Friday, August 7, 2020

DUA KECELAKAAN NABI SULAIMAN AS DALAM BERPOLITIK

Imam Nawawi *

Opini ini adalah inti sari tafsir al-Quran Jalalain tentang ayat 30-35 surat Shad. Sebelumnya, saya ingin menegaskan satu prinsip utama: berpolitik tidak untuk membela agama. Tapi berpolitik untuk menjalankan agama.

Nabi Sulaiman alaihis shalatu was salamu dijadikan percontohan oleh Allah, betapa keinginan berjihad melawan musuh-musuh Islam tidak dapat dibenarkan jika mengabaikan perintah agama yang lain, seperti mengerjakan shalat Ashar.

Saking sibuknya ngurusi kuda-kuda perang yang berjumlah 900 ekor itu, yang dilakukan pengecekan sejak Dhuhur sampai Maghrib, membuat Nabi Sulaiman as lupa shalat Ashar. Ini kecelakaan pertama.

Kecelakaan kedua, Nabi Sulaiman alaihis shalatu was salamu tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang istrinya sendiri yang bernama Aminah, yang ternyata seorang Paganis dan bukan Muslim. Sehingga di dalam lingkungan keraton Nabi Sulaiman terdapat praktik penyembahan berhala tanpa sepengetahuan Nabi Sulaiman.

Hukuman dari Allah subhanahu wa ta'ala atas Nabi Sulaiman alaihis sholatu was salamu sangatlah berat, yakni sanksi sosial berupa pengingkaran rakyatnya atas beliau. Kekuasaan sempat jatuh ke tangan pihak lain.

Dalam sudut pandang mistis, pihak yang merebut kuasa dari Nabi Sulaiman adalah Jin, dan rakyat menolak Nabi Sulaiman lantaran Allah swt mengubah wajah Nabi Sulaiman menjadi wajah orang asing. Spirit kisahnya sama aja: kekuasaan jatuh ke pihak lain.

Setelah Nabi Sulaiman bertaubat dan Allah swt menerima taubat beliau maka kekuasaan dikembalikan lagi ke tangan Nabi Sulaiman. Salah satu bukti Allah menerima taubat dan mengabulkan doa Nabi Sulaiman adalah diberikannya kendaraan angin sebagai pengganti kuda, supaya perjuangan untuk jihad fi sabilillah semakin mudah.

Hikmah:

Jihad fi sabilillah adalah penting. Dengan berjihad, bendera Islam akan berkibar. Namun, nalar semacam ini salah bila meninggalkan kewajiban agama yang lain, seperti shalat.

Shalat dan jihad adalah sama-sama penting. Meninggalkan salah satunya tidak dibenarkan. Ibadah vertikal tidak dapat ditinggalkan hanya demi mementingkan ibadah horizontal. Ibadah non-politis tidak boleh ditinggalkan hanya demi mengejar ibadah politis.

Shalat dan jihad adalah ibadah yang tidak dapat dikategorisasi, diklasifikasi, diberi atribut-atribut pembeda, sebab keduanya sama-sama ibadah. Yakni, perwujudan atau manifestasi dari beragama. Dengan beragama, manusia harus shalat. Dengan beragama, manusia harus berjihad. Dengan beragama, manusia harus menghadap ke langit. Dengan beragama, manusia harus menghadap ke bumi. Inilah sikap moderat kita.

Sikap yang ekstrim, kita bisa belajar pada sikap Nabi Sulaiman as. Ketika sadar kuda yang sudah dipersiapkan untuk jihad itu melalaikan dari shalat, Nabi Sulaiman menyembelihnya dan membagi-bagikan dagingnya kepada rakyatnya. Sehingga di kemudian hari Allah swt mengganti kuda itu dengan angin sebagai kendaraan perang beliau.

Artinya, alat politik itu penting. Instrumen perjuangan itu penting. Tetapi, jika dalam berpolitik ada nilai Islam lain yang terciderai maka politik tidak dibenarkan, termasuk jihad. Berpolitik seperti berjihad harus sepenuhnya merepresentasikan totalitas nilai Islam. Sebab, berpolitik bukan sarana untuk memperjuangkan Islam. Sebaliknya, berpolitik adalah manifestasi atau pengejewantahan ajaran Islam. Jika dalam berpolitik tidak tercermin nilai Islam maka politik tersebut sudah menyimpang dari perilaku beragama.

Jangan pernah tertipu oleh pandangan kaum humanis parsial, yang mengatakan ibadah sosial jauh lebih penting dari ibadah personal. Seandainya pandangan ini benar maka Nabi Sulaiman adalah figur pertama yang harus dibenarkan, karena kelalaian untuk mengerjakan shalat Ashar sebagai ibadah personal-vertikal disebabkan oleh kesibukannya mengatur persiapan jihad sebagai ibadah sosial-horizontal.

Nah, semua logika ini bisa dibalik oleh kalangan yang pro-humanisme parsial. Selama implementasi kebijakan-kebijakan publik berjalan baik, tanpa korupsi, tanpa kolusi dan nepotisme, maka pribadi-pribadi para implementor kebijakan tidak perlu dipersoalkan. Akhlak personal implementor bukan perkara penting. Yang terpenting adalah kualitas implementasi kebijakan publik.

Logika politik Islam tidak pro-humanisme parsial semacam itu. Politik Islam tidak bicara idealitas tanpa membuka ruang-ruang posibilitas. Bahkan Politik Islam sering masuk ke ranah-ranah posibilitas tersebut. Sehingga membicarakan persoalan humanisme pun dilakukan dari sudut pandang kemungkinan, dan mencarikan strategi untuk menjawab kemungkinan.

Katakanlah semua sistem, aturan, undang-undang, dan mekanisme untuk mengimplementasikan kebijakan sudah jelas dan rigid. Namun, bagaimana jika implementornya (manusia) berkehendak buruk dan berniat korupsi? Logika mana yang bersifat preventif selain nalar keimanan dalam beragama, termasuk Islam?

Sistem, peraturan, perundangan adalah stimulus eksternal. Agama dan keyakinan adalah stimulus internal. Dua perangkat ini harus sama-sama memadai dan terpenuhi. Seseorang butuh aturan tegas menuju kebaikan dan kebenaran. Ia juga butuh keyakinan dan kepercayaan untuk menuju pada kebaikan dan kebenaran. Aturan dan sistem yang tidak diyakini dan tidak dipercayai maka tidak akan menghasilkan tindakan sosial yang ideal dan terarah.

Tindakan sosial lahir dari pergulatan psikologis dengan sistem atau struktur di luar dirinya. Karenanya, moralitas diri dan idealitas sistem atau struktur sama pentingnya. Kepribadian, aturan, dan perundangan sama pentingnya. Dibutuhkan aturan yang baik sekaligus pribadi yang siap taat pada aturan yang baik.

Politik Islam melihat aspek holistik tersebut. Politik Islam Pro-Humanisme Holistik. Karena itulah, mempersiapkan persenjataan untuk jihad adalah penting, karena hal itu adalah aturan dan mekanisme untuk meraih kemenangan dalam perang yang berhasil. Tetapi, mengabaikan shalat Ashar adalah kecelakaan personal, karena hal itu preseden buruk bagi terbentuknya kepribadian yang split atau terbelah.

Bagi seorang pemimpin politik, moralitas personal ini penting diatur. Nabi Sulaiman alaihis sholatu was salamu dijadikan percontohan oleh Allah swt yang abai mengatur akhlak personal orang-orang di lingkaran terdekatnya, seperti istrinya sendiri yang masih melakukan penyembahan pada berhala. Seandainya ketidaktahuan bukan sebuah kesalahan dalam berpolitik, maka Nabi Sulaiman as tidak layak dihukum.

Namun, seorang pemimpin politik tidaklah demikian. Allah swt seakan ingin mengajar manusia bahwa ketidaktahuan seorang pemimpin adalah awal bencana, terlebih bila ketidaktahuan itu terhadap kepribadian dan akhlak personal orang-orang di lingkaran terdekatnya.

Melalui ayat-ayat inilah, kita dapat memahami bahwa memanglah layak sebagian wakil rakyat dijebloskan ke dalam penjara sekalipun dirinya tidak melakukan korupsi, misalnya. Tetapi, ia terjebak oleh permainan politik orang-orang di lingkarannya sendiri.

Sangatlah rasional seorang pemimpin dihukum karena membuat kebijakan-kebijakan yang meleset lantaran berdasarkan pada input informasi-informasi yang salah oleh lingkaran terdekatnya sendiri. Sebab, ketidaktahuan pemimpin atas karakter, kepribadian, personalitas orang-orang terdekatnya adalah kesalahan.

Hari ini kita menyaksikan dua jenis korupsi: dilakukan sendiri, dan terjebak dalam permainan orang lain walaupun dirinya tidak terlibat. Ibarat pepatah: tidak ikut makan nangka, tapi kena getahnya. Kena getah tanpa ikut makan itu tercermin pada figur Nabi Sulaiman as, yang tidak sadar bahwa istrinya sendiri bukan muslimah tetapi masih beragama pagan dan melakukan praktik paganisme di dalam keraton Nabi Sulaiman. Intinya: ketidaktahuan pemimpin politik adalah kesalahan.

Wallahu a'lam bis shawab.

*) Imam Nawawi, lahir di Sumenep 1989. Sempat belajar di beberapa pondok pesantren seperti PP. Assubki Mandala Sumenep, PP. Nasyatul Muta'allimin Gapura Timur Sumenep, PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep, PP. Hasyim Asy'ari Bantul Yogyakarta, PK. Baitul Kilmah Bantul Yogyakarta, PP. Kaliopak Bantul Yogyakarta, dan PP. Al-Qodir Sleman Yogyakarta. Kini sedang menempuh pendidikan jenjang S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

http://sastra-indonesia.com/2020/08/dua-kecelakaan-nabi-sulaiman-as-dalam-berpolitik/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar