Teguh Winarsho AS
kr.co.id
DIA melukaiku lagi. Dengan belati. Dia hunjamkan ke dadaku berkali-kali. Aku meradang. Merintih kesakitan. Aku sekarat, hampir mati. Lalu, aku pergi meninggalkan dia. Meninggalkan senyum manisnya yang menipu. Meninggalkan kerling matanya yang tajam ingin membunuhku. Tapi dia terus membuntutiku dengan belati. Aku bingung. Ke mana aku harus sembunyi? Aku sering merasa putus asa dan ingin bunuh diri. Memotong urat nadi. Atau menjerat leher dengan tali.
Bukankah lebih terhormat mati bunuh diri dari pada mati sia-sia ditikam belati? Maka, suatu hari aku membeli seutas tali. Aku berharap seutas tali itu akan mengantarku ke surga. Lalu kutulis surat pendek untuk orang tua dan saudara-saudaraku. Kukatakan pada mereka bahwa aku akan bunuh diri. Maaf, ayah, ibu, kakak, jika selama ini aku pernah berbuat salah pada kalian. Maaf. Maaf. Ini sudah menjadi keputusanku. Jangan pernah menangisi kepergianku. Sebab aku laki-laki terhormat sudah sepantasnya mati dengan cara terhormat pula. Bukan mati di tangan dia.
Seutas tali itu telah kuikat di atas pintu kamar. Pada ujung tali di bawah kubuat simpul lubang sebesar kepalaku. Lubang itu nanti yang akan menjerat leherku. Membuat batang leherku mengisut dan nafasku berhenti. Aku akan terbang jauh. Melayang tinggi. Menembus langit. Awan. Udara. Menuju tempat paling sunyi. Paling tersembunyi. Kini aku tinggal mencari kursi. Kursi yang akan menjadi pijakan terakhir kakiku saat aku memasukkan kepalaku pada simpul lubang tali. Meletakkan simpul tali itu persis di batang leherku. Kursi itu sendiri nanti akan kutendang secepat mungkin, agar hentakkan tubuhku lebih cepat jatuh ke bawah.
Aku mencari-cari kursi. Tapi ternyata tidak mudah menemukan kursi yang cocok untuk bunuh diri. Kuobrak-abrik seluruh rumah. Aku sudah tidak sabar melakukannya. Seperti ada kekuatan gaib yang tiba-tiba merasuk ke dalam tubuhku membuatku begitu terburu-buru. Membuatku seperti orang diluapi birahi. Ah, apakah bunuh diri sama nikmat dengan senggama? Apakah saat nafas meregang satu-satu, rasanya nikmat seperti saat orgasme? Bukankah saat bunuh diri penis kita juga mengeluarkan sperma?
Akhirnya kutemukan kursi di depan meja komputer. Kursi yang selama ini sering kugunakan untuk sembunyi dari kejaran dia. Kursi yang begitu setia menemaniku saat menulis cerita. Kursi butut, jelek, usang, ah, kenapa nasibmu begini tragis? Kenapa nasibmu tak sepadan dengan pengorbananmu? Terima kasih atas pengabdianmu selama ini. Bertahun-tahun lamanya kamu menemaniku. Maaf, nanti kamu akan campak sia-sia. Aku akan menendangmu sekuat tenaga agar kematianku lebih sempurna.
Aku telah bersiap bunuh diri. Aku berdiri di atas kursi. Sedikit pun kakiku tidak gemetar. Wajahku tidak pucat. Tubuhku tidak berkeringat. Aku tinggal mengalungkan simpul tali di leherku. Menendang kursi. Lalu, wuuss... Segala kesengsaraan itu akan lesap. Segala perih luka itu akan musnah. Inilah saat paling indah di mana aku terbebas dari kejaran dia. Tak akan pernah kulihat lagi belati dia menari-nari di wajahku. Aku sudah lebih dulu mati bunuh diri. Mati sebagai laki-laki sejati.
Simpul tali itu telah kukalungkan di leher. Kuat. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Kutarik nafas panjang. Sangat panjang. Inilah tarikan nafasku yang terakhir. Aku berusaha menikmati tarikan nafas ini seperti bayi yang baru lahir. Pada udara yang masuk hidungku, kurasakan geletar hebat di pori-pori kulitku. Lalu, geletar itu merasuk ke dalam tubuhku, berpusar dan bergulung di dalam perut, lalu naik ke atas menghunjam ubun-ubunku.
Aku tinggal menendang kursi tempat kedua kakiku berpijak ketika tiba-tiba dia muncul di depanku dengan belati menari-nari di tangan. "Kenapa kamu mesti bunuh diri, Sayang. Bukankah lebih asyik jika kubunuh perlahan-lahan dengan belati ini. Belati ini masih cukup tajam untuk kulitmu yang jarang tersentuh matahari. Ayo, kita nikmati saja permainan ini berdua. Kupotong tubuhmu sekerat demi sekerat..." Dia bersuara dengan lembut. Tapi aku begitu gugup, melepaskan jerat tali di leherku. Lari ke luar. Menerobos gelap malam.
Aku terus lari. Menerobos semak berduri. Menahan dingin dan rasa nyeri. Tapi malam terlampau gelap. Kabut tiba-tiba turun menghalang pandanganku. Aku tak bisa lari. Aku lelah. Tubuhku terhuyung roboh ke tanah.
***
PAGI. Terhuyung aku pulang ke rumah dengan satu cita-cita untuk bunuh diri. Kali ini aku tak boleh gagal. Ya, ya, aku harus berhasil. Aku akan melakukannya dengan cepat sebelum dia datang menghunjamkan belatinya ke dadaku. Tapi saat masuk ke dalam rumah, kulihat tali yang semalam ingin kugunakan untuk bunuh diri sudah raib. Tentu dia yang mengambil tali itu. Dia tak suka aku bunuh diri. Dia ingin menikmati kematianku dengan belati.
Tak ada tali. Maka kuambil pisau dapur di lemari. Aku ingin bunuh diri dengan cara memotong urat nadi. Ini pekerjaan mudah. Aku sudah sering mengiris roti. Kali ini mengiris urat nadi. Darah segar tentu akan muncrat saat nadiku putus. Aku tidak tahu apakah aku akan langsung mati atau menggelepar-gelepar seperti ikan koki? Aku lebih senang jika langsung mati. Tapi seandainya aku harus menahan sakit, akan kunikmati rasa sakit itu sepenuh hati. Rasa sakit ini tentu hanya sementara sebab aku akan mati. Aku akan kehilangan segala rasa.
Kusandarkan tubuhku di dinding rumah. Dinding rumah itu terasa dingin seperti ujung pisau di tanganku. Aku memejamkan mata sembari berdoa agar kelak aku masuk surga. Usai berdoa, mata kembali kubuka dan kali ini aku benar-benar sudah siap bunuh diri. Perlahan kuangkat pisau itu. Kucium ujungnya, kurasakan ketajamannya lalu kuayun sekuat tenaga: cress! Cress! Darah segar muncrat dari nadiku. Membasahi lantai dan wajahku. Kulihat darah terus mengalir dari nadiku. Warnanya merah. Aku merintih dan menggelepar kesakitan. Aku meronta dan meregang. Lalu, segala yang tampak di mataku perlahan-lahan berubah gelap. Senyap.
***
TEMPAT apa ini namanya? Semua serba putih. Serba wangi. Kulihat puluhan orang mengelilingiku. Menatap iba. Aku lupa siapa mereka. Tapi rasa-rasanya aku pernah akrab. Kuperhatikan wajah-wajah sedih itu satu persatu. Aku menghimpun segala ingatan untuk mengingat nama mereka. Tapi aku benar-benar lupa. Apakah aku sudah mati? Samar telingaku mendengar suara orang membaca kitab suci.
Sejurus kemudian seseorang menghampiriku. Berbisik. "Aku Joni Ariadinata. Ini Satmoko Budi Santoso, Itu Amien Wangsitalaja, Abdul Wachid BS. Nach, yang kurus berdiri di pojok itu, Sri Wintala Achmad. Sebelahnya, Raudal Tanjung Banua, Achmad Muhaimin Azzet, Indra Tranggono, Otto Sukatno CR, Zainal Arifin Thoha, Iman Budhi Santoso, Joko Budhiarto, Jayadi Kastari, Hadjid Hamzah, Handoko Adi Nugroho, Arwan Turi Artha, Mustofa W Hasyim, Arief Fauzi Marzuki, Edi AH Iyubenu, Nurel Javissyarqi, Soegiyono MS, Afrizal Noor Hakim Asrori, Tahta Tanual, Andi Irmawan, Imam Samudra, Amrozi..."
Aku mengangguk-angguk mulai mengenali orang-orang itu. Mereka kawan-kawan terbaikku. Aku kemudian mengalihkan pandangku di sudut lain. Pada sekerumun perempuan berkerudung hitam. Beberapa orang kulihat matanya sembab. Sebagian menitikkan air mata. Lagi-lagi aku seperti pernah mengenal orang-orang itu. Entah di mana. Mungkin dalam sebuah diskusi sastra atau pertunjukan teater. Tapi, ah, kenapa aku lupa nama mereka? Apakah aku sudah mati? Samar telingaku mendengar suara orang membaca kitab suci.
"Kami datang untuk mengantarmu..." Kudengar seorang perempuan bersuara. Lembut. "Aku Evi Idawati. Sebelahku, Aning Ayu Kusuma, Ulfatin Ch, Abidah El Khalieqi, Endang Susanti Rustamadji, Ita Dian Novita, Maya Wulan, Niken Wresniati, Eltsaqofa Najuba Azzahra, Dwi Ifidiati, Inul Daratista, Tamara Blesynski..." Perempuan itu berhenti sejenak. Pandangan matanya menyimpan kesedihan mendalam. Lalu, "Kami semua sangat sedih dan turut berduka cita..."
Ya, ya, kini aku mulai bisa mengenali orang-orang berkerudung hitam itu. Aku ingin bangkit menghampiri mereka. Menyalami mereka. Tapi tidak bisa. Tubuhku benar-benar tidak bertenaga....
Kulonprogo-Depok
kr.co.id
DIA melukaiku lagi. Dengan belati. Dia hunjamkan ke dadaku berkali-kali. Aku meradang. Merintih kesakitan. Aku sekarat, hampir mati. Lalu, aku pergi meninggalkan dia. Meninggalkan senyum manisnya yang menipu. Meninggalkan kerling matanya yang tajam ingin membunuhku. Tapi dia terus membuntutiku dengan belati. Aku bingung. Ke mana aku harus sembunyi? Aku sering merasa putus asa dan ingin bunuh diri. Memotong urat nadi. Atau menjerat leher dengan tali.
Bukankah lebih terhormat mati bunuh diri dari pada mati sia-sia ditikam belati? Maka, suatu hari aku membeli seutas tali. Aku berharap seutas tali itu akan mengantarku ke surga. Lalu kutulis surat pendek untuk orang tua dan saudara-saudaraku. Kukatakan pada mereka bahwa aku akan bunuh diri. Maaf, ayah, ibu, kakak, jika selama ini aku pernah berbuat salah pada kalian. Maaf. Maaf. Ini sudah menjadi keputusanku. Jangan pernah menangisi kepergianku. Sebab aku laki-laki terhormat sudah sepantasnya mati dengan cara terhormat pula. Bukan mati di tangan dia.
Seutas tali itu telah kuikat di atas pintu kamar. Pada ujung tali di bawah kubuat simpul lubang sebesar kepalaku. Lubang itu nanti yang akan menjerat leherku. Membuat batang leherku mengisut dan nafasku berhenti. Aku akan terbang jauh. Melayang tinggi. Menembus langit. Awan. Udara. Menuju tempat paling sunyi. Paling tersembunyi. Kini aku tinggal mencari kursi. Kursi yang akan menjadi pijakan terakhir kakiku saat aku memasukkan kepalaku pada simpul lubang tali. Meletakkan simpul tali itu persis di batang leherku. Kursi itu sendiri nanti akan kutendang secepat mungkin, agar hentakkan tubuhku lebih cepat jatuh ke bawah.
Aku mencari-cari kursi. Tapi ternyata tidak mudah menemukan kursi yang cocok untuk bunuh diri. Kuobrak-abrik seluruh rumah. Aku sudah tidak sabar melakukannya. Seperti ada kekuatan gaib yang tiba-tiba merasuk ke dalam tubuhku membuatku begitu terburu-buru. Membuatku seperti orang diluapi birahi. Ah, apakah bunuh diri sama nikmat dengan senggama? Apakah saat nafas meregang satu-satu, rasanya nikmat seperti saat orgasme? Bukankah saat bunuh diri penis kita juga mengeluarkan sperma?
Akhirnya kutemukan kursi di depan meja komputer. Kursi yang selama ini sering kugunakan untuk sembunyi dari kejaran dia. Kursi yang begitu setia menemaniku saat menulis cerita. Kursi butut, jelek, usang, ah, kenapa nasibmu begini tragis? Kenapa nasibmu tak sepadan dengan pengorbananmu? Terima kasih atas pengabdianmu selama ini. Bertahun-tahun lamanya kamu menemaniku. Maaf, nanti kamu akan campak sia-sia. Aku akan menendangmu sekuat tenaga agar kematianku lebih sempurna.
Aku telah bersiap bunuh diri. Aku berdiri di atas kursi. Sedikit pun kakiku tidak gemetar. Wajahku tidak pucat. Tubuhku tidak berkeringat. Aku tinggal mengalungkan simpul tali di leherku. Menendang kursi. Lalu, wuuss... Segala kesengsaraan itu akan lesap. Segala perih luka itu akan musnah. Inilah saat paling indah di mana aku terbebas dari kejaran dia. Tak akan pernah kulihat lagi belati dia menari-nari di wajahku. Aku sudah lebih dulu mati bunuh diri. Mati sebagai laki-laki sejati.
Simpul tali itu telah kukalungkan di leher. Kuat. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Kutarik nafas panjang. Sangat panjang. Inilah tarikan nafasku yang terakhir. Aku berusaha menikmati tarikan nafas ini seperti bayi yang baru lahir. Pada udara yang masuk hidungku, kurasakan geletar hebat di pori-pori kulitku. Lalu, geletar itu merasuk ke dalam tubuhku, berpusar dan bergulung di dalam perut, lalu naik ke atas menghunjam ubun-ubunku.
Aku tinggal menendang kursi tempat kedua kakiku berpijak ketika tiba-tiba dia muncul di depanku dengan belati menari-nari di tangan. "Kenapa kamu mesti bunuh diri, Sayang. Bukankah lebih asyik jika kubunuh perlahan-lahan dengan belati ini. Belati ini masih cukup tajam untuk kulitmu yang jarang tersentuh matahari. Ayo, kita nikmati saja permainan ini berdua. Kupotong tubuhmu sekerat demi sekerat..." Dia bersuara dengan lembut. Tapi aku begitu gugup, melepaskan jerat tali di leherku. Lari ke luar. Menerobos gelap malam.
Aku terus lari. Menerobos semak berduri. Menahan dingin dan rasa nyeri. Tapi malam terlampau gelap. Kabut tiba-tiba turun menghalang pandanganku. Aku tak bisa lari. Aku lelah. Tubuhku terhuyung roboh ke tanah.
***
PAGI. Terhuyung aku pulang ke rumah dengan satu cita-cita untuk bunuh diri. Kali ini aku tak boleh gagal. Ya, ya, aku harus berhasil. Aku akan melakukannya dengan cepat sebelum dia datang menghunjamkan belatinya ke dadaku. Tapi saat masuk ke dalam rumah, kulihat tali yang semalam ingin kugunakan untuk bunuh diri sudah raib. Tentu dia yang mengambil tali itu. Dia tak suka aku bunuh diri. Dia ingin menikmati kematianku dengan belati.
Tak ada tali. Maka kuambil pisau dapur di lemari. Aku ingin bunuh diri dengan cara memotong urat nadi. Ini pekerjaan mudah. Aku sudah sering mengiris roti. Kali ini mengiris urat nadi. Darah segar tentu akan muncrat saat nadiku putus. Aku tidak tahu apakah aku akan langsung mati atau menggelepar-gelepar seperti ikan koki? Aku lebih senang jika langsung mati. Tapi seandainya aku harus menahan sakit, akan kunikmati rasa sakit itu sepenuh hati. Rasa sakit ini tentu hanya sementara sebab aku akan mati. Aku akan kehilangan segala rasa.
Kusandarkan tubuhku di dinding rumah. Dinding rumah itu terasa dingin seperti ujung pisau di tanganku. Aku memejamkan mata sembari berdoa agar kelak aku masuk surga. Usai berdoa, mata kembali kubuka dan kali ini aku benar-benar sudah siap bunuh diri. Perlahan kuangkat pisau itu. Kucium ujungnya, kurasakan ketajamannya lalu kuayun sekuat tenaga: cress! Cress! Darah segar muncrat dari nadiku. Membasahi lantai dan wajahku. Kulihat darah terus mengalir dari nadiku. Warnanya merah. Aku merintih dan menggelepar kesakitan. Aku meronta dan meregang. Lalu, segala yang tampak di mataku perlahan-lahan berubah gelap. Senyap.
***
TEMPAT apa ini namanya? Semua serba putih. Serba wangi. Kulihat puluhan orang mengelilingiku. Menatap iba. Aku lupa siapa mereka. Tapi rasa-rasanya aku pernah akrab. Kuperhatikan wajah-wajah sedih itu satu persatu. Aku menghimpun segala ingatan untuk mengingat nama mereka. Tapi aku benar-benar lupa. Apakah aku sudah mati? Samar telingaku mendengar suara orang membaca kitab suci.
Sejurus kemudian seseorang menghampiriku. Berbisik. "Aku Joni Ariadinata. Ini Satmoko Budi Santoso, Itu Amien Wangsitalaja, Abdul Wachid BS. Nach, yang kurus berdiri di pojok itu, Sri Wintala Achmad. Sebelahnya, Raudal Tanjung Banua, Achmad Muhaimin Azzet, Indra Tranggono, Otto Sukatno CR, Zainal Arifin Thoha, Iman Budhi Santoso, Joko Budhiarto, Jayadi Kastari, Hadjid Hamzah, Handoko Adi Nugroho, Arwan Turi Artha, Mustofa W Hasyim, Arief Fauzi Marzuki, Edi AH Iyubenu, Nurel Javissyarqi, Soegiyono MS, Afrizal Noor Hakim Asrori, Tahta Tanual, Andi Irmawan, Imam Samudra, Amrozi..."
Aku mengangguk-angguk mulai mengenali orang-orang itu. Mereka kawan-kawan terbaikku. Aku kemudian mengalihkan pandangku di sudut lain. Pada sekerumun perempuan berkerudung hitam. Beberapa orang kulihat matanya sembab. Sebagian menitikkan air mata. Lagi-lagi aku seperti pernah mengenal orang-orang itu. Entah di mana. Mungkin dalam sebuah diskusi sastra atau pertunjukan teater. Tapi, ah, kenapa aku lupa nama mereka? Apakah aku sudah mati? Samar telingaku mendengar suara orang membaca kitab suci.
"Kami datang untuk mengantarmu..." Kudengar seorang perempuan bersuara. Lembut. "Aku Evi Idawati. Sebelahku, Aning Ayu Kusuma, Ulfatin Ch, Abidah El Khalieqi, Endang Susanti Rustamadji, Ita Dian Novita, Maya Wulan, Niken Wresniati, Eltsaqofa Najuba Azzahra, Dwi Ifidiati, Inul Daratista, Tamara Blesynski..." Perempuan itu berhenti sejenak. Pandangan matanya menyimpan kesedihan mendalam. Lalu, "Kami semua sangat sedih dan turut berduka cita..."
Ya, ya, kini aku mulai bisa mengenali orang-orang berkerudung hitam itu. Aku ingin bangkit menghampiri mereka. Menyalami mereka. Tapi tidak bisa. Tubuhku benar-benar tidak bertenaga....
Kulonprogo-Depok
No comments:
Post a Comment