Pada Bola Matamu, Gadis Rembulan
Tak kutahu darimana datangmu
hai, gadis rembulan. Tiba-tiba saja,
di antara sesap senyap malam, kutemukan dirimu.
Pada bola matamu kulihat cinta
bermekaran bagai kupu-kupu kuning kemilau, menyeruak,
menyilaukan mata, mata hatiku. Oh, gadis rembulan
inikah lagi yang namanya cinta yang kau tuangkan
ke dalam cangkir dan gelas-gelas dahaga hidupku?
Uh? tak kutahu mengapa aku jatuh lagi begini,
gadis rembulan dari mana datangmu, seketika saja
kau tikamkan cinta masa darah mebara
dan ingin kumiliki kau, meski hanya dalam jarak dan angka,
seperti katamu, meski kutahu lapis lampau hidupku,
menjauhkanku dari cintamu, tapi kan kutempuh, kan kurajam,
meski hanya sepi jua yang mewakiliku merasuk
hingga ke ranjang tidur dan jagamu.
Sayang, inilah kerapuhanku, hingga aku bertanya
: mungkinkah engkau ceceran tulang igaiku
yang berserak di surga dahulu dan kini tertambat padaku?
Datanglah sayang! datanglah, kan kureguk cinta bersamamu.
Lihatlah, aku gila lagi, aku kanak lagi.
Solo-Jogja, 18 Mey 2006
Jalanku Pulang
Aku pulang, kutinggalkan kotamu yang mandi cahaya,
lalu kutuju kampung dan halaman rumahku
yang gulita.
Tak kutahu harus berkata dan menjawab apa
terhadap waktu yang telah melumat
segala kisah dan kenangan.
Sayang, terimakasih atas segala api cita dan cinta
yang menyembur dari bola matamu.
Biarlah kubawa pulang, bersama segala resah
dan rinduku
hingga ke dalam bilik-bilik hidupku yang paling sunyi
melebihi kesunyian itu sendiri.
Masih terus menggema di telingaku,
ketika bibir manismu berucap:
Sayang jadilah hujan, pada kemarau batinku, yang meranggaskan
pohon-pohon pinus dan cemara, menumbuhkan bunga mawar
dan melati wangi
yang harum semerbaknya menikam hingga ke palung-palung dadaku,
dan kutahu, kaulah yang di sana sedang menantiku
dalam bahasa cintamu yang tak putus, tak habis, tak terkikis.
Jakarta-Yogya, Juni 2006
Ke Tanah Tunggara
telah kutemui kau dalam mimpi
hari-hari menjadi kusam, malam-malam menjadi ranum
menanti rindu kan terbayarkan
ke Tanah Tunggara, menapak tanah-tanah berdebu
remuk runyam penantian sepi-menepi
tetapi rindu dan cinta tak jua terbayarkan
menerawang hari-hari yang hampa
menerjang rintangan kabut dan segala goda
menelanjangi segala kebekuan diri
meredam keganasan hari-hari dan malam
agar tak menghancur-leburkan kehidupan
maka kutemui kau di ujung malam
saat kabut mulai turun menyapu wajah para kekasih
aku tiba melumat kota-kotamu, kutenggak hingga
segala hausku terbayarkan. Namun tiba-tiba aku ingin muntah,
kulihat wajah-wajah kalah menatapku dari dada-dada tipis papan,
tempat mereka bercengkrama dan bersembunyi dari ganas para pemangsa
sungguh mereka terkalahkan, namun kutahu merekalah penyangga negeri ini.
Tanpa mereka bumi ini akan rapuh dan hancur berkeping-keping.
Tuhan, jangan catatkan kehadiranku di sini, lantaran tak kutahu,
dengan apa mesti kubayar segala yang kusaksikan, tetapi kutertawakan.
Pasangkayu (Vova Sanggayu), Mei 07
http://sastra-indonesia.com/2010/04/puisi-puisi-bustan-basir-maras/
Tak kutahu darimana datangmu
hai, gadis rembulan. Tiba-tiba saja,
di antara sesap senyap malam, kutemukan dirimu.
Pada bola matamu kulihat cinta
bermekaran bagai kupu-kupu kuning kemilau, menyeruak,
menyilaukan mata, mata hatiku. Oh, gadis rembulan
inikah lagi yang namanya cinta yang kau tuangkan
ke dalam cangkir dan gelas-gelas dahaga hidupku?
Uh? tak kutahu mengapa aku jatuh lagi begini,
gadis rembulan dari mana datangmu, seketika saja
kau tikamkan cinta masa darah mebara
dan ingin kumiliki kau, meski hanya dalam jarak dan angka,
seperti katamu, meski kutahu lapis lampau hidupku,
menjauhkanku dari cintamu, tapi kan kutempuh, kan kurajam,
meski hanya sepi jua yang mewakiliku merasuk
hingga ke ranjang tidur dan jagamu.
Sayang, inilah kerapuhanku, hingga aku bertanya
: mungkinkah engkau ceceran tulang igaiku
yang berserak di surga dahulu dan kini tertambat padaku?
Datanglah sayang! datanglah, kan kureguk cinta bersamamu.
Lihatlah, aku gila lagi, aku kanak lagi.
Solo-Jogja, 18 Mey 2006
Jalanku Pulang
Aku pulang, kutinggalkan kotamu yang mandi cahaya,
lalu kutuju kampung dan halaman rumahku
yang gulita.
Tak kutahu harus berkata dan menjawab apa
terhadap waktu yang telah melumat
segala kisah dan kenangan.
Sayang, terimakasih atas segala api cita dan cinta
yang menyembur dari bola matamu.
Biarlah kubawa pulang, bersama segala resah
dan rinduku
hingga ke dalam bilik-bilik hidupku yang paling sunyi
melebihi kesunyian itu sendiri.
Masih terus menggema di telingaku,
ketika bibir manismu berucap:
Sayang jadilah hujan, pada kemarau batinku, yang meranggaskan
pohon-pohon pinus dan cemara, menumbuhkan bunga mawar
dan melati wangi
yang harum semerbaknya menikam hingga ke palung-palung dadaku,
dan kutahu, kaulah yang di sana sedang menantiku
dalam bahasa cintamu yang tak putus, tak habis, tak terkikis.
Jakarta-Yogya, Juni 2006
Ke Tanah Tunggara
telah kutemui kau dalam mimpi
hari-hari menjadi kusam, malam-malam menjadi ranum
menanti rindu kan terbayarkan
ke Tanah Tunggara, menapak tanah-tanah berdebu
remuk runyam penantian sepi-menepi
tetapi rindu dan cinta tak jua terbayarkan
menerawang hari-hari yang hampa
menerjang rintangan kabut dan segala goda
menelanjangi segala kebekuan diri
meredam keganasan hari-hari dan malam
agar tak menghancur-leburkan kehidupan
maka kutemui kau di ujung malam
saat kabut mulai turun menyapu wajah para kekasih
aku tiba melumat kota-kotamu, kutenggak hingga
segala hausku terbayarkan. Namun tiba-tiba aku ingin muntah,
kulihat wajah-wajah kalah menatapku dari dada-dada tipis papan,
tempat mereka bercengkrama dan bersembunyi dari ganas para pemangsa
sungguh mereka terkalahkan, namun kutahu merekalah penyangga negeri ini.
Tanpa mereka bumi ini akan rapuh dan hancur berkeping-keping.
Tuhan, jangan catatkan kehadiranku di sini, lantaran tak kutahu,
dengan apa mesti kubayar segala yang kusaksikan, tetapi kutertawakan.
Pasangkayu (Vova Sanggayu), Mei 07
http://sastra-indonesia.com/2010/04/puisi-puisi-bustan-basir-maras/
No comments:
Post a Comment