Sunday, August 9, 2020

SASTRA KENDARI

Syaifuddin Gani

Pintu Kesilaman

Sastra Kendari sudah lebih maju dari segi kuantitas, juga kualitas dibanding ketika pertama kali saya mengenalnya sejak tahun 1997 ketika tiba di Kendari. Selain soal karya, kemajuan itu juga sangat nyata pada orang atau penulis yang melahirkan karya itu. Dan mereka, para generasi terkini itu, berusia muda dan menampakkan semangat mencipta dengan penuh kegembiraan.

Saya tiba di Kendari tahun 1997 lalu masuk di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Unhalu, dan kemudian tahun 1998 bergabung dengan Teater Sendiri (TS). Di sanggar inilah saya membaca antologi puisi Dengung karya para penyair Kendari saat itu, antara lain Achmad Zain, Ahid Hidayat, Munawar Jibran, L.M Saleh Hanan, Arrasyidi Budiman, La Ode Djagur Bolu, Edy Zul, dan Jusdiman. Di kemudian hari, hanya beberapa orang saja yang intens menulis dan mengikuti perkembangan puisi tanah air. Di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, saya membaca Majalah Semiotika yang di dalamnya terdapat puisi-puisi Saleh Hanan, Asidin La Hoga, dan Iwan Jibran.

Sastra Kendari di masa silam, adalah bagian dari upaya untuk meletakkan pondasi bagi kesusastraan Kendari selanjutnya. Bagi saya, hal itu patut disyukuri karena telah memperkenalkan bacaan awal yang terus mendorong untuk mencari bacaan lain. Akan tetapi, Dengung tidak mendengung sampai di luar Kendari.

Saya sendiri, kemudian berproses dalam bidang teater dan sastra di TS bersama banyak teman yang lain. Di sanggar ini, Kak Stone (Achmad Zain) adalah seorang motivator bagi kurang lebih dua puluh anggotanya. Posisi Kak Stone dalam pandangan saya bukan pada korektor atau kritikus bagi proses penulisan sastra bagi anggota-anggotanya, tetapi lebih sebagai mesin pendorong kreativitas yang tak lelah-lelah menyuruh bahkan memaksa menulis. Di dalam proses yang bertahun-tahun inilah, Kak Stone berhasil menanamkan budaya tulis di kalangan anggota TS. Tulisan-tulisan awal saya dalam proses ini, masih tersimpan sampai sekarang.

Salah satu kendala yang dihadapi saat itu adalah tiadanya hubungan dengan dunia luar dalam arti yang luas. Dunia luar yang saya maksud adalah persinggungan dengan penyair atau sastrawan Indonesia, media sastra (harian dan majalah sastra), komunikasi dengan pengamat sastra. Jadinya, sastra yang saya alami saat itu, hidup di dalam lingkungannya sendiri yang tidak lapang. Hal ini berakibat pada, kita tidak pernah tahu sejauh mana pencapaian estetik atas karya sastra yang diciptakan. Akan tetapi, di tengah situasi seperti ini, proses dan semangat menulis, intens dilakukan, tak terbendung.

Proses dan hasil penulisan yang dilakukan pun lebih banyak dibaca oleh teman-teman sendiri. Akan tetapi, pintu cakrawala itu sedikit demi sedikit terbuka dengan diadakannya Prosesi Seni Malam Jumat (Proselamat) yang berlangsung beberapa tahun. Di Proselamat, karya-karya yang ditulis di TS dan juga karya-karya penulis-penulis lain yang giat di komunitasnya juga, menampilkan karya di hadapan banyak orang. Proselamat, bagi saya adalah salah satu arena pemasyarakatan sekaligus penggemblengan karya di internal Kendari. Karena di momen inilah, beragam karya (sastra, teater, tari, musik) dipentaskan dan dikritisi. Kegiatan bulanan ini sudah berhenti.

Proses yang kami alami di TS itu dalam pengalaman saya, turut juga diikuti dan diapresiasi oleh Ahid Hidayat, yang sering menjadi teman dalam membahas karya yang kami tulis. Sementara itu, Irianto Ibrahim, yang segenarisi dengan Abd. Razak Abadi dan Dhidit Marsel, kemudian hari, lebih banyak aktif di kampus bersama para mahasiswa di dalam menggeluti sastra. Sehingga lahirlah beberapa perkumpulan sastra yang dibuatnya, misalnya Eksis. Pada akhirnya, membentuk Komunitas Arus sampai sekarang. Abd. Razak Abadi, selain menulis sastra, juga berteater bersama TAM dan Didit Marshel lebih memilih teater sebagai lahan kreatifnya.

Pintu Kekinian

Proses penulisan yang dilakukan di Kendari, di tengah-tengah ketertutupan dengan dunia luar itu, terkuak pintunya pada sekitar tahun 2000-an sampai sekarang. Karya-karya yang ditulis, cerpen atau puisi, diapresiasi dengan baik oleh sesama sastrawan di luar Kendari. Menulis cerpen dan puisi di tahun-tahun awal itu tidaklah sia-sia. Puisi dan cerpen mulai dimuat di berbagai majalah sastra dan harian yang memuat sastra hari Minggu.

Sastrawan muda yang karya-karyanya termuat itu seperti Sendri Yakti, Irianto Ibrahim, Iwan Konawe, Galih, Abd. Razak Abadi, dan La Ode Gusman Nasiru. Salah satu penyebab teraksesnya karya-karya mereka adalah karena tradisi membaca sastra mutakhir yang kuat, komunikasi dengan sastrawan luar Kendari, memanfaatkan media internet untuk membaca karya sastra mutakhir, serta mengikuti wacana, fenomena, isu, dan politik sastra Indonesia terkini. Selain itu, tentunya adalah karya-karya sastra mereka sudah layak untuk dipublikasikan.

Hubungan dengan dunia luar itu menjadi sangat terbuka dan akhirnya tidak ada pintu penutup dengan kamar-kamar sastra lain itu. Sastra Kendari dan sastra daerah lain menjadi sebuah rumah sastra, rumah sastra Indonesia. Pintu-pintu itu mulai terbuka dengan hadirnya rombongan sastrawan SBSB (Siswa Bertanya Sastrawan Berbicara) di beberapa sekolah di Sultra, yang diprogramkan oleh majalah Horison didukung Ford Foundation, tahun 2003. Lalu tahun-tahun berikutnya, banyak sastrawan ternama Indonesia hadir di Kendari, yang diundang oleh antara lain Kantor Bahasa Prov. Sultra, Prodi Bahasa dan Sastra Unhalu, dan kemudian singgah menemui komunitas sastra Kendari, antara lain di Komunitas Arus dan Teater Sendiri, yang lalu dimanfaatkan untuk diskusi intensif dan membuka jaringan. Hal ini, disadari atau tidak, turut membentuk dan menyokong majunya sastra Kendari.

Selain nama-nama yang saya sebut sebelumnya di atas, lahir pula penyair dengan usia lebih muda yang melakukan proses penulisan di berbagai komunitas, salah satunya adalah Komunitas Arus. Sanggar yang dibina oleh penyair Irianto Ibrahim ini, juga punya proses menulis di kalangan anggotanya, hingga melahirkan penulis-penulis berbakat. Di genre sastra pop, hadir Krisni Dinamita dengan novelnya Cintai Aku Sekali Lagi dan Arham Kendari dengan bukunya Jakarta Under Kompor dan Dumba-dumba Gleter.

Harian Kendari Pos pernah membuka rubrik Sastra & Budaya yang memuat selain sastrawan luar Kendari, juga dan terutama memuat karya sastra penulis Kendari, setiap hari Sabtu. Saya dan Ahid Hidayat, secara “tidak formal” menjadi penjaga rubriknya. Selain dari luar, banyak penulis Kendari, terutama yang berstatus mahasiwa mengirim karyanya. Hal ini memperlihatkan bahwa kepenulisan di kalangan mahasiwa itu sangat bagus dan perlu ditunjang oleh media. Akan tetapi, keberadaan kami di rubrik itu tidak berlangsung lama, dan rubrik itu masih eksis sampai sekarang, meskipun pemuatan karya sastra penulis Kendari tidak seintens dulu.

Penyair-penyair Kendari terkini, mempublibksikan karyanya tidak hanya melalui media-media cetak atau media on line yang dikelola pihak lain, tetapi juga sekaligus membuat blog pribadi, selain facebook, lalu menampangkan karya-karyanya di dalamnya, juga karya sastrawan lain. Dengan demikian, sastrawan Kendari terkini, selain mengikuti perkembangan sastra melalui buku, koran, dan majalah sastra, juga ikut serta terlibat di dalam media internet sebagai medium sastra mutakhir. Artinya, bagi pelaku sastra, baik itu sastrawan, pengamat, atau kritikus sastra, harus melibatkan diri dalam dialektika sastra mutakhir yang terjadi tidak hanya di “darat” tetapi juga di dunia maya. Jika tidak, maka kita akan segera tertinggal dengan cepat.

Sastra Kendari terkini, secara perlahan-lahan, telah menjadi bagian dari sastra Indonesia, meskipun keterlibatan, peranan, atau keberadaanya masih belum terlalu signifikan. Di berbagai antologi puisi bersama telah mencatatkan nama-nama penulis sastra Kendari, antara lain di buku Tanah Pilih (TSI I Jambi), Pedas Lada Pasir Kuarsa-Buku Puisi dan Jalan Menikung ke Bukit Timah-Buku Cerpen (TSI II Bangka Belitung), Percakapan Lingua Franca (TSI III Tanjungpinang), Penyair Menuju Bulan dan Wajah Deportan (Banjarbaru), Rumpun Kita (Malaysia), Bungahati Buat Diah Hadaning (Jakarta), Beranda Senja (Jambi), Penyair Perempuan Indonesia (Jakarta), dan lain-lain. Selain buku di luar Kendari di atas, terdapat pula buku/manuskrip puisi Kendari yang merupakan pondasi seperti Sendiri 1, Sendiri 2, Sendiri 3, Malam Bulan Puisi, Barzanji di Tengah Karang, Yang Tak Pernah Pergi, Tanah Merah Tanah Sorume, Perjalanan, Dari Cinta ke Jembatan Rindu, dan lain-lain.

Keberadaan tokoh-tokoh yang ikut mendorong iklim sastra Kendari adalah, Ahid Hidayat yang intens mengamati serta menulis makalah tentang sastra Kendari sejak pertama kali saya tiba di Kendari. Ahid Hidayat, dalam pengamatan saya, mencoba tekun mempraktikkan tradisi penulisan di Unhalu, meskipun langkahnya kadang dianggap kontroversial. Salah satu langkah nyata keberaksaraan yang dihasilkannya adalah buku puisi Pagi Mendaki Langit yang merupakan puisi mahasiswa mata kuliah Menulis Kreatif. Di sini, banyak karya mahasiswa yang bagus. Ada La Ode Balawa yang turut mengamati sastra Kendari dan terakhir mencoba ikut di dalam mendorong suasana penciptaan yang baik. Iwan Jibran yang sejak mahasiswia menulis puisi dan pernah meraih juara dalam lomba cipta puisi tingkat mahasiswa nasional, ikut memiliki andil di kalangan mahasiswa melalui UK Seni Unhalu. Asidin La Hoga adalah sosok yang sejak mahasiswa menulis puisi dan sampai sekarang memberikan motivasi pelaku-pelaku sastra untuk giat menulis.

Salah satu faset perkembangan sastra Kendari yang sangat berarti adalah diterbitkannya antologi puisi Irianto Ibrahim Buton, Ibu, dan Sekantong Luka oleh Frame Publishing, Yogyakarta. Antologi puisi tunggal ini kemudian diluncurkan dan dibedah di Yogyakarta, Tasikmalaya, dan PDS H.B Jassin, Jakarta, mendapat sambutan yang baik di kota-kota tersebut. Ini adalah sebuah pencapaian tersendiri bagi sastra Kendari yang memahat tradisi keberaksaraan dan turut memperkenalkan sastra Kendari ke masyarakat sastra Indonesia yang lebih luas.

Pintu Masa Depan

Sastra Kendari kini maju selangkah. Hopla! Teriak Chairil Anwar. Kita memang harus melompat agar maju dan bisa seiring dengan kota lain, meskipun berat. Sastra Kendari, tidak bisa tidak, harus dibangun dari tradisi tulis yang cukup kuat. Selain tradisi tulis, harus ditopang dengan tradisi membaca, tradisi diskusi atau sharing, tradisi berguru, dan tradisi bertualang. Jika tidak mengikuti perkembangan sastra Indonesia mutakhir, Kendari akan mundur dan terpuruk.

Kehadiran sastra Kendari, sebagaimana di daerah lain, adalah suatu kenyataan betapa Jakarta bukan lagi Pusat Sastra. Kota-kota yang tersebar di Indonesia membangun dirinya sendiri menjadi pusat yang baru. Kata Emha, setiap penyair membangun kursinya sendiri. Akan tetapi, membangun diri sendiri, butuh “kemandirian” dan kemauan kuat agar bisa dikenal sebagai Kota Sastra.

Seperti apakah sastra Kendari masa depan? Jawabnya sangat musykil. Akan tetapi bisa kita raba dengan menengok sastra masa lalu dan melihat sastra hari ini. Jawabnya bisa tiga: mundur, jalan di tempat, dan lebih maju! Tergantung pada “gantungannya”. Dan gantungan itu ada pada kita semua.

BTN Puri Tawang Alun 2, Rabu, 24 November 2010

Tulisan ini pernah dipaparkan pada diskusi Sastra Kendari: Masa Silam, Masa Kini, dan Masa Depan di Teater Sendiri, 28 November 2010, lalu dipublikasikan di Facebook Syaifuddin Gani, 2 Desember 2010.

http://komunitassastra.wordpress.com/2011/01/03/sastra-kendari/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar