Sunday, August 15, 2021

NGALOR-NGIDUL TIPIS-TIPIS: BERMULA DARI PRIANGAN SI JELITA

Ramadhan KH, Priangan Si Jelita
 

Raudal Tanjung Banua
 
Sebagaimana Jarot alias Abdullah Sattar, santri tengil asal Alas Abang, yang tergila-gila pada buku tipis puisi Ramadhan KH, Priangan Si Jelita, saya juga sangat menyukai buku tersebut, dan kebetulan kami sama-sama temukan di Perpus SMP (atau sekolah Jawa, versi orang Alas Abang). Bedanya, saya tidak sampai menamainya pada siapa pun seperti Jarot menamai dan menyapa kekasihnya, Istiqomah, dengan  "Priangan Si Jelita"-ku. Namun saya menemukan "buku pendamping" yang juga tak tebal, yakni telaah Si Jelita oleh drs. Jiwa Atmaja, berasal dari skripsi sarjana mudanya, membuat saya ikut senang membaca kritik atau telaah sastra kemudian.
 
Jarot adalah tokoh dalam novel Hubbu karya Mashuri --entah kenapa saya rasa sedikit banyak merepresentasikan penulisnya-- tercatat sebagai pemenang pertama Sayembara Novel DKJ 2006. Sempat disebut-sebut sebagai contoh baik novel polifonik, karena mewadahi suara-suara dan aneka persfektif sekaligus, selain dari tokoh-tokohnya, juga naratornya, atau entah dalam pengertian apalagi terkait makna polifonik yang belum saya pahami.
 
Bagaimana Jarot di Alas Abang, sebuah desa santri di pesisir utara Jawa Timur bisa mendapat bacaan sama dengan seorang remaja Lansano, kampung pesisir di pantai barat Sumatera, yang ratusan km jaraknya? Mungkin hal lumrah karena pada masa buku itu terbit atau menyebar (terbit pertama kali tahun 1956, dan cetakan ketiga yang kemungkinan kami baca terbit tahun 1975), kami sama-sama duduk di bangku tingkat yang sama, sekolah menengah pertama, sementara tahun-tahun itu, seburuk-buruknya sistem pendidikan Orba, mereka masihlah membeli buku-buku sastra untuk disebarkan dengan cap "Milik Negara".
 
Kesamaan ini memang berdasarkan usia, sehingga lumrah pula berbagai dolanan dan benda-benda memorial tak berbeda di satu tempat dengan tempat lain sekalipun berjauhan. Bagaimana misalnya, gambar umbul dan komik-komik atau bungkus rokok menyebar luas menjadi dolanan semerata negeri. Saya baru saja bergabung dengan sebuah grup Nostalgia di facebook dengan ribuan anggota super aktif. Apa diupload anggota di ujung pulau satu, direspon takjub dan haru oleh anggota di ujung pelosok lain karena mereka juga mengalami persis postingan itu. Mereka punya dunia yang sama, dulu. Pun sekarang, misalnya lewat keserentakan fitur-fitur gadget, membuat anak di mana saja mengalami dunia yang sama.
 
Tapi agak mencengangkan, bahwa dalam persentuhan dengan sastra, yang pastilah tak seramai dunia umum nostalgia atau semeriah alur fitur, saya dan Jarot, atau kita untuk menyatakan sedikit yang lain, berbagi bacaan yang sama. Ini layak diapresiasi, ditujukan untuk semua hal yang mendukung "pertemuan" itu (saya misalnya selalu akan mengingat Pak Ben, si guru olahraga yang nyambi kuncen pustaka), termasuk apresiasi bagi diri sendiri. Apalagi jika diingat buku Priangan Si Jelita atau sejumlah buku sastra lain, bukan buku wajib kurikulum seperti buku Ini Budi dan Arman dan Ima saat di SD. Meski dibeli dan disebar oleh Negara, tapi mereka nyaris digeletakkan begitu saja di rak berdebu atau pustaka terkunci.
 
Beruntunglah kita yang bisa menyusup ke peti harta karun bernama pustaka terkunci itu, dan mendapatkan kemilau dan permata kata-kata sebagaimana saya dapatkan juga di Balada Orang-Orang Tercinta, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Orang-Orang Trans, Secercah Kisah Anak Tanah Air, Kubur Terhormat bagi Pelaut atau Sebuah Rumah Nun di Sana, dan Jarot Sattar pasti juga punya temuan permata yang lain.
 
Boleh jadi yang kami baca adalah Priangan Si Jelita cetakan ketiga, 1975, sebab cetakan kedua tahun 1958 kemungkinan masih ejaan lama. Cetakan ketiga itu menandai buku puisi tersebut diambil-alih penerbitannya oleh PT Dunia Pustaka Jaya, terakhir saya punya cetakan kelima 2001, dan sekarang entah sudah cetakan ke berapa.
 
Priangan Si Jelita mendapat Hadiah Sastra Nasional dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) sebagai kumpulan sajak terbaik 1957-1958, hadiah yang juga pernah diterima antara lain oleh Mochtar Lubis, Pram dan Toha Mochtar untuk kategori dan tahun berbeda.
Ada dua hal setidaknya dapat dikomentari dari buku ini. Pertama, dari segi isi, inilah puisi bertema alam yang sangat indah dan menyentuh, dengan kesederhanaan dan kesegaran bahasa ungkap. Sebagaimana judulnya, ia menjelajah tataran Priangan dengan alamnya yang jelita. Kejelitaan itu padan dengan pilihan kata, suasana yang terbangun dan cara mengungkap perasaan, ibarat mendengar tembang Cianjuran. Kadang terasa ia seperti bergumam yang tidak dapat langsung saya artikan secara leksikal seperti "seruling di pasir ipis, jamrut di pucuk-pucuk, gadis dendang di matahari, belati di batu laut, mawar merah disobek di tujuh arah, perawan sendirian disamun di tujuh jalan, sumur segala derita, bersamaan semua berpelukan, sumur segala sayatan penampung tangis bertukaran, dst" tapi dengan irama dan suasana yang kuat-akrab, saya anggap paham saja, ‘eman-eman’ hilang keasyikan.
 
Tapi di sisi lain, ia bisa sangat lugas dan terbuka, tanpa kehilangan kesegarannya, seperti "Pacar! Coklat matamu subur, coklat darah tanah Cianjur; penyair kayu pertama di tumpukan pembakaran; Dara! Takut hanya buat makhluk pengecut; Siapa cinta anak, jangan jual tanah sejengkal, kijang minta pengurbanan tanda kejantanan dst".
 
Meski selintas berbau mooi indie, sesungguhnya puisi di sini amat tragik, keindahan lembah, gunung dan bukit-bukit, berjalinan dengan sakit-derita orang Priangan, menyusup di bawah permukaan, tertanam bak umbian kentang yang mesti digali untuk tahu gunduk kedukaan. Artinya Ramadhan KH tak hanya memotret lanskap alam, juga pergulatan manusia Sunda yang bermukim di atasnya. Baik pergulatan kolegial "Dara sudah lari bersembunyi sejak senja, kota ditikam menyendiri, tengok dataran tanah Priangan, sayang kalau gadis-gadis mesti jadi perawan tua, dst," maupun secara personal, "mau ke mana Nak, singgah cucurkan air mata, membalik tanah seperti neteskan air hujan di mata kedua belah, aku tutup pintu dan jendela untuk tidak tahu lagi derita, dsb."
 
Alhasil dengan memasukkan unsur pergulatan dan derita manusia di atas alam Priangan yang jelita, ironi dan kepedihan mengiris, pula seruling dan kecapi menambah sangsai. Apalagi kalau kita baca sekarang di mana industri dan urbanisasi gencar menggasak tlatar Priangan. Tak heran, Acep Iwan Saidi, misalnya, meminjam dan membelokkannya jadi  Priangan Si Derita.
 
Kedua, ini buku puisi paling tipis yang pernah terbit, 40 halaman sadja, itu pun sudah dengan pengantar "panjang" Ajip Rosidi, 12 halaman. Barangkali ini jadi patokan DKJ mensyaratkan sayembara manuskrip puisi minimal 40 hlm. Puisinya hanya 3 judul sahaja-- Tanah Kelahiran, Dendang Sayang, Pembakaran-- masing-masing dengan hanya 7 sub-penomeran, dan pendek-pendek pula. Total jendral ada 21 sajak.
 
Saya berpikir jangan-jangan karena tipis buku ini jadi mengiris! Meski ini ungkapan gotak-gatuk tapi mungkin saja jika diasumsikan pilihan sajaknya lebih selektif, baik saat hendak diterbitkan maupun saat dituliskan. Tak mudah menerbitkan buku kala itu, sehingga sajak yang diajak bergabung mesti terpilih betul. Dan tak semua hal mesti ditulis jadi puisi, seperti dalam seloroh,"tiap hari kok nulis puisiiii..." atau,"kesandung batu aja ditulis!"
 
Ah, abaikan! Silahkan ajak anak rohani rame-rame gabung di buku sajak, monggo apa-apa jadiin sajak...
 
Yang jelas, dan alhasil memang buku puisi tempo doeloe umumnya tipis-tipis. Selain Priangan yang tertipis, konon Simponi Subagio, bisa jadi paling tipis. Dalam catatan Zen Hae dalam buku esei terbarunya, Simponi pernah terbit di Yogya, 26 hlm, tapi saya punya Buku Harian, 64 hlm dan Simponi Dua, agak tebal, 103.
 
Buku puisi lain juga rata-rata tipis, di antaranya, Puspa Mega - Sanoesi Pane (45 hlm, 34 sajak), Buah Rindu - Amir Hamzah (54 hlm, 28 sajak) dan Tebaran Mega - STA (46 hlm, 38 sajak). Sayang saya tak punya buku awal Chairil, Kerikil-Kerikil Tajam, Deru Campur Debu dan Yang Terempas dan Yang Putus, sehingga tak bisa membandingkan. Punya saya versi Pamusuk, Aku Binatang Jalang, lebih tebal, karena memuat versi asli dan versi revisi. Tapi buku awal Chairil pasti amat tipis dengan hanya 72 puisi asli + 2 sajak saduran.
 
Bandingan periode selanjutnya bisa dilihat Blues untuk Bonnie - Rendra (54 hlm, 13 puisi), Romance Perjalanan I - Kirdjomuljo (42 hlm, 19 puisi),  Buku Puisi - Hartojo Andangdjaja (62 hlm, 36 puisi), Bulan Tertusuk Lalang - D. Zawawi Imron (72 hlm, 57 sajak pendek).
 
Begitu pula buku puisi yang terbit tahun 80-90an seperti Abad yang Berlari - Afrizal Malna, Tamparlah Mukaku - Acep Zamzam Noor, Kita Bersaudara - Tan Lioe Ie, saut kecil bicara dengan tuhan - Saut Situmorang, Pacar Kecilku - Joko Pinurbo, Nyanyian Alamanda - Ulfatin Ch, atau Sangkar Daging - Gus Tf. Ini belum termasuk antologi puisi tipis-tipis terbitan komunitas yang terutama juga marak dalam periode tersebut, dengan tampilan sederhana, jilid stepless, print/kopian/stensilan.
 
Buku puisi yang terbit tebal biasanya sajak kompilasi, selected poems, seperti sajak lengkap Sitor, GM atau Otobigrafi Saut, selain ada edisi 100 sajak pilihan ala Pamusuk. Atau buku puisi setebal kamus, Kerygma & Matyria - Remy dan Tripitikata - Sitok. Selebihnya, di luar alasan tersebut, kenapa buku puisi sekarang cenderung tebal-tebal? Ya, rata-rata di atas 100 hlm. Soal produktifitas? Aksesibilitas? Entahlah.
 
Tapi tetap ada yang terbit tipis seperti Misa Arwah - Dea Anugrah, Kartu Pos dari Banda - Zulkifli Songyanan, Badrul Mustofa 3 x - Heru JP, Baromban - Iyut Fitra atau Cinta tak Pernah Fanatik - Parlan Tjak, rata-rata di atas sedikit 50 atau di bawah 100 hlm.
 
Saya sendiri punya dua buku puisi yang relatif tebal, Gugusan Mata Ibu (xii + 116) dan Api Bawah Tanah (xvi + 160). Saya punya alasan, selain untuk mewadahi sajak-sajak masa produktif yang jumlahnya cukup banyak, juga dengan pertimbangan: nerbitin buku puisi itu punya kesukaran sendiri, baik yang datang dari luar maupun dalam diri. Alhasil, meski punya akses dan kemudahan penerbitan, sampai lebih 20 tahun menyair, baru dua itu saja buku puisi saya.
 
Tak mudah bikin buku puisi, apalagi yang berhasrat abadi, dan bikin banyak orang merindu, bahkan untuk sebuah buku tipis, setipis "seruling di pasir ipis, merdu..." -- yang sampai kini kurindui itu!

15 Agustus 2021 http://sastra-indonesia.com/2021/08/ngalor-ngidul-tipis-tipis-bermula-dari-priangan-si-jelita/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar