Friday, July 31, 2020

Perempuan-Perempuan

Ana Mustamin *
Media Indonesia, 13 April 2014

1/
TELEPON genggam itu bergetar lagi. Dan untuk ke sekian kali, ia meraihnya dengan perasaan rawan.

“Ya?” Telinganya menguping lebih tajam. “Sa… saya akan bicara dengan Ibu!”

Suara dengan timbre kasar menghardik. Membuatnya seperti terjengkang.

“Se… sebelum jam sembilan!” Meski tergeragap, ia berusaha meyakinkan. 

Telepon di seberang ditutup. Ia meletakkan benda itu dengan hati-hati di atas meja dapur. Hatinya lungkrah.

Ini telepon ketiga sejak ia menunaikan salat subuh tadi. Jika ia boleh memilih, ia tidak ingin memiliki telepon genggam. Ia tahu, tidak seorang pun yang akan menghubunginya melalui benda kecil itu, kecuali lelaki itu. Lelaki dengan racun di kepalanya.

“Anakmu harus membayar uang sekolah!” begitu biasanya ia memulai.

Padahal, pekan lalu, ia mengirim uang ke kampung.

“Itu SPP. Yang ini uang buku!”

Bisa akhir bulan padahal.

“Harus hari ini. Kalau enggak, anakmu akan dikeluarkan dari sekolah!”

“Tapi…”

“Hei! Kalau ndak bisa cari biaya sekolah, suruh anak itu ngamen saja. Jadi kuli. Buruh tani. Jangan sok-sokan jadi anak sekolahan!” Lalu telepon dibanting.

Menyisakan pedih yang melolong panjang di lorong hatinya.

Ia mengusap dadanya. Sambil menarik napas, tangannya mulai menyiapkan minum dan sarapan. Tapi kali ini pikirannya bercabang-cabang. Kepalanyaberisik. Suara-suara berseliweran danbertalu. Ngamen saja! Jadi kuli! Buruh tani! Kalimat itu terus menggedor-gedor. Berkelindan dengan suara dan rupa putranya. Sungguh, anaknya tidak boleh mengulang jejak bapaknya yang preman kampung. Ia mau mempertaruhkan apa pun demi keinginannya menisik hari depan yang lebih baik. Bukankah ia pernah merelakan diri menjauh ribuan mil, melewatkan hari dengan mimpi buruk yang mengerikan, hanya untuk sebuah keinginan sederhana: menyekolahkan anak.

Dan laki-laki itu! Laki-laki yang ditakdirkan menjadi bapak, namun tak pernah jera menjadikan anaknya sebagai tameng untuk memeras keringatnya. Perempuan itu mendadak pening. Kepalanya kian berisik. Sekujur tubuhnya seperti ditusuk-tusuk benda tajam. Dan punggungnya, oh, ia kembali merasakan nyeri. Ketika kulit yang tipis itu mulai mengelupas, menyisakan kawah yang menganga perih.

“Mbak… mbak…,” ia mendengar suara cemas si ibu.

Ia merasa kepalanya tersedot ke dalam kotak televisi di sudut dapur. Ia mendengar suara mendengung, hiruk-pikuk, makian, dan umpatan dalam bahasa yang sebagian besar tidak dia pahami. Lalu sebuah wajah berputar bagai gasing: perempuan bercadar yang rajin membenturkan kepalanya di tembok, menyetrika punggungnya, dan menyekapnya berjam-jam di kamar mandi.

Lidahnya kelu, suaranya tercekat. Padahal, ia ingin berteriak. Jenak berikutnya, ia merasakan semuanya berputar, berpusar. Menenggelamkannyake lubang hitam. Sumur tanpa dasar.

2/
“Mbak masih trauma!”

Lelaki di hadapannya menatap lunak, mendengarnya penuh perhatian. Tangannya sibuk mengencangkan ikat dasi.

“Suaminya juga terus memerasnya. Mbak minjam uang lagi untuk dikirim ke kampung.”

Lelaki itu masih terdiam. Tapi perempuan itu tahu, suaminya sedang mencerna kalimatnya satu per satu.

“Saya masih harus membawanya terapi hari ini!”

Ia lantas termangu, membayangkan rupa kuyu yang sedang terbaring di kamar belakang.

Perempuan yang dipanggilnya si Mbak itu resmi menjadi bagian dari keluarganya sejak enam bulan lalu. Ia jatuh iba. Ini kasus terparah yang pernah ditanganinya. Ia memperjuangkan kasus ini melalui proses panjang dan berliku, dengan cara diam-diam. Karena harus meminjam mulut suaminya.

Meski mengeram di rumah, sejatinya ia perempuan yang bekerja sungguh-sungguh di malam-malam lengang.

Mengumpulkan data, mengolah, dan menyusunnya menjadi sejumlah rekomendasi. Ia seperti menanam biji harapan di sebuah kota yang asing, dengan pemerintah yang hanya bisa mabuk, dan penduduk yang ingin memberontak tapi tak berdaya. Sebuah kota purba. Setiap pagi saat terbangun, ia mengumpulkan potongan puzzle nasib sejumlah perempuan. Perempuan yang rela mengembara ke negeri jauh, dengan mimpi mengangkasa, namun kemudian jatuh berdebum sebelum akhirnya terperosok dalam labirin hitam dan sunyi, nyaris tanpa ujung.

Tahun ini ia mencatat puluhan kasus tenaga kerja perempuan yang mengalami kekerasan di berbagai negara. Kasus terkini ialah seorang perempuan yang harus mengakhiri hidup dengan cara meloncat dari jendela apartemennya.

“Ia mengalami kekerasan seksual dari majikannya,” kata pewarta di TV. Bagi banyak orang, berita itu mirip sarapan. Tak mengirimkan daya kejut. Tapi tidak baginya. Tetap saja hatinya serasa terbentur-bentur.

“Papa jadi meeting dengan Menteri Tenaga Kerja? Data dan agenda yang papa butuhkan sudah saya susun,” Ia menyodorkan komputer tablet. “Termasuk Komnas Perempuan. Khusus kasus Thailand, masih saya dalami. Siang nanti saya kirim ke e-mail Papa…”

Laki-laki itu menyudahi sarapannya. Lalu mencium ubun-ubunnya. Panjang dan dalam. Sebelum akhirnya berbisik pamit. “Terima kasih, Sayang. Papa berangkat….”

Ia mengantar sampai mobil yang menelan tubuh suaminya menghilang dari pandangan. Perasaannya masih hangat. Pikirannya hangat. Selalu hangat.

Ia ingat, dulu ia menemukan lelaki itu sebagai sesama aktivis di kampus. Lelaki berwajah sejuk, namun sangat hemat suara. Awalnya, lelaki itu membangun karier sebagai arsitek, sebelum akhirnya mengikuti jejak kakeknya jadi politikus.

Ia mendukung. Termasuk memilih menyurutkan diri dari lingkaran aktivis perempuan. Ia menggunakan bekal ijazahnya tentang studi gender untuk membuat lelakinya bersinar sebagai legislator, anggota dewan yang bukan hanya bersih dari segala tindak korupsi, tapi juga dikenal vokal terhadap nasib perempuan. Mengingat semuanya, ia tak henti bersyukur. Kebahagiaannya paripurna. Kalau saja semua perempuan seberuntung dirinya….

3/
Malam merangkak tergesa. Tak ada bintang yang mampir di jendela kaca. Hanya sinar yang membias dari berbagai gedung jangkung di sekitarnya. Ia baru selesai menyeduh kopi ketika menangkap suara yang begitu akrab di telinganya.

Suara yang membuatnya meloncat meraih remote control TV, membesarkan volume. Tubuhnya yang mungil pun serasa ikut mengembang di sofa.

Ia sungguh tidak ingin melewatkan pemandangan indah di depannya. Pemandangan yang, entah kenapa, senantiasa membuat dadanya berdenyar. Lelaki itu seolah menyimpan magnet pada seluruh permukaan wajahnya. Suaranya yang magis mengkritisi langkah diplomasi pemerintah yang dinilainya lemah. Intonasinya tenang, tegas, dan dalam. Dan yang lebih penting, ia selalu bicara sistematis di hadapan wartawan, dengan data dan analisis yang komprehensif. Dan, demi Tuhan, mengapa laki-laki pintar selalu membuat perasaannya meleleh? “Saya belum bisa membuat kesimpulan final,” suara itu terekam ratusan mikrofon wartawan…. “Saya akan berangkat ke Bangkok besok untuk menggali informasi yang lebih lengkap….”

Ia terlonjak. Bangkok? Besok? Ia melenguh. Waktu melesat seperti pembalap Formula One. Kepalanya yang sibuk, kerap tidak bisa mengejar peristiwa. Pekan lalu, semua stasiun TV menyoal kekerasan yang menimpa tenaga kerja perempuan di Hong Kong. Kemarin di Arab Saudi, dan malam ini di Bangkok. Perempuan-perempuan malang, keluhnya.

Tiba-tiba ada sekelebat cemas. Ia meraih telepon, dan tak sabar mengirim pesan pendek. Sesuatu sedang mendesak-desak di dadanya. Tak bisa menunggu. Tidak seperti lampu merkuri yang sabar menerangi malam, bahkan ketika malam berkhianat dengan pesta kembang api. Butuh sekitar 30 menit bagi lelaki itu untuk mencapai apartemennya di lantai 27. Ketika daun pintu terkuak, ia tak sabar untuk tidak melompat ke pelukannya. Dadanya gemuruh.

“Aku memastikan diri untuk mencalonkan diri kembali!” Itu kabar pertama yang dibawa tamunya.

Perempuan itu tersenyum ringan. Lelaki itu sudah mantap untuk maju kembali di pemilu legislatif. “Kenapa enggak korupsi seperti yang lainnya?” Suaranya menggoda.

“Hanya jika kamu izinkan,” suaranya merajuk. “Mereka memilihku dengan satu alasan: aku tidak membiayai kampanye dari hasil korupsi.”

Ah, percakapan yang menjemukan. Padahal, waktu mereka tidak banyak. Dan ia sedang tidak ingin menyusul ke Bangkok.

“Atau, aku harus berhenti….”

Perempuan itu meletakkan jemarinya yang lembut di mulut lelaki itu. “Bisakah kita bicara sesuatu yang lebih menyenangkan?” Napasnya yang halus mulai memburu. Bukankah ia selalu mempersetankan berapa pun cek yang harus ia tanda tangani untuk memuluskan jalan lelakinya ke gedung parlemen? “Aku kangen….”

Dan si suara magis itu, seperti biasa, tahu betul kapan harus diam. Di apartemen itu, ia selalu lebih suka membiarkan mulutnya tersesat pada bibir dan sepasang bulu mata di depannya, pada tubuh mungil di balik gaun tipis yang meringkuk di sofa. Lalu merelakan setiap yang berdetak merajai waktu: jam dinding, denyut jantung, dan aliran darah yang menderas membuncah. Di saat seperti itu, waktu berhenti. Meski di luar jendela, udara menyusut.
***

_______________________
*) Ana Mustamin, saat ini CEO Maraja Communications, CEO Insurance TV dan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Majalah Sastra & Gaya Hidup MAJAS. Pernah menjabat Direktur SDM dan Umum Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, Direktur Eksekutif DPLK Bumiputera, CEO Dharma Bumiputera Foundation yang mengelola STIE Dharma Bumiputera dan Bumiputera Training Center; Kepala Departemen Komunikasi Korporat AJB Bumiputera 1912, dan dosen pada Universitas Prof Dr. Moestopo (Beragama) dan Universitas Paramadina, Jakarta  Selain aktif mengajar di berbagai perguruan tinggi, ia juga dikenal sebagai pembicara publik di bidang Komunikasi.
Menyelesaikan pendidikan akademis di FISIP Jurusan Komunikasi  Universitas Hasanuddin, serta Magister Manajemen Komunikasi Universitas Indonesia, dan pendidikan profesi di Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia. Ana juga saat ini masih aktif sebagai pengurus Dewan Asuransi Indonesia, Ketua Umum KUPASI (Komunitas Penulis Asuransi Indonesia), dan pernah aktif di berbagai organisasi di antaranya pernah di BPP (Badan Pengurus Pusat) Perhumas, International Public Relations Association, KKU Global, ISKI, dan Asosasi Penulis Cerita (Anita).
Sebelum berkecimpung di bidang asuransi, Ana adalah penyiar radio, dan dikenal sebagai cerpenis.  Ia menulis di media massa pertama kali saat duduk di bangku kelas 5 SD. Dan meski memulai sebagai penulis fiksi, ia termasuk penulis dengan rentang jelajah kepenulisan yang lebar –  baik ragam maupun medianya. Dari puisi, cerpen, novelet, esei, hingga artikel by line. Dari majalah remaja Gadis hingga Harian Kompas. Ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Proteksi (Media Asuransi), menjadi kolumnis tetap Harian Pedoman Rakyat, Majalah Proteksi  dan Majalah Infobank. Sebagian cerpen dan puisinya terhimpun dalam buku “Tukang Bunga & Burung Gagak” (2010), “Kitab Radja & Ratoe Alit” (2011), “Hati Perempuan” (2011), “Cinta Gugat” (2013), “Graveside Ritual” (2015), “Perempuan-perempuan” (2016), “Arus Deras” (2018), dan beberapa buku lainnya. Ia juga dikenal sebagai editor sejumlah buku.

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar