Nurel Javissyarqi *
Kematian seperti tamu tak diundang. Tiba-tiba datang di depan pintu mengetuk nadi insan. Pada hari itu sudah ditentukan, selepas dicatatnya tanggal kelahiran; sebelum jabang bayi menghirup langsung udara kehidupan. Tepatnya –dalam rahim- seorang ibu, takdir purna digariskan Sang Maha Pencipta; anak manusia tinggal melakoni perjalanan hayatnya sesuai garis ketentuan pun ketetapan laku nasib yang diembannya.
Ada yang “weruh, sak durunge winarah” akan waktu kematian atas kedekatannya dengan Sang Maha. Ada yang di hari kematiannya baru diberitahu, atau beberapa jam sebelum malaikat maut menjemput nyawanya. Dan ada yang dikasih kabar beberapa masa sebelum tanggal “slurupnya srengenge” berupa tanda; hanya orang tertentu yang mengetahui –bi(a)sa memahami (memaknai) peredaran sunatullah. Pada saat itu tiada penawaran ayu kecuali kemurahan Allah, Sang Pemilik perbendaharaan tersembunyi, Penguasa jagad alit diri manusia juga jagad besar alam semesta.
Man Rabbuka? Siapa Tuhanmu? Pertanyaan ini menggelegar dalam kubur, sesudah orang-orang mengantarnya -yang terakhir pergi meninggalkan dirinya, lalu hanya ditemani amal perbuatan dimasa-masa hidupnya, yang baik maupun buruk. Tentu, sebaik-baiknya perdagangan dengan Sang Maha Abadi adalah keabadian serta; memberi manfaat sesama demi kelestarian alam raya. Sebagaimana Allah Swt., mencintai keindahan, kesucian, bersyukur dan bersaksi atas kebesaran-Nya.
Kata ‘menggelegar’ di atas, hampir-hampir menyama-rupai goncangan di arsy, tatkala sepasang kekasih suami-istri bercerai sebab suatu hal. Dalam tingkatan lain ibarat langit terang benderang, tetapi terasa gelap, disebabkan berkabung. Atau suasana canda tawa di seberang jalan yang tak menarik diberi senyuman panjang. Hanya, yang dinaungi gelombang atmosfer sama, sanggup merasai betapa dahsyat suatu kesaksian dari kepastian terdekat, meski tampak jauh pandangan mata lahiriah. Ibarat di bawah mendung sewarna, langit kasih sayang dan kebencian tumbuh bersama, ketololan juga kecerdasan menghiasi alam dunia. Maka, yang senantiasa mawas diri, diperkenankan memetik buah-buahan segar, dipersila mencecapi limpahan hikmah secukupnya.
***
Saya peroleh kabar ‘mangkat’-nya Mas Otto Sukatno CR di Grup Whatsapp FP2L (Forum Penulis dan Pegiat Literasi) Lamongan, pagi hari 26 Juli 2020. Lantas melihat facebook (fb)-nya, ternyata tidak bertemanan, yang ‘sedurung’-nya memang belum mencari tahu (tak menelusuri), apakah punya fb atau tidak. Terlihat pada linimasanya sudah banyak dipenuhi kiriman kembang belasungkawa, di antaranya dari Mas Joni Ariadinata, menyebutkan waktu meninggalnya Mas Otto, pada hari Sabtu 25 Juli 2020, pukul 20.15 di Rumah Sakit PDHI Kalasan. Innalillahi wa innailaihi rojiun...
Mas Otto bagi saya adalah salah satu orang pemberi ‘password’ untuk bisa menginap seenaknya di sanggar teater ESKA, selain Mas Hamdy Salad, Mas Mathori A. Elwa, dan Mas Joni, dalam masa-masa menghirup udara sekaligus tinggal di Kota Jogjakarta sebelum-setelah Reformasi. Saya biasa ‘nggelandang’ dari kampus ke kampus, mandi di universitas satu ke lainnya, oleh tak jenak jikalau terus terkurung di kosan atau kontrakan dari tahun 1995-2001. Kampus yang biasa saya datangi ialah ISI, UMY, AKAKOM, UNY, dan Sanata Dharma. Tentu, di setiap kampus itu punya password, sekecilnya dapat mandi sesuka hati. Di IAIN (kini bersebut UIN) SuKa (Sunan Kalijaga), ‘kata sandinya’ mereka berempat. Saya sendiri kuliah di UWMY tidak sampai lulus alias lolos, bahasa agak-agak ‘mirip keren,’ jebolan.
Perekat keakraban lahir-batin dengan kawan-kawan Eska, lantaran pernah nyantri di Denanyar, nJombang, oleh rata-rata mereka lulusan pesantren. Ini agak menyerupai awal nginap di Jogja kala hendak kuliah; bermalam di Pesantren Krapyak dengan kartu santri al-Aziziyah, Denanyar, atau pada intinya mencari gratisan sambil menjajal apapun bagi pengalaman kembara. Namun jangan kira melarat, terbukti Mas Joni pernah memberi nama pena saya Nurla Gautama, tahulah sendiri Siddhartha kalangan apa pun sampai kini “suka ngere,” ucapan Binhad Nurrohmat suatu ketika, selepas acara SelaSastra di Warung Boenga Ketjil-nya Andhi Setyo Wibowo, Jombang.
Di sanggar Eska, saya punya tempat rahasia yang diri tinggali sendiri yakni di atas plafon. Di situlah biasa menulis, sebagian catatannya masuk di buku “Balada-balada Takdir Terlalu Dini,” FKKH 2001 (Cetakan II, Lintang Sastra, PuJa 2006). Hadirnya antologi puisi itu, bisa dibilang membuat banyak kecemburuan, lantaran terlalu nekat menerbitkan buku dibanding para penyair seangkatan. Maka muncullah sebutan “Penyair Buku,” tersebab belum banyak karya saya yang terbit di media. Waktu itu baru di Solo Pos, KR, Bernas, Minggu Pagi, Pos Kita, atau ‘durung’ merambah koran terbilang kelas nasional hingga sekarang. Memang, tidak rajin mengirim lagi selepas terbit, dan buku itu tanda keluar dari Jogja, bagi pengganti skripsi yang tak saya ambil.
Melalui Eska, saya mengenal Cak Kuswaidi Syafi’i, Edeng Syamsul Ma’arif, Mbak Abidah El Khalieqy, Mbak Ulfatin CH, dll. Hal membuat jenak di sana, dibanding sanggar teater kampus lain, selain ada ruang khusus juga suasana keakrabannya segambaran di pesantren, di sebelahnya ada gedung arena, tempat kawan-kawan senantiasa berlatih, meski tiada jadwal pertunjukan. Pagi hari ngopi, ngerokok, baca buku atau koran, makan di angkringan, malamnya diskusi lagi hingga selarut wedang; asbak dan puntung, jadi saksi setiap hari. Barangkali jejak guyub ini mengilhami almarhum Gus Zainal Arifin Thoha mbabat santren di kontrakannya, tepat di depan kediamannya di Krapyak, berlanjut Kuswaidi, kini Aguk Irawan Mn, atas benih-benih jiwa santrinya mBabat Pesantren. Sedikit-banyak bisa langsung pula tidak, Emha Ainun Najib merupakan cermin awal sosok santri, yang menceburkan diri dalam dunia sastra di Kota Jogja.
***
Barangkali hanya Eska, teater kampus tertua yang terus menggeliat sampai sekarang, seusia ajang demonstasi mahasiswa di UNDAR Jombang. Senafas W.S. Rendra dengan sajak-sajak pamflet, Emha lewat Lautan Jilbab. Dan Otto Sukatno CR, didapuk menjadi Ketua sekaligus Sutradara ESKA periode 1990-1994, titel naskah-naskahnya yang pernah dipentaskan: Kunci Surga, Parlemen Setan, Saru Siku, Jagad Manusia, Sungsang Sarak; dipanggungkan di IAIN serta tempat lain; Festival Teater Mahasiswa Nasional, lalu FKY 1997. Teater Eska pun tidak alergi menggelar lakon dari penulis lain Indonesia juga luar negeri. Sebelum pecah Reformasi 1998, kampus-kampus masihlah dapat menjadi ‘kosan kedua’ bagi para mahasiswa aktivis, ini memungkinkan mereka terus bertukar pikiran, sehingga kesadaran nalar tidak mandek dalam diskusi menuju aksi. Jogja seolah Indonesia Kecil, semua mahasiswanya datang dari penjuru kepulauan Tanah Air dari Sabang sampai Merauke, keadaan ini menambah kematangan kritis terasah, maka tak heran, jalan besar utara kampus lebih memanas dibanding Bundaran UGM, sewaktu Orde Baru tumbang.
Otto Sukatno CR lahir di Karanganyar, 3 Oktober 1965. Meski dirinya lulus IAIN SuKa tahun 1993, seperti para senior lain, masih mengasuh anggota baru teater Eska. Di sini, peran penting regenerasi; dipantau, diawasi, disentil kalau mbeling tak berlatih walau kekurangan alat. Maka tidak aneh, naskahnya yang berjudul “Yogya Arya Pradipta” dipentaskan di Stadion Kridosono pada puncak Ulang Tahun Keraton ke 249 (2005), dan naskah “Golong Giling Trajumanggala” digelar di Alun-alun Utara dalam acara yang sama ke 250 Ulta Keraton tahun 2006. Dan tahun 2008, menangangi naskah berlabel “Indonesia Anugerah Anda Buwana,” di panggung terbuka Sendratari Ramayana Candi Prambanan, dst. Otto termasuk orang di luar Keraton-Jogja yang menguri-uri kebudayaan Jawa, di sebelah Mas Iman Budhi Santosa, dan almarhum guru saya KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo. Dengan keterbatasan hidup berpayah-payah, keilmuan luhur dapat diraup sepenuh berkah; menggali sumur-sumur tua kitab-kitab klasik; mencari pancaran hikmah dari lipatan waktu dan peristiwa; napas-napas kata pekerti adiluhung. Pada derajat ini ketulusan “manggung,” seperti ketenangan telaga memantulkan suara, menyusupi rerongga dada manusia.
Di sanggar Eska, kadang berjumpa Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini; ini jauh sebelum berdirinya Komunitas Rumah Lebah, saya membentuk Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia bersama Ahmad Muhaimin Azzet, Si Thenk, Y. Wibowo, dll yang disindir Asa Jatmiko sebagai komunitas “ngaceng.” Saya ke sanggar Eska, sesekali mengajak Satmoko Budi Santoso, kadang Teguh Winarsho AS, Sri Wintala Achmad, pun saya senang keluyuran sampai jalan-jalan tikus Jogja hapal di luar kepala. Dan terakhir berjumpa Mas Otto, beberapa tahun lalu di kantor baru Araska, penerbit buku kepunyaan Mas Teguh. Benar yang dikatakan Binhad, Mas Otto tak lagi gemuk, barangkali selain sakit, pertumbuhan usia, juga pengembaraannya ke dalam dunia kata-kata; menyusupi lelipatan waktu mengembarai alam buku, meniup napas gairah lama dalam aksara mempengaruhi badaniahnya. Jogja memang unik, sumber daya alam tidak memadai, lahan tanah tergolong murah dibanding kota lain. Namun sebab itu, kreativitasnya tumbuh, sumber daya manusia unggul terbangun, menghasilkan pendapatan tersendiri, meski upah pekerja minim dibanding kota-kota besar lain, tetapi daya saing wiraswastanya tidak dapat terbantah di atas keuletannya berkarya. Jogjakarta, masihlah berdaya magnetik kebudayaan.
Dalam biografinya disebut, Mas Otto mulai aktif menulis sejak tahun 1987 dalam dua bahasa (Indonesia dan Jawa), berupa artikel, cerpen, puisi, kolom, resensi buku, naskah drama, novel, dll. Letupan karya-karyanya tersebar di pelbagai media massa daerah pun pusat, di sisi sebagai konsultan buku, editor lepas beberapa penerbit di Jogja, penyunting dan penerjemah. Lengkung Langit (1995) adalah novelnya yang sudah disiapkan beberapa tahun lamanya, harus direlakan hilang ditelan virus komputer, lalu Metamorfosa Kupu, antologi tunggalnya yang tersendat di penerbit hingga lenyap tak berbekas. Perjalanan karya maupun lakon penulisnya, tak semulus angan mengudara, ada yang ludes terbakar, habis dimakan usia, tapi yang setiai perjuangan diganti ganjaran sepadan. Karena ingatan, kenangan, menjelma kawan seiring sejalan dalam kesunyian, dan benderang semangat menjelma anugrah tak terhingga dari Sang Maha Kuasa.
Karya-karyanya yang telah terbit: Mahhabah Cinta (1996), Kitab Makrifat (2002), Seks Para Pangeran (2003), ketiganya Penerbit Bentang, judul terakhir diterbitkan ulang Araska, 2015. Makrifat Cinta (Arahkata 2003), Pesan Buat Nurani (Mitra 2004), Dieng Poros Dunia (Ircisod, 2004), Mistik Jawa (Lkis 2005), Mirah Delima Atawa Malam Pertaubatan (Binar Press 2005), Ramalan Edan Ronggowarsito (Pustaka Pelajar 2006), Mahabbah Cinta (Logung 2005), Saru Siku; 1998 Jiwa-jiwa yang Menyerah dan yang Kalah (Jws Sastra 2005), Santri Nekad (Pustaka Pesantren 2005), Prahara Bumi Jawa (Jejak 2007), Psikologi Seks (Aruzz 2008), Mata Air Peradaban (Lkis 2010), Ratu Adil Segera Datang (Ircisod 2014), dll. Buku-buku karangan Otto Sukatno CR sangat layak dilestarikan (cetak ulang), bagi kekayaan generasi mendatang; tangga jati memahami keluhuran, cahaya penerang masa depan. Sebab tidak sekadar plesiran, ada darah daging denyut nadi hayati nan hakiki, yang patut diuri-uri demi napas-napas langgeng keadaban.
Ialah salah satu mutiara kearifan timur yang hadir dari tanah Jawa, penanam bulir-bulir pekerti dalam abad sekarang. Kini, seakan waktu berhenti tiba-tiba, atau kelambanan ‘ngonceki’ kaki-kaki melangkah; setinggi mega-mega mengudara, selengkung bumi memeluk setia. Dan ketika tempo berlalu cepat: adakah masih merindu kilatan cahaya? Harum kembang putri kangen yang disedekahkan di lembar-lembar kertas dalam buku-buku bersahaja? Untaian masa-masa paling khusyuk di atas batu pualam kepurnaan bagi sesembahan purba? Aroma sedap malam? Wangi ‘sewengi’ kantil? Melati-melati sukma sejati? Bau suci pepadian bersujud merestui? Setibanya keabadian menyungguhi tempaan nasib, menyalami ketenangan, sedalam berpeluk keridhoan.
***
Walau sebuah kematian itu peristiwa mendadak yang sudah dipersiapkan jauh, tarikan napas terdalam misteri waktu terus saja menyempurnakan, menggenapi makna paling tentu menuju kerelaan penuh. Kawan saya Wawan Pinhole (Eko Setiawan), seniman fotografi lulusan ISI Jogja asal kota Reyog Ponorogo, meninggal dunia tanggal 9 Juni 2020. Lalu 19 Juli 2020, penyair senior Sapardi Djoko Damono berpulang juga, lantas sampean Mas Otto, dan baru kemarin budayawan Ajib Rosidi, tepat 29 Juli 2020 meninggalkan kita semua. Disusul penulis antologi puisi Bunglon, Gus Im (Hasyim Wahid), adiknya Gus Dur. Maut, seperti kedipan mata tanpa bersuara, dan orang-orang kembali diingatkan, “urip mung mampir ngombe.” Semoga para beliau, diganjar sebaik-baiknya, diberi pakaian seindah-indahnya, dan dihadiahi tempat semulia-mulianya, amien ya Robbal alamien.
08 Agustus 2020
*) Pengelana yang tinggal di pulau terpencil dikelilingi bantaran Bengawan Solo, tepatnya di Dusun Pilang, Tejoasri, Laren, Lamongan.
http://sastra-indonesia.com/2020/08/nurla-gautama-mengenang-otto-sukatno-cr-dan-teater-eska/
No comments:
Post a Comment