Sebelum Keberangkatan
tubuhmu mengarak anak ombak
meniti beburit, melempar tampar jangkar hingga ceruk
terdalam tempat kau aku ceburkan resah yang membiak
jangan bimbang dan ragu. jangan tunggu sanak
kapal akan segera diberangkatkan menuju seberang
biar sanak-kerabatmu menyelam atau terbang jadi sisifus
barangkali mereka tengah bersiap tinggalkan gubuk-gubuk
tanpa menitikkan keringatnya pada kampung terkurung
jangan tanya ke mana ikan panggang terbuang
keringat sudah lama mengering
surabaya-jogja, 2007
Percakapan Malam
seusai gerimis membasahi alas tidurku dan tidurmu
di tanah pasir, di halaman panjang; kamu aku mengarak waktu
menapaki jalanan setapak menuju pusara
berbau kembang kecubung. bergoyang dan berserak di selembar almanak
lalu, kamu aku menandainya saat langit terkatup kabut.
tapi masih saja, sesuai gerimis, selepas jam dua belas malam
ketika sulur cahaya fajar mekar, kamu-aku lupa busur biosfir,
tanah-tanah basah melembab, halaman berpasir memanjangkan
kisah-kisah keluh letih. tak berkesudahan. memahat
kerut merut wajah kamu-aku yang terjebak oleh mantra akrobat
lihatlah, bulan dan bintang menggantung di antara alis mataku juga matamu,
bias menelusup ke sel darah mendetakkan jantung
sabit bulan meremangi halaman berpasir tempat kamu-aku berbaring
berbagi cerita tentang gerimis, dan matahari yang mulai beringsut ke barat
dari balik awan yang mencipta cuaca kelabu
menjadikan gerimis alpa di selembar almanak yang masih berserak;
di manakah kita berada; mengawali waktu yang keramat
2006-03-29
Selepas Hujan 2
dan langit yang melengkung
membentangkan busur panjang warna-warni
itukah pelangi? bisikmu
gerimis meleleh memanjang di sebalik dinding
dan kemudian rebah; berkecipak di lantai basah
kenapa tidak pada tanah? tanyamu
sebab tanah tak pernah letih
juga bumi, biarlah menggembur
seperti juga daun yang tak pernah gugur
pada tangkai, daun berbisik tentang gemerisik:
bila akar tertebang. adakah angin dijelang?
hujan tak kenal rintang
bumi, juga matahari.
tak pernah khianati janji
jogja 2006
Biarlah Aning Menggelembung
Melayangkan Dedaun Tanpa Menyisakan
Letusan Panjang
diiringi dementing parang pada batang tak berakar
kau bakar akar-akar pohon asam
dan tumbang sebelum musim hujan berakhir
di selangkang waktu, di mana kau selalu menunggu
hari beringsut dari sepotong kabut,
aku masih menunggu, dinda
di bawah lapisan awan purba
di sela kepulan asap yang diruncing angin
kau menggeliat di rusuk kiriku, bergerak menuju masalalu
di mana kau aku merayakan pertemuan
sebelum pohon-pohon asam ditumbangkan
(biarlah udara dikawin angin, menggelembung, melayangkan dedaun
tanpa menyisakan letusan berulang)
kau aku jadi sepotong batang kayu
menyampiri udara di ujung waktu.
Madura, 2005
Gemuruh Ombakkah?
setiap kali aku memandang ke laut
putih buih berkeluh
angin kabarkan kematian
jauh mataku memandang
berlabuh di laut pasang
riak darah dalam tubuh berkecipak
seiring gemuruh dan dementing jantung
kematian terus dikabarkan
terus melintas
2004.
http://sastra-indonesia.com/2009/02/puisi-puisi-mahwi-air-tawar/
No comments:
Post a Comment