-moyang pengetahuan pertama. Maka saya bisa mengerti bila Sutardji Calzoum Bachri tak cukup menuliskan O Amuk Kapak, tapi juga menulis esai. Bisa dikatakan seluruh buku Isyarat adalah manifestasi dari "inilah saya" dalam perspektif "inilah karya saya".

Itu adalah upaya yang wajar. Karena politik tekstual semacam itu bukan saja dibutuhkan untuk mengawal "saya-nya" Sutardji yang telah terepsentasi dalam "karya Sutardji". Tapi, ia adalah perwujudan dari seni fakta yang kini menemukan dirinya ke dalam seni esai. Bahkan seni dalam tubuh Sutardji sendiri.

Maka, bisa dipandang, atau dinyatakan, dialog dan konflik sastra yang diminta oleh penyair Ahmadun Yosi Herfanda untuk dikembalikan kepada teks itu adalah seni fakta dalam bentuk ucapan. Dimana sang sastrawan sedang membela "saya-nya" yang telah terepsentasi dalam "karyanya". Rupa-rupanya telah terjadi ketidak-adilan. Rupa-rupanya mereka sedang memainkan seni yang mengeram dalam tubuh manusia yang berjalan.

Sastra Indonesia tidak akan mati oleh rendezvous dengan model dialog dan konflik seperti yang kita lihat akhir-akhir ini. Tuhan selalu menyimpan rahasia untuk dunia. Dunia yang mengalami kemajuan melalui perbantahan. Maka banyak-banyaklah bersemedi agar rahasia semua ini bisa terkuak dalam hati.

Di luar alur dialog dan konflik semacam itu, dunia sastra Indonesia kehadiran warganya tanpa kita pernah menyadarinya. Saya menemukan Amien Kamil yang berjalan di kota-kota besar Eropa sendirian saja tanpa pernah berkata-kata. Dari perjalanan panjang itu, tiba-tiba Amien hadir dengan Tamsil Tubuh Terbelah.

Mendadak Amien Kamil mensejajarkan diri dengan Binhad Nurrohmat, Fadjroel Rachman, Zain Hae atau Mardi Luhung di ajang Katulistiwa Literary Awards (KLA), yang meski penuh kontroversi, nyata adanya. Kehadiran yang bukan dibingkai oleh kokok ayam bersahutan/dengan suara adzan, seperti larik puisinya. Amien Kamil hadir dengan berkata: Aku pernah juga terpelanting dan terkesima/di lorong-lorong museum, singgah di toko sex/dan tersihir saksikan karnaval keliling kota.

Sebuah buku puisi telah di tangannya. Buku yang dihias lukisan apik, lukisannya sendiri. Buku yang, astaga, semuanya dikerjakannya sendirian saja. Sehingga, kata Iwan Fals di sampul belakang buku, "Kalo soal Om Amien ane percaye aje deh. Die entu kagak ade matinya, idup di segale cuace. Kalo enggak percaye baca aje ni 'Tamsil'."

Saya juga menemukan novel Sunar karya Sigit Susanto. Pengarang ini meliuk dari kesusastraan Indonesia yang angker dengan membuat kanal di dunia maya. Yakni milis Apresiasi Sastra. Seperti yang saya lihat juga di kalangan penyair Komunitas Bunga Matahari yang sering saya dengar puisi-puisinya di Radio Prambors. Sunar yang telah kehilangan ibunya tapi mampu tetap kokoh. Terbaca oleh saya sebagai nyanyian pengarangnya sendiri yang kini bermukim di Swiss. Novel Sunar di tulis tahun 1994, tapi baru di ujung tahun 2007 kita "temukan".

Bila Amien Kamil berjalan di lorong-lorong kota di Eropa untuk menemukan eksistensinya, maka Nurel Javissyarqi berkelana dari pesantren ke pesantren di ujung-ujung Pulau Jawa untuk menghadirkan Kitab Para Malaikat ke tengah kita. Inilah karya penyair yang gemilang, yang mampu berdiam dalam keheningan sumur kata yang dalam.

Kehadirannya tanpa ancang-ancang membuat kita tak mengetahuinya. Tak mengapa. Kita memang mengalami ledakan sastra yang tiba-tiba di tengah persoalan kritikus sastra dan ruang serta interes media massa.

Kehadiran Nurel bisa diletakkan pada perspektif "nilai kata yang lain, atau bentuk sastra yang lain". Dan, Nurel hadir tidak hanya untuk diri sendiri. Tapi mengajak orang lain menulis melalui penerbitannya, Pustaka Pujangga, yang telah melahirkan banyak penulis di ujung Jawa Timur. Salah satunya, AS Sumbawi, dengan novel Dunia Kecil, Panggung dan Omong Kosong.

Kitab Para Malaikat sampai membuat Maman S. Mahayana berkata, "Temukan Nurel di antara Socrates, Plato, Derrida, Iqbal, Sutardji, Afrizal Malna". Dan, saya ingin menambahkan: temukan juga Nurel di tengah Sembahyang Rumputan.

Saya kira Maman benar. Kitab Para Malaikat memang mencapai tingkatan itu. Seperti terbaca di salah satu larik "kitab" itu sendiri:

Percikan ini berasal bebijian zaitun bersimpankan minyak/cemerlang tanpa nyala api, laksana insan berkehendak tinggi/melebihi kursi kedudukan para Malaikat Ruhaniyyuun.

***

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar