Tuesday, August 24, 2021

Pecundang

Remmy Novaris DM
sinarharapan.co.id
 
Isu PHK semakin ramai di pabrik dalam beberapa minggu terakhir ini. Isu itu tentu saja membuat semua karyawan yang bekerja di pabrik itu kehilangan semangat bekerja. Mereka hanya duduk-duduk ngobrol atau bermain kartu. Mereka seolah-olah tidak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan.
 
Dan Tarno, salah seorang karyawan yang bekerja di bagian teknik, mengalami hal yang sama seperti karyawan lainnya. Tapi ia kemudian berpikir, bahwa ia tidak dapat terus menerus seperti itu, karena ia punya tanggung jawab keluarga. Ia tentu saja tidak ingin istri dan anak-anaknya terlantar.
 
Lantas apa yang aku harus lakukan? Pikir Tarno, suatu siang, di sebuah warung di belakang pabrik. Ia baru saja merampungkan makan siangnya. Sesekali ia menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan tiupan panjang. Ia seolah-olah ingin menghembuskan kepengapan yang menyelimuti rongga dadanya. Sementara itu tatapan matanya menerawang ke arah cerobong-cerobong asap pabrik yang menjulang seperti sejumlah jari-jari yang mencoba mencakar langit. Tarno membandingkan kepulan asap rokoknya dengan kepulan asap cerobong pabrik di mana ia bekerja.
 
Samakah dengan kepulan asap dapur ratusan karyawan yang bekerja di dalamnya? Pikir Tarno sekilas. Dan sekilas pula terbayang olehnya sebuah bayangan yang ingin segera ditepisnya. Jika isu PHK itu benar-benar akan dilakukan oleh pihak perusahaan, ia tidak saja membayangkan nasib keluarganya sendiri, tetapi juga seluruh keluarga karyawan yang bekerja di pabrik itu. Ke mana mereka semua akan mencari pekerjaan? Apalagi dalam situasi politik dan ekonomi yang tidak jelas seperti sekarang ini? Apa sebenarnya alasan pihak perusahaan ingin melakukan PHK? Apakah pihak perusahaan tidak sanggup lagi membayar pajak atau ingin melakukan efesiensi pekerjaan? Meningkatkan kecepatan dan kualitas kerja dengan menggantikan tenaga manusia dengan tenaga mesin?
 
Sesaat Tarno menghela napas panjang dan mencoba menepis pertanyaan itu dari benaknya. Ia tidak ingin memikirkan hal itu lebih jauh lagi. Sebab semakin jauh ia memikirkan hal itu, ia semakin merasa harus melakukan sesuatu yang bukan tidak mungkin hanya akan menyeretnya kembali ke masa lalu. Terutama ketika ia menjadi aktivis mahasiswa dan menentang sistem-sistem kekuasaan yang kemudian berakhir di sebuah ruang sempit dan pengap selama beberapa tahun lamanya. Akibatnya, bukan saja ia tidak dapat meneruskan kuliahnya, tapi lebih jauh dari itu ia dipecat dari perguruan tingginya sebagai seorang mahasiswa. Tetapi yang lebih menyakitkan hatinya, ia ternyata dihianati teman-temannya sendiri. Dan temannya itu bukan saja hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi juga sekaligus merebut orang yang paling dicintainya di kampus dan akan segera dinikahinya. Sehingga, begitu ia keluar dari tahanan, ia tidak saja tidak dapat menemui calon istrinya, tetapi juga teman-teman seperjuangannya. Mereka semua ternyata telah berubah pendirian, terutama teman-temannya bukan saja yang mendapatkan jabatan-jabatan penting, tetapi juga yang duduk di bangku-bangku perwakilan rakyat. Mereka semua menjawab bahwa perjuangan mereka saat itu adalah masa lalu dan hanya romantisme kemahasiswaan.
 
Tarno mematikan sisa putung rokoknya di piring bekas makan siangnya dengan sedikit tekanan. Ia seolah-olah ingin menekan seluruh kegetiran yang dialaminya, membayangkan begitu jauh perbedaannya dengan teman-teman seperjuangannya. Ia mundur begitu jauh ke belakang untuk melupakan semua itu. Selepas dari tahanan ia pulang ke desanya di kaki gunung Slamet dan mencoba menjadi petani di sana. Ia mencoba menjadi orang desa dan membiarkan dijodohkan orang tuanya dengan anak gadis Pak Carik. Tetapi Pak Carik mempunyai ambisi tertentu untuk menjadi lurah dan memanfaatkan dirinya sebagai seorang mantan aktivis. Ia diminta oleh Pak Carik untuk melakukan demonstrasi terhadap calon-calon lurah lainnya. Bahkan kalau perlu melakukan berbagai cara untuk menghajar calon-calon lainnya sehingga mereka mau mundur dari pencalonan sebagai calon lurah. Bahkan kalau perlu melakukan tindakan-tindakan fisik dengan membakar sawah ladang mereka sehingga gagal panen. Mendengar semua rencana itu ia kemudian memilih meninggalkan desanya dan kembali ke kota memboyong istri dan anak-anaknya. Ia kemudian kontrak rumah di pinggiran kota di lingkungan industri dengan harapan ia bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah di salah satu pabrik. Apa yang ia harapkan ternyata kemudian terpenuhi. Salah seorang tetangganya yang bekerja sebagai mandor di salah satu pabrik mengajak bekerja di pabriknya. Dan semula ia bekerja di bagian pengepakan, tetapi kemudian ke bagian teknik. Bahkan karena kepeduliannya terhadap teman-teman sekerjanya, beberapa bulan kemudian ia dipercayakan teman-teman sekerjanya sebagai ketua kelompok.
 
Sesaat Tarno menghela napas panjang memikirkan apa yang dialaminya. Ia sungguh merasa cukup tenang bekerja di pabrik itu selama beberapa bulan. Paling tidak ia mulai mendapatkan sedikit harapan untuk membangun masa depan dan keluarganya. Tapi sekarang dengan adanya isu PHK itu, ia merasakan ketenangannya mulai terganggu.
 
“Waduh, Mas Tarno, saya cari-cari ternyata ada di sini.” Hasan, salah seorang teman sekerjanya, menyentak lamunan Tarno. “Ngelamunin apa, Mas?” Hasan berbasa-basi sambil meraih bungkus rokok Tarno yang tergeletak di meja. Ia mengambil sebatang dan menyelipkan pada bibirnya dan menyulutnya.
 
Tarno tidak segera menjawab pertanyaan Hasan. Ia hanya mencoba menduga-duga kabar apa yang akan disampaikan Hasan padanya. Ia sudah hafal betul kebiasaan temannya yang satu ini kalau sudah mencarinya. Ia hanya memberikan isyarat kepada pemilik warung untuk membersihkan mejanya.
 
“Lha, saya duduk, Mas mau pergi.” Hasan merasa kurang enak. “Saya tidak minta ditraktir, kok, Mas,” katanya lagi.
 
“Siapa yang mau traktir kamu dan siapa yang mau pergi,” Tarno menimpali. “Saya cuma ingin meja ini bersih,” sambungnya lagi.
 
“Syukurlah kalau Mas tidak buru-buru. Soalnya saya ingin kasih tahu sama Mas soal isu PHK itu,” kata Hasan dengan nada penuh penekanan.
 
“Kenapa memangnya?” Tarno menimpali agak dingin, meskipun memunculkan rasa ingin tahunya. Paling tidak ia ingin tahu apakah isu itu benar atau tidak.
 
“Ternyata isu itu berkembang lebih jauh lagi. Besok atau lusa seluruh karyawan pabrik akan melancarkan aksi mogok. Dan saya mendukung aksi itu sepenuhnya, Mas.” Hasan menyampaikannya dengan penuh antusias. “Soalnya kalau tidak kita lawan kapitalis-kapitalis itu, Mas? Kapan lagi?”
 
Sesaat Tarno hanya menghela napas panjang mendengarnya. Pengalamannya sebagai seorang aktivis sudah terlalu bosan mendengar bahasa atau istilah slogan seperti itu.
 
“Kenapa, Mas. Mas tidak setuju?” tanya Hasan memperhatikan sikap Tarno.
 
“Bukan tidak setuju?,” sahut Tarno tenang. “Persoalannya apakah kita sudah tahu persis apakah isu itu benar atau tidak. Kedua, apa saja yang jadi tuntutan aksi mogok itu. Ketiga, siapa yang akan memimpin aksi pemogokan itu.” Tarno mengingatkan.
 
“Semuanya sudah Mas. Dan Mas Budi dari bagian transportasi yang akan memimpin kita. Dia orang baru di pabrik ini, tapi pikiran-pikirannya bagus, Mas. Terutama kita menuntut dibentuknya serikat buruh di pabrik ini supaya pihak perusahaan tidak bersikap sewenang-wenang terhadap kita,” kata Hasan masih penuh semangat.
 
“Mas Budi?” tanya Tarno. Nama itu mengingatkannya pada seseorang ketika ia menjadi aktivis. Tapi bukankah banyak orang mempunyai nama yang sama dengan nama itu? Pikir Tarno. Dan ia hanya berharap nama itu bukan nama seseorang yang pernah dikenalnya sebagai seorang aktivis yang menghianatinya.
 
“Memangnya kenapa, Mas?”
 
“Tidak apa-apa?,” kilah Tarno. “Kamu masih mau di sini?” Tarno berdiri dari kursinya dan menghampiri pemilik warung dan membayar apa yang dimakannya tanpa menunggu jawaban Hasan.
***
 
Tarno memperhatikan jam dinding di ruang tamu rumahnya. Sudah pukul sepuluh malam. Isteri dan anak-anaknya sudah tidur pulas. Ia sendiri belum merasa mengantuk. Padahal, biasanya, pada jam-jam seperti itu ia sudah tidur nyenyak. Udara ia rasakan sangat pengap, sepengap pikirnya mengenai aksi pemogokan yang akan dilakukan seluruh karyawan. Ia sama sekali tak menduga bahwa isu PHK itu berkembang begitu cepat. Dan nalurinya sebagai seorang mantan aktivis seolah-olah memberi isyarat padanya, bahwa semua isu mengenai PHK dan pemogokan itu sebuah rekayasa.
 
Gila! Tarno mengumpat sendiri. Bukankah dengan aksi pemogokan itu pihak perusahaan mempunyai alasan untuk melakukan PHK terhadap karyawan yang tidak disiplin. Apalagi di dalam perusaan belum ada persatuan perburuhannya? Pikir Tarno. Pada saat itu juga ia ingin pergi ke rumah Hasan dan memberitahukan hal itu. Tapi ia kemudian ragu, bahwa dalam situasi seperti itu orang terdekat sekalipun sulit dipercayainya. Ya, jangan- jangan Hasan sendiri orang yang terlibat dalam konspirasi itu. Dan ia tentu saja tidak ingin terjebak untuk kesekian kalinya.
 
Lantas apa yang aku harus lakukan? Membiarkan semuanya terjadi? Dan siapa Budi yang dimaksudkan Hasan? Nama itu mengingatkan Tarno pada teman sesama aktivisnya yang ternyata adalah salah seorang anggota intel kepolisian. Tarno baru mengetahui hal itu setelah ia mendekam di dalam tahanan dan Budi menawarkan kerja sama padanya. Jika ia mau bekerja sama dengan pihak kepolisian, maka ia akan dengan cepat dibebaskan. Ia tentu saja menolak karena sudah terlalu banyak rekan-rekan mahasiswa yang menjadi korban. Bukan saja tewas karena peluru aparat, tetapi juga hilang. Akibat dari penolakannya itu, ia dijatuhi hukuman berat dan dituduh subeversif karena melawan sistem kekuasaan. Waktu itu ia pun hanya bisa pasrah, ketika ia dipindahkan dari satu tahanan ke tahanan lainnya, karena bukan tidak mungkin ia akan mengalami hal yang sama seperti rekan-rekan mahasiswa lainnya bahwa ia mungkin akan di bunuh di suatu tempat. Tetapi ia bersyukur hal itu tidak terjadi, karena ia dapat meloloskan diri dan meminta perlindungan dari sebuah lembaga hukum.
 
Pada saat Tarno memikirkan semua itu, Hasan tiba-tiba saja muncul di teras rumahnya.
 
“Mas Tarno? Gudang pabrik dibakar orang!” Hasan mengatakan dengan terpatah-patah di sela-sela napasnya yang memburu.
 
“Yang benar, San?”
 
“Kita lihat ke sana!” desak Hasan.
 
Tarno kemudian mengikuti Hasan menuju ke pabrik melalui pintu gerbang pabrik bagian belakang. Ketika mereka sampai di sana api tampak mulai membakar dinding gudang pabrik.
 
“Pak Krisno dan Pak Uyung ke mana San?” tanya Tarno karena tak melihat kedua Satpam itu.
 
“Saya coba cari mereka ke depan, Mas!” kata Hasan seraya berlari menuju gerbang pabrik bagian depan, meninggalkan Tarno sendiri berusaha memadamkan api.
 
Beberapa saat kemudian Pak Krisno dan Pak Uyung muncul setengah berlari menghampiri Tarno. Kedua satpam itu segera menyergap Tarno yang berusaha memadamkan api.
 
“Kurang ajar kamu!” kedua satpam itu memukuli Tarno.
 
“Saya?” Tarno berusaha menjelaskan persoalan yang sebenarnya, bahwa mereka salah paham, tapi setiap kali ia mencoba membuka mulut, sebuah pukulan menghantam wajahnya. Dan ia berharap Hasan segera muncul dan meredakan amarah kedua satpam, tapi sampai ia tersungkur dan tak mampu berdiri serta matanya mulai kabur, ia tak juga melihat Hasan berada di sekitarnya.
 
“Kita bawa saja ke kantor polisi, Pak!” kata seseorang dan Tarno seperti pernah mengenal suara itu. Suara yang sangat di kenalnya sewaktu menjadi aktivis mahasiswa.
 
Tarno berusaha membuka kelopak matanya yang robek. Meskipun tatapan matanya mulai mengabur, sosok Budi tampak jelas di matanya. Tarno pun seketika sadar, bahwa ia telah masuk dalam sebuah perangkap atau jebakan seperti apa yang dialami sebelumnya. Hanya saja ia tak mengerti, kenapa ia yang selalu diajadikan umpan atau kambing hitam. Dan ia tak tahu sampai kapan ia akan terus menerus dijadikan pecundang.
 
Tarno pun hanya dapat memejamkan matanya menahan sakit di sekujur tubuhnya, ketika ia diseret dan dilemparkan di atas lantai yang dingin di ruang kantor satpam.
 
TBC -Jakarta 2002 http://sastra-indonesia.com/2010/11/pecundang/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar