Fariz al-Nizar
Dalam nomenklatur filsafat ilmu, Jujun Suryasumantri memberikan ilustrasi menarik, sebuah ilustrasi unik tentang "segitiga cinta" yang disimbolkan oleh kebudayaan, ilmu dan tekhnologi di pihak lain, dalam uraiannya Jujun menjelaskan bahwa pada dasarnya segitiga yang melatarbelakangi simbiosis antara ketiganya adalah dikarenakan cakupan yang satu lebih luas dari yang lainnya,
secara herarkis Jujun menyebutkan bahwa kebudayaan melahirkan ilmu dan ilmu pada gilirannya nanti anak beranak-pinak yang kelak di sebut dengan teknologi (Jujun Suryasumantri: 2004) tapi yang pelu dititik tekankan dalam tulisan kali ini adalah tentang kebudayaan yang erat kaitannya dengan karya sastra.Karya sastra lazimnya karya-karya yang lain sering kali lahirnya dilatarbelakangi oleh satu peristiwa yang misalnya menimpa sang sastrawan, baik itu berupa pengalaman pribadi atau lainnya atau selain itu biasanya karya sastra sering terlahir dikaranakan lebih sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem kebudayaan yang ada. Ambil contoh sang novelis legendaris Marah Rusli, dia mengarang novel monumental-setidaknya di mata orang pribumi- yang berjudul Siti Nurbaya adalah lebih dikarenakan sebagai bentuk perlawan terhadap sistem kebudayaan yang mengakar pada waktu itu yaitu budaya kawin paksa.
Dalam hal ini, karya sastra atau lebih spesifiknya buku dapat dijadikan media paling efektif untuk meng-counter hegemoni-hegemoni distorsi yang terjadi, contoh sebagaimana di atas, bisa dijadikan bahan rujukan atau bahkan bisa dijadikan sebagai representasi dari keberhasilan karya sastra -yang berbentuk buku lebih spesifiknya- dalam melawan tradisi-tradisi yang dirasa kurang memihak. Tradisi asal yang dipresentasikan melalui sosok Datuk Marinnggih yang tua Bangka, bopeng-bopeng dan buruk hati ditemukan atau dilawankan lebih tepatnya dengan sosok Syamsul Bachri yang tampan, gagah, terpelajar, penuh kobaran cinta asmara serta kesediaan untuk berkorban.
Dan pada akhirnya bisa ditebak, Pembacapun tersayat hatinya, merasa iba pada Syamsul Bachri yang dianiaya oleh tradisi sehingga tak urung dia harus patah hati, tapi yang menarik di sini adalah dikarenakan saking ibanya pembacapun seakan melupakan penghianatan Syamsul Bachri yang ikut penjajah dan memerangi kampungnya sendiri.(Agus R. Sarjono: 1999).
Syamsul Bachri telah membius pembaca, sehingga secara emosional kita semua seakan-akan tak pernah mempedulikan penghianatannya, justru yang menjadi public enemy adalah Datuk Maringgih yang merupakan simbolisasi dari budaya lokal. Hamparan karya sastra yang dipenuhi dengan tema menghujat tradisi lewat representasi yang dekat dengan hati dan khazanah pengalaman kaum muda yaitu kawin paksa terbukti mampu membabat habis kebudayaan tersebut. Dan sampai sekarang kenyataan di lapangan membuktikan bahwa hampir praktik-praktik kebudayaan semacam kawin paksa sudah tidak ditemukan lagi.
Contoh lain yang dianggap dan layak disebut sebagai fenomena karya sastra yang dibukukan adalah novel tetralogi yang di tulis oleh Andrea Hirata, sang novelis handal yang namanya dielu-elukan oleh banyak orang dikarenakan kepiawaiannya dalam merangkai kata-kata, beriamjinasi serta bermetafor ria. Bahkan Nicola Horner seorang jurnalis dari London tak segan-segan menyebutnya sebagai seniman kata-kata.
Novel pertama Andrea Hirata yang berjudul Laskar Pelangi telah berkembang bukan hanya sebagai bacaan sastra saja, melainkan lebih dari itu novel tersebut banyak dijadikan referensi ilmiah, atau bahkan banyak dijadikan sebagai bahan skripsi atau bahkan tesis. Sebagaiman yang disinggung dalam epilog tentang tetralogi Laskar Pelangi. Tak pelak karya sastra pada titik ini mampu menembus lebih jauh dari hanya sekedar sebagai karya sastra. (Andrea Hirata: 2008).
Lebih jauh lagi, karya sastra -yang berbentuk buku tentunya- belakangan ini dirasa sangat sukses dalam menembus premis-premis sensitif atas pemahaman ajaran atau doktrin-doktrin agama. Dalam hal ini novel Ayat-Ayat Cinta tentunya dapat dijadikan sebagai representator atas keberhasilan tersebut, bisa kita lihat piawainya Habibirrahman El-Syirazi dalam membius ibu-ibu yang tadinya sangat anti dengan yang namanya poligami menjadi sangat setuju, setuju atau minimal mebuat mereka-mereka para ibu-ibu mau untuk berfikir lagi, poligami bukan hanya pemenuhan syahwat tapi lebih dari itu poligami adalah lebih kepada pengorbanan, ketulusan serta keihlasan begitu kira-kira yang ingin disampaikan oleh Kang Ibik (sapaan akrab Habiburrahman El-Syirazi).
Tak pelak lagi, mereka yang pada awalnya sangat menolak praktik poligami yang katanya tidak adil, merekapun akhirnya setikdaknya mau untuk membuka hati untuk berdiskusi berbicara dengan tenang hati mengenai poligami. Dalam hal ini apresiasi penuh bisa kita alamatkan pada para sastrawan-sastrawan yang dengan gigih melawan praktik-praktik tak sehat di negeri ini, karena menurut W.S Rendra hanya para jagoan saja yang mapu menerobos, melawan tatanan masyarakat semacam itu (W.S. Rendra: 1997).
Oleh karena itu setidaknya kita tentunya mengharapkan sastrawan-sastrawan kita untuk lebih gigih dan produktif untuk melawan kebudayaan-kebudayaan yang tak sehat sebagaimana di atas. Dan perlu diingat pada tulisan ini pembahasan kita lebih kita kerucutkan pada karya sastra yang berbentuk buku, jika kita mau melebarkan ke beberapa karya sastra yang lain mungkin sudah berapa banyak karya sastra yang menjadi lokomotif penentang praktik-praktik ketidakadilan mulai dari puisi balsem-nyanya Gus Mus, Sarimin-nya Butet Kartaredjasa sampai dengan gossip jalanan-nya Slank yang menggegerkan senayan semuanya adalah karya-karya yang membangkang praktik ketidak sehatan.
Perlawanan lewat tulisan telah terbukti lebih efektif dibandingkan dengan perlawanan dalam bentuk yang lainnya, misalnya demontrasi bengak-bengok pinggir dalan, karena dalam tulisan ada sesuatu yang lain yang tidak pernah kita temukan pada bentuk perlawanan-perlawanan yang lainnya. Maka mari kita menulis sebagai bentuk perlawanan!
***
http://sastra-indonesia.com/2009/02/buku-sebagai-bentuk-perlawanan/
No comments:
Post a Comment