Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Thursday, July 23, 2020
Kritikus Adinan Budi Darma Rasa Kafka
Sigit Susanto *
Budi Darma menulis kumpulan cerita berjudul Kritikus Adinan. Seperti pada karya lain Orang-Orang Bloomington, tokoh-tokohnya selalu berwatak aneh dan konyol seperti orang sakit jiwa.
Kritikus Adinan sejak dari awal diceritakan kedatangan seorang tamu. Ditekankan oleh Budi Darma, pengarangnya bahwa yang `menarik` kedatangan tamu itu pada cara tamu itu masuk pekarangan dengan membunyikan bel sepeda berkali-kali.
Dari narasi `membunyikan bel` ini orang bisa jadi teringat pada novel Proses karya Franz Kafka, tokoh Josef K di saat bangun tidur, karena lapar menunggu sarapan paginya, maka ia `membunyikan bel.` Bedanya saat bel berbunyi itu Kafka tidak menuliskan deskripsi sebagai sesuatu yang menarik. Sebaliknya Budi Darma menekankan dalam deskripsinya, bahwa kedatangan tamu itu tak ada yang menarik dari ujung rambut sampai sandalnya. Yang dianggap `menarik` yakni cara tamu itu memasuki pekarangan dengan membunyikan bel sepeda berkali-kali bahkan tak mau turun.
Kafka menuliskan deskripsi rekonstruksi kamar Felice Bauer yang diacak-acak petugas pengadilan. Ketika Josef K hendak menjelaskan secara kronologis, Felice menolak dengan mengatakan, “Aku tak memerlukan pengantar.“
Kalau aku amati teks-teks Kafka terutama pembuka prosanya, kebanyakan langsung menohok ke tengah kejadian. Misal, pada Metamorfosis: “Suatu pagi Gregor Samsa bangun dari mimpi buruknya, dan ia dapati tubuhnya sudah berubah menjadi kecoak raksasa,“ atau pada novel Proses, “Seseorang pasti telah memfitnah Josef K, sebab pada suatu pagi ia ditangkap tanpa melakukan kejahatan.“
Kafka sepertinya sengaja tak akan memberitahu pembaca dengan narasi. Mungkin dimaksudkan, biarlah pembaca merasakan sendiri sensasi atau getaran kejadian dan menyimpulkan dalam narasinya sendiri. Menurutku, kisah-kisah pada karya Kafka cenderung seperti adegan-adegan drama yang dinamis. Budi Darma sebaliknya, ia memakai `pengantar`…tidak ada yang menarik pada tamu itu-…`kecuali ` caranya bertamu….
Tentu saja itu pilihan bebas sang pengarang. Aku hanya akan membandingkan dengan budaya Indonesia yang mungkin lebih suka memberi pengantar dalam sebuah percakapan baru. Tradisi ini menjalar ke dalam penulisan fiksi.
Tamu itu menunjukkan keanehan lagi, yakni tak mau turun dari atas sepeda, sambil mengeluarkan surat perintah dari pengadilan dari belakang baju dadanya. Semakin tampak sudah, aroma Kafka muncul, karena Josef K juga didatangi oleh pegawai pengadilan di apartemennya.
Kritikus Adinan tak percaya, kalau surat perintah dari pengadilan itu asli. Terjadilah dialog alot saling mengklaim keaslian surat tugas itu. Budi Darma lihai menangkap gesture sang pembawa surat yang lama dipandangi oleh Kritikus Adinan. Sebab pada novel Proses-nya Kafka, setiap tokoh hampir dipastikan sedang bermain drama. Deskripsi Kafka tentang Josef K tidak dijelaskan dalam narasi, namun dalam tingkah laku dan gesture langsung.
Budi Darma menemukan simbol pengadilan. Pada Proses, simbol pengadilan juga muncul pada lukisan seorang hakim agung memakai emblem di seragamnya. Lukisan itu menggantung di dapur pengacara bernama Huld. Josef K sambil bercengkerama dengan Leni si pembantu advokat juga mengamati lukisan itu dengan detil.
Jika pada Proses, petugas pengadilan mempersilakan Josef K `bekerja`, sebaliknya pada cerpen ini, Kritikus Adinan yang berkehendak sendiri akan berangkat `kerja.` Yang jelas niat bekerja itu tetap ada, walau dalam proses penangkapan.
Nuansa pengadilan yang digambarkan oleh Kritikus Adinan sangat menyerupai tempat Josef K disidangkan. Jika Budi Darma menyebut, Kritikus Adinan sudah sampai di depan rumah. Rumah itu tampak `kuno, besar dan gelap.` Pada Proses, rumah itu terletak di pinggiran kota yang belum pernah K datangi. Alamatnya di Jalan Julius. Rumah-rumah `tinggi berwarna abu-abu`,…`semua jendela penuh orang`. Budi Darma sebut, yang kadang-kadang disela-sela oleh `jendela-jendela tertutup.`
Kritikus Adinan berhenti menempelkan kupingnya bergantian kiri dan kanan di daun pintu gedung pengadilan. Pada Proses, Josef K tidak menguping di ruang sidang, tetapi di kamar Fraulein Büsrner, karena ketika mereka melakuan peragaan di malam hari, keponakan induk semang apartemen mengetuk dinding kamar, karena terganggu. Tapi Josef K dan Fraulein Bürstner hanya kaget, tak sampai menempelkan kuping mereka ke dinding.
Kritikus Adinan sebut, sebentar untuk melihat `petunjuk` yang tertera di atas tembok. Kafka sebut, K akan mengenali rumah yang akan dipakai untuk tempat sidang, karena ada `petunjuknya`.
Kritikus Adinan `duduk di atas kursi rotan, satu-satunya kursi yang tersedia di situ. Kursi itu agak miring dan bertambah miring ketika ia duduk di atasnya.` Pada Proses berbeda. Josef berada di podium tidak duduk. Tetapi ada deskripsi saat Josef membuka buku di ruang sidang yang kosong itu, ….`seorang laki-laki dan perempuan duduk telanjang di sebuah kursi panjang.`
Budi Darma menggambarkan Kritikus Adinan sering teringat ibunya, juga wejangan kesabaran dari ibunya. Juga punggung Kritikus Adinan terasa ada yang mengilik-ilik dengan lidi dari dalam kamar. Kedua mengingat ibu dan dikilik-kilik lidi itu tidak terdapat sama sekali pada novel Proses.
Tentang Kritikus Adinan yang merasa lapar kemudian ia ke `warung makan.` Nah, sampai di sini ada kisah Josef K yang saat dalam tahanan dibelikan makanan oleh penjaga dari `warung seberang jalan,` karena jatah makan Josef K dihabiskan si penjaga.
Cuma Budi Darma lebih mengembangkan dengan nuansa menu makanan yang amat jorok. Digambarkan bahwa nasinya sudah kedaluwarsa yang hampir busuk dan dagingnya dari bangkai dan bau nanah.
Fantasi Budi Darma memang out of the box, istilah zaman now, ia menggambarkan makanan yang serba busuk dari bangkai. Günter Grass pernah punya deskripsi keluarga Oscar Matzerath makan belut yang ditangkap dari lubang telinga kepala binatang yang membusuk di laut. Mohon penggemar sastra wangi, minggir dulu. Sejatinya apa yang digambarkan Budi Darma memang tidak mewakili kehidupan yang riil, melainkan penuh simbol.
Tapi Kafka yang dikenal suka membelok di tikungan cerita dengan amat surealis, ia tak pernah mendeskripsikan sajian yang menjijikkan. Samsa yang sudah menjadi kecoak saja, paling jauh disebut, bahwa ia lebih suka keju yang basi, susu yang tidak segar, karena naluri binatangnya lebih kuat.
Kesamaan lain Kritikus Adinan dan Josef K sama-sama `terlambat datang` di ruang sidang. Bedanya Josef K berargumen, meskipun terlambat toh akhirnya sudah tiba. Sedang Kritikus Adinan menjawab, sebenarnya sudah datang satu jam sebelumnya, cuma belum masuk ruangan karena perutnya berbunyi.
Suasana di sidang yang dibangun Budi Darma juga mirip dengan Kafka, yaitu ada orang-orang aneh yang berkelompok serta hadirnya pembantu pengadilan yang membantu Kritikus Adinan maupun Josef K.
Sidang harus ditunda, karena saksi belum datang, untuk itu Kritikus Adinan disuruh pulang dan 2 jam lagi harus datang. Sidang Josef K ditunda, bukan karena tak ada saksi, tapi plaidoyer Josef K sendiri yang ketus dan berani, ia tinggalkan sendiri sidang yang aneh itu.
Satu kebiasaan yang disebut berulang-ulang untuk sosok Kritikus Adinan ini adalah bahwa ia sebagai orang yang tidak mau berbuat ramai-ramai. Ia sangat taat wejangan almarhum ibunya. Pada Josef K memang mirip sosok Kafka sendiri yang melankolis, namun dalam berbagai interaksinya Josef K seorang yang sangat pemberani dan ketus.
Barangkali Budi Darma memotret Kritikus Adinan dari sosok Kafka yang sesungguhnya. Sebab Gustav Janouch, sahabat Kafka menuliskan dalam bukunya Percakapan dengan Kafka (Gespräch mit Kafka), memang Kafka lebih digambarkan sebagai orang yang mengalah, tidak mau ramai-ramai dan tidak seberani sosok Josef K.
Ada lagi pernyataan pemilik warung yang identik dengan Proses. Pemilik warung bilang, orang-orang yang dipanggil ke pengadilan adalah orang-orang yang jujur. Pada Proses disebutkan, bahwa biasanya para terdakwa itu sangat perasa dan mudah tersinggung.
Latar yang dibangun Budi Darma sepertinya berada di Indonesia, karena digambarkan di bawah terik matahari dan suara cecak sering diceritakan sebagai mitos. Sebab Kafka sering menggambarkan lanskap alam di musim dingin yang mencekam atau kabut tebal. Juga cecak sangat jarang atau bahkan tak ada di rumah-rumah orang Eropa.
Ketika Kritikus Adinan makan di warung, pembantu pengadilan datang tak lupa membunyikan bel sepeda lagi, guna mengantar surat panggilan untuk sidang yang sempat tertunda.
Pada sidang terjadi dialog konyol mempermasalahkan status Adinan yang dijuluki orang sebagai kritikus. Adinan sendiri tak tahu, tapi ia pastikan bahwa ia sering menulis kritik, sebab itu baik orang yang pernah baca kritiknya maupun yang belum baca memberi julukan Kritikus Adinan. Perguncingan nalar status `kritik` ini memang cukup kritis.
Sidang dinyatakan ditunda sampai lusa. Di sini peran pembantu tampak dominan dalam sidang. Pada Proses, peran istri pembantu yang lebih menyolok dan lebih personal.
Di saat Kritikus Adinan keluar dari ruang sidang itu, pembantu menggebrakkan daun pintu dengan kasar. Sebaliknya pada Proses, justru Josef K sendiri yang mengumpat ke hakim pemerika, kalian gombal.
Ketika Kritikus Adinan keluar dari ruang sidang, ia melangkah masuk ke arah kanan dan menemukan seorang perempuan bernama Rohani. Perempuan itu merasa kesepian sehingga, ia meminta Kritikus Adinan duduk di sampingnya. Nyaris, suasananya mirip pada Proses, ketika Josef K masuk ruang sidang yang pertama, ternyata kosong dan bertemu dengan istri pembantu pengadilan. Pembantu pengadilan itu membeberkan cerita penting, bahwa hakim pemeriksa sering lembur menulis berita acara. Sering kali hakim pemeriksa meminjam lampu dari tempat tidur pembantu pengadilan. Dan pembantu pengadilan itu kemudian meminta Josef untuk duduk di sebelahnya.
Yang membedakan, bahwa ruang sidang ala Budi Darma adalah satu bangunan loteng yang ditempati warga, termasuk perempuan bernama Rohani ini, sedang pada Proses, bahwa ruang tamu pembantu pengadilan itulah yang dipakai ruang sidang, hanya memindahkan perabotnya. Jika tak ada sidang, perabot dikembalikan layaknya ruang tamu keluarga.
Lagi-lagi Budi Darma memakai estetika jorok dalam menggambarkan sosok perempuan bernama Rohani ini. Ia yang kulitnya hitam, `tubuhnya berpunuk,` mirip leher sapi, giginya besar-besar dan kuning dan masih ditambah bau mulutnya seperti bau bangkai tikus.
Khusus `tubuh perempuan berpunuk` ini ada tokoh yang mirip dalam Proses, yakni salah satu murid yang suka melukis dari pelukis nyentrik Titorelli. Memang `gadis berpunuk` itu sering mengganggu Josef K.
Sampai di sini peristiwa yang nuansanya mirip dengan Proses berakhir. Selanjutnya fantasi liar Budi Darma sendiri yang tak ada kaitan dengan Proses.
Tokoh Kritikus Adinan mulai mendengarkan wangsit dari langit, supaya dirinya pulang. Sesampai di rumah ia kembali melanjutkan menulis. Digambarkan bahwa sosok Kritikus Adinan tak pernah keluar rumah setelah matahari terbenam. Ia anak yang taat perintah ibunya.
Di rumah ia membaca setumpuk surat dan ada 3 surat penting. Pertama, ia mendapat tawaran pergi ke luar negeri, untuk pengobatan bisulnya yang sudah akut. Kedua, ada tawaran dari orang lain untuk menggantikan posisinya, jika dirinya harus mendekam di penjara. Ketiga, tawaran dari penerbit untuk menerbitkan naskahnya.
Di tengah kantuknya ia sembarangan saja mengambil sebuah buku dari belakang bantalnya. Ia buka sesukanya saja, terbuka di halaman terjemahan puisi karya Coleridge. Disebutkan pada halaman itu, Kubla Khan memerintahkan rakyatnya untuk membuat istana dengan atap bulat. Istana itu harus di pinggir kali yang mengalir ke laut. Istana itu harus megah dan dibentengi tembok melingkar pada sebuah tanah tinggi yang subur.
Usai membaca itu seolah Ibunya hadir di benaknya menyanyikan lagu Bukit Abora. Ia berangan akan membangunkan istana beratap bulat di langit sana seperti dalam puisi terjemahan itu.
Kegiatan Kritikus Adinan sekarang menulis cerita. Ia menghadirkan tokoh bernama Pinto dan orang tua. Dialog-dialognya seperti di hutan tempat Zarathustra Nietzsche. Pinto kesasar di tengah hutan dan minta petunjuk orang tua untuk berjalan ke kiri atau ke kanan. Orang tua itu menyarankan mengambil jalan ke kanan. Di tengah hutan, justru semakin jauh untuk keluar. Ada bisikan dari atas pohon dan Pinto disuruh kembali lagi dan ambil arah kiri.
Cerita berganti, seolah ibunya datang menari dengan rebab tentang Bukit Abora. Terjadi percakapan antara Kritikus Adinan dan ibunya. Tentang harapan sang anak ingin membangun istana beratap bulat di langit lewat nyanyian ibunya. Kemudian tentang anak kecil yang sengsara dan tiba-tiba menjadi raja.
Cerpen berjudul Kritikus Adinan ini ditutup dengan datangnya seorang pemilik penerbitan, seorang laki-laki berpakaian necis. Orang dari penerbit itu mengajak Kritikus Adinan sambil menyambar naskahnya yang buruk untuk menengok kantor penerbit yang menjulang megah.
Zug, Switzerland: 28 September 2018.
http://sastra-indonesia.com/2020/07/kritikus-adinan-budi-darma-rasa-kafka/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment