Imam Nawawi *
Opini ini adalah inti sari tafsir al-Quran Jalalain tentang ayat 30-35 surat Shad. Sebelumnya, saya ingin menegaskan satu prinsip utama: berpolitik tidak untuk membela agama. Tapi berpolitik untuk menjalankan agama.
Nabi Sulaiman alaihis shalatu was salamu dijadikan percontohan oleh Allah, betapa keinginan berjihad melawan musuh-musuh Islam tidak dapat dibenarkan jika mengabaikan perintah agama yang lain, seperti mengerjakan shalat Ashar.
Saking sibuknya ngurusi kuda-kuda perang yang berjumlah 900 ekor itu, yang dilakukan pengecekan sejak Dhuhur sampai Maghrib, membuat Nabi Sulaiman as lupa shalat Ashar. Ini kecelakaan pertama.
Kecelakaan kedua, Nabi Sulaiman alaihis shalatu was salamu tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang istrinya sendiri yang bernama Aminah, yang ternyata seorang Paganis dan bukan Muslim. Sehingga di dalam lingkungan keraton Nabi Sulaiman terdapat praktik penyembahan berhala tanpa sepengetahuan Nabi Sulaiman.
Hukuman dari Allah subhanahu wa ta'ala atas Nabi Sulaiman alaihis sholatu was salamu sangatlah berat, yakni sanksi sosial berupa pengingkaran rakyatnya atas beliau. Kekuasaan sempat jatuh ke tangan pihak lain.
Dalam sudut pandang mistis, pihak yang merebut kuasa dari Nabi Sulaiman adalah Jin, dan rakyat menolak Nabi Sulaiman lantaran Allah swt mengubah wajah Nabi Sulaiman menjadi wajah orang asing. Spirit kisahnya sama aja: kekuasaan jatuh ke pihak lain.
Setelah Nabi Sulaiman bertaubat dan Allah swt menerima taubat beliau maka kekuasaan dikembalikan lagi ke tangan Nabi Sulaiman. Salah satu bukti Allah menerima taubat dan mengabulkan doa Nabi Sulaiman adalah diberikannya kendaraan angin sebagai pengganti kuda, supaya perjuangan untuk jihad fi sabilillah semakin mudah.
Hikmah:
Jihad fi sabilillah adalah penting. Dengan berjihad, bendera Islam akan berkibar. Namun, nalar semacam ini salah bila meninggalkan kewajiban agama yang lain, seperti shalat.
Shalat dan jihad adalah sama-sama penting. Meninggalkan salah satunya tidak dibenarkan. Ibadah vertikal tidak dapat ditinggalkan hanya demi mementingkan ibadah horizontal. Ibadah non-politis tidak boleh ditinggalkan hanya demi mengejar ibadah politis.
Shalat dan jihad adalah ibadah yang tidak dapat dikategorisasi, diklasifikasi, diberi atribut-atribut pembeda, sebab keduanya sama-sama ibadah. Yakni, perwujudan atau manifestasi dari beragama. Dengan beragama, manusia harus shalat. Dengan beragama, manusia harus berjihad. Dengan beragama, manusia harus menghadap ke langit. Dengan beragama, manusia harus menghadap ke bumi. Inilah sikap moderat kita.
Sikap yang ekstrim, kita bisa belajar pada sikap Nabi Sulaiman as. Ketika sadar kuda yang sudah dipersiapkan untuk jihad itu melalaikan dari shalat, Nabi Sulaiman menyembelihnya dan membagi-bagikan dagingnya kepada rakyatnya. Sehingga di kemudian hari Allah swt mengganti kuda itu dengan angin sebagai kendaraan perang beliau.
Artinya, alat politik itu penting. Instrumen perjuangan itu penting. Tetapi, jika dalam berpolitik ada nilai Islam lain yang terciderai maka politik tidak dibenarkan, termasuk jihad. Berpolitik seperti berjihad harus sepenuhnya merepresentasikan totalitas nilai Islam. Sebab, berpolitik bukan sarana untuk memperjuangkan Islam. Sebaliknya, berpolitik adalah manifestasi atau pengejewantahan ajaran Islam. Jika dalam berpolitik tidak tercermin nilai Islam maka politik tersebut sudah menyimpang dari perilaku beragama.
Jangan pernah tertipu oleh pandangan kaum humanis parsial, yang mengatakan ibadah sosial jauh lebih penting dari ibadah personal. Seandainya pandangan ini benar maka Nabi Sulaiman adalah figur pertama yang harus dibenarkan, karena kelalaian untuk mengerjakan shalat Ashar sebagai ibadah personal-vertikal disebabkan oleh kesibukannya mengatur persiapan jihad sebagai ibadah sosial-horizontal.
Nah, semua logika ini bisa dibalik oleh kalangan yang pro-humanisme parsial. Selama implementasi kebijakan-kebijakan publik berjalan baik, tanpa korupsi, tanpa kolusi dan nepotisme, maka pribadi-pribadi para implementor kebijakan tidak perlu dipersoalkan. Akhlak personal implementor bukan perkara penting. Yang terpenting adalah kualitas implementasi kebijakan publik.
Logika politik Islam tidak pro-humanisme parsial semacam itu. Politik Islam tidak bicara idealitas tanpa membuka ruang-ruang posibilitas. Bahkan Politik Islam sering masuk ke ranah-ranah posibilitas tersebut. Sehingga membicarakan persoalan humanisme pun dilakukan dari sudut pandang kemungkinan, dan mencarikan strategi untuk menjawab kemungkinan.
Katakanlah semua sistem, aturan, undang-undang, dan mekanisme untuk mengimplementasikan kebijakan sudah jelas dan rigid. Namun, bagaimana jika implementornya (manusia) berkehendak buruk dan berniat korupsi? Logika mana yang bersifat preventif selain nalar keimanan dalam beragama, termasuk Islam?
Sistem, peraturan, perundangan adalah stimulus eksternal. Agama dan keyakinan adalah stimulus internal. Dua perangkat ini harus sama-sama memadai dan terpenuhi. Seseorang butuh aturan tegas menuju kebaikan dan kebenaran. Ia juga butuh keyakinan dan kepercayaan untuk menuju pada kebaikan dan kebenaran. Aturan dan sistem yang tidak diyakini dan tidak dipercayai maka tidak akan menghasilkan tindakan sosial yang ideal dan terarah.
Tindakan sosial lahir dari pergulatan psikologis dengan sistem atau struktur di luar dirinya. Karenanya, moralitas diri dan idealitas sistem atau struktur sama pentingnya. Kepribadian, aturan, dan perundangan sama pentingnya. Dibutuhkan aturan yang baik sekaligus pribadi yang siap taat pada aturan yang baik.
Politik Islam melihat aspek holistik tersebut. Politik Islam Pro-Humanisme Holistik. Karena itulah, mempersiapkan persenjataan untuk jihad adalah penting, karena hal itu adalah aturan dan mekanisme untuk meraih kemenangan dalam perang yang berhasil. Tetapi, mengabaikan shalat Ashar adalah kecelakaan personal, karena hal itu preseden buruk bagi terbentuknya kepribadian yang split atau terbelah.
Bagi seorang pemimpin politik, moralitas personal ini penting diatur. Nabi Sulaiman alaihis sholatu was salamu dijadikan percontohan oleh Allah swt yang abai mengatur akhlak personal orang-orang di lingkaran terdekatnya, seperti istrinya sendiri yang masih melakukan penyembahan pada berhala. Seandainya ketidaktahuan bukan sebuah kesalahan dalam berpolitik, maka Nabi Sulaiman as tidak layak dihukum.
Namun, seorang pemimpin politik tidaklah demikian. Allah swt seakan ingin mengajar manusia bahwa ketidaktahuan seorang pemimpin adalah awal bencana, terlebih bila ketidaktahuan itu terhadap kepribadian dan akhlak personal orang-orang di lingkaran terdekatnya.
Melalui ayat-ayat inilah, kita dapat memahami bahwa memanglah layak sebagian wakil rakyat dijebloskan ke dalam penjara sekalipun dirinya tidak melakukan korupsi, misalnya. Tetapi, ia terjebak oleh permainan politik orang-orang di lingkarannya sendiri.
Sangatlah rasional seorang pemimpin dihukum karena membuat kebijakan-kebijakan yang meleset lantaran berdasarkan pada input informasi-informasi yang salah oleh lingkaran terdekatnya sendiri. Sebab, ketidaktahuan pemimpin atas karakter, kepribadian, personalitas orang-orang terdekatnya adalah kesalahan.
Hari ini kita menyaksikan dua jenis korupsi: dilakukan sendiri, dan terjebak dalam permainan orang lain walaupun dirinya tidak terlibat. Ibarat pepatah: tidak ikut makan nangka, tapi kena getahnya. Kena getah tanpa ikut makan itu tercermin pada figur Nabi Sulaiman as, yang tidak sadar bahwa istrinya sendiri bukan muslimah tetapi masih beragama pagan dan melakukan praktik paganisme di dalam keraton Nabi Sulaiman. Intinya: ketidaktahuan pemimpin politik adalah kesalahan.
Wallahu a'lam bis shawab.
*) Imam Nawawi, lahir di Sumenep 1989. Sempat belajar di beberapa pondok pesantren seperti PP. Assubki Mandala Sumenep, PP. Nasyatul Muta'allimin Gapura Timur Sumenep, PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep, PP. Hasyim Asy'ari Bantul Yogyakarta, PK. Baitul Kilmah Bantul Yogyakarta, PP. Kaliopak Bantul Yogyakarta, dan PP. Al-Qodir Sleman Yogyakarta. Kini sedang menempuh pendidikan jenjang S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
http://sastra-indonesia.com/2020/08/dua-kecelakaan-nabi-sulaiman-as-dalam-berpolitik/
No comments:
Post a Comment