Sunday, August 22, 2021

BIBIR YANG SELALU BASAH ITU

---mengenang Budi Darma---
 
Taufiq Wr. Hidayat *
 
Tatkala malam yang dalam, perempuan itu melihat wajahnya pada cermin di ruang tamu. Entah kenapa, dulu ia meletakkan cermin antik itu di ruang tamu. Tidak di kamar. Meja kayu. Kursi kayu. Dan asbak yang dipenuhi puntung rokok putih. Bunga plastik. Ia melihat wajahnya pada sehelai cermin antik yang dibeli seorang laki-laki di sebuah pasar bekas. Dulu. Ketika ia baru saja keluar dari sebuah hotel menuju pulang, bersama laki-laki setengah baya masuk pasar, lalu laki-laki setengah baya itu membelikannya cermin. Di cermin itu, ia memandang bibirnya yang seakan-akan selalu basah. Tanpa dipoles lipstik. Bibir itulah yang membuat laki-laki berbadan jangkung---dengan jakun yang menonjol di lehernya, jatuh hati. Yang selalu berbisik ke telinganya, menyatakan selalu ingin melumatkan bibir itu sampai habis seperti melumatkan roti cokelat sampai lenyap. Tapi ia tak pernah membalas ucapan laki-laki jangkung itu. Laki-laki jangkung yang selalu mendatanginya ketika malam. Yang adalah orang terhormat. Laki-laki yang punya kedudukan terhormat sebagai orang atasan. Dan ia adalah perempuan simpanan. Tinggal di sebuah perumahan yang jauh dari pusat kota besar.
 
Perempuan itu mengenang laki-laki jangkung terhormat. Kebaikannya. Sikapnya yang kebapakan. Serta begitu peduli dengan keadaannya sehari-hari. Memerhatikan makan, tidur, dan vitamin. Ia merasa bagai istrinya yang sah, bukan simpanan. Bukan perempuan kedua. Laki-laki jangkung terhormat selalu datang ke rumahnya bersama sopir. Sopirnya hanya orang biasa yang patuh sepatuh-patuhnya pada sang majikan.
 
“Kelak kau akan mengenangkan aku. Dan saat kau mengenangkan aku, lihatlah cermin itu. Pandanglah wajahmu sendiri, seakan-akan kau memandang wajahku,” kata laki-laki jangkung itu suatu malam. Setelah pergulatan hebat yang melelahkan di atas tempat tidur.
 
Laki-laki kurus jangkung itu punya tiga orang anak. Satu laki, dan dua orang perempuan. Semua gemuk-gemuk. Keluarganya di mata banyak orang, bahagia. Keluarga pejabat kantor pemerintah yang mengurus anggaran belanja. Laki-laki kurus jangkung itu, yang setengah baya, uban, dan berkacamata itu, bagi kalangan moralis adalah koruptor. Meski mereka tak punya bukti-bukti, tapi mereka menduga kuat sekuat-kuatnya. Tentu saja dengan memiliki simpanan, laki-laki kurus jangkung itu sudah termasuk orang bejat dengan dosa yang sangat besar sebesar-besarnya. Namun bagi perempuan berbibir tebal yang selalu basah, laki-laki setengah baya beruban itu adalah malaikat. Bahkan bak seorang pahlawan utusan Tuhan baginya. Meski kemalaikatan laki-laki jangkung itu selalu saja muncul setelah laki-laki itu memberikan sejumlah uang belanja yang begitu tebal bagi perempuan berbibir tebal yang senantiasa basah itu. Entahlah kenapa perempuan berbibir tebal yang selalu basah itu mau kumpul kebo dengan laki-laki terhormat yang usianya lebih tepat sebagai bapak baginya, atau bahkan kakek.
 
Sebagai perempuan simpanan yang masih sangat muda, ia tak bekerja. Pekerjaannya hanya membaca buku setiap pagi, siang, sore, malam. Ia membaca kisah orang bernama “Olenka” yang ganjil, dan “Rafilus” yang seolah-olah nyata. Dua nama yang kekal, yang tak pernah mati meski berkali-kali orang telah mengumumkan kematian keduanya. Menamatkan cerita “Kritikus Adinan” yang berliku. Membaca detil jalan-jalan dan tempat-tempat di kota Surabaya. Juga tertawa-tawa ketika mengikuti cerita “Penyair Besar dan Penyair Kecil”. Atau lari pagi dengan baju yang ketat. Ke pantai. Berbelanja. Menonton tivi. Menggeser-geser layar android. Atau belajar memasak. Semua urusan rumah ditangani pembantu. Meski begitu, perempuan berbibir tebal yang selalu basah dan jarang berkata-kata itu, selalu menyisihkan uang tiap bulan buat kedua orangtuanya di desa jauh. Ia mentransfer uang pada rekening bank kedua orangtuanya di desa jauh. Kedua orangtuanya di desa jauh akan mengambil uang itu dari mesin ATM dengan dibantu Pak RT setempat. Ketika pulang ke desa, perempuan berbibir tebal yang basah selalu itu, selalu membawa oleh-oleh. Hadiah-hadiah buat keponakannya yang masih kecil-kecil, pada tetangga, dan keluarga dekatnya. Orang tak pernah tahu apa pekerjaannya di kota, dan orang juga tidak tahu kalau ia melakukan pekerjaan kotor sebagai simpanan orang pejabat atasan. Karena kebaikannya di kampung dengan hadiah-hadiah, membuat orang tak perlu banyak mempertanyakan atau mempergunjingkannya yang macam-macam.
 
“Sayang sekali, laki-laki jangkung yang baik hati itu telah mati. Dia meninggalkan tiga orang anak, satu istri cantik dan satu simpanan muda. Harta melimpah. Empat mobil mewah, alat-alat musik yang mahal, kuda, dan koleksi sepeda motor antik dan sepeda motor mewah. Rumah megah. Semua dikumpulkannya ketika hidup sebagai kegemaran yang begitu cepat ia lupakan karena mudah bosan. Tak punya kawan karib. Tak pernah ada orang lain yang cocok dengannya. Dan kini semua kekayaan itu dinikmati yang masih hidup. Kenapa orang baik cepat mati? Kenapa orang jahat selalu tak kunjung mati padahal sudah sekarat? Laki-laki baik itu mati terserang tumor otak yang sangat ganas. Tapi meski banyak orang mengira laki-laki itu bejat, bagiku ia baik hati. Setidaknya ia banyak menyelamatkan kehidupan orangtuaku,” ujar perempuan itu.
 
“Untungnya, ia tahu kalau dirinya akan mati. Sehingga ia mewariskan rumah, mobil, dan deposito yang besar sekali buatku. Saya tahu, istri dan anak-anaknya menangisi kehilangannya. Istrinya tidak tahu kalau dia punya simpanan, andai tahu mungkin istrinya itu akan mensyukuri kematiannya dan tertawa-tawa,” katanya lagi.
 
“Untungnya lagi, kasus korupsinya tak terlacak negara. Dan itu keuntungan lain. Sehingga dengan uang yang ia tinggalkan, aku dapat hidup baik-baik sepeninggalnya,” ucap perempuan berbibir selalu basah itu.
 
Itu malam yang aneh. Perempuan yang berbibir selalu basah itu sejak kumpul kebo dengan laki-laki terhormat, sangat jarang berbicara. Kini dia banyak sekali berbicara. Mungkin karena dikuasai alkohol.
 
“Lalu apa keuntunganku?” tanya laki-laki jangkung dengan rambut yang hitam legam, berusia muda, gagah, dan pengangguran itu menyela.
 
“Keuntunganmu adalah menikmati jerih payahnya di rumah ini. Selama kau tetap di sini, dengan setia menggantikannya, bahkan sebelum ia mati terserang tumor otak, kau selalu menggantikannya ketika ia pulang pada istrinya,” jawab perempuan itu. Ia melihat bayangan wajahnya di cermin. Dan ia bagaikan melihat laki-laki jangkung beruban itu menatap wajahnya. Dan malam semakin dikentalkan saja..
 
Tembokrejo, 2021
 
tokoh, cerita, tempat,
dan kejadian dalam cerita ini
seharusnya bukan fiksi.

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/08/bibir-yang-selalu-basah-itu/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar