Thursday, August 26, 2021

BERSIMPUH DI PUSARA KIAI RONGGOWARSITO NGUDARASA SASTRA JAWA KIWARI

Mashuri *
 
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yèn tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada

(Serat Kalatida, Pupuh Sinom, Bait ke-7)

Pada akhirnya, sampai juga saya ke makam KRT Ronggowarsito (1802-1873) di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Klaten, pada 28 September 2018. Yeah, karena dalam kurun waktu lama, saya hanya mampu wira-wiri di jalan Raya Surabaya-Yogyakarta sepanjang 2010-2015 tanpa 'terpanggil' untuk turun dari bus, lalu berziarah ke peristirahatan terakhir raksasa Sastra Jawa tersebut.
 
Siang itu, saya pun memaksa diri untuk turun dari bus Yogya-Solo. Kebetulan saat itu saya barusan ada acara seminar sastra di Yogyakarta dan saya menyampaikan kertas kerja terkait Babad Pacitan. Dari terminal Yogyakarta, saya sudah berhasrat ke makam Ronggowarsito, sehingga saya naik bus rute Yogyakarta-Solo, meskipun leletnya minta ampun. Kalau tidak begini dan naik bus patas jurusan Yogyakarta-Surabaya, saya pasti ogah-ogahan turun, karena keburu tidur.
 
Begitu turun dari bus, sebagaimana biasa, sebelum saya mencari ojek menuju Palar, saya makan dulu di sebelah barat pertigaan jalan, sebuah kedai mie Jawa. Saya ngudap mie godok yang maknyus. Begitu perut kenyang, saya langsung mencari ojek di pangkalannya. Di sana, sudah stand by seorang tukang ojek. Awalnya, saya kira jarak jalan raya dan makam Kiai Ronggowarsito itu dekat, sehingga saya menawar ongkosnya seperti orang memeras cucian baju yang akan dijemur.
 
“Biasa segitu, Mas. Malah, kalau ditambah, saya berterima kasih,” tutur tukang ojek yang sudah berumur, sekitar 50-an tahun, sambil menyalakan motor tua keluaran tahun 1990an.
 
Saya pun langsung melihat isi dompet. Menghitung berbagai peluang, supaya dapat digunakan untuk balik Surabaya naik bus antarkota. Setelah memastikan cukup, ditambah untuk membeli rokok djisamsu plus arem-arem plus tahu goreng di terminal Solo, akhirnya saya pun mengordernya untuk berangkat saja. Mesin motor tua meraung, dan dengan kekencangan yang bikin saya agak ngeri, motor itu melaju ke arah selatan. Namun, di jalan, saya merasa, motor tidak kunjung sampai. Wah, berarti ojeknya murah nih.
 
Benar saja, setelah melampaui beberapa kampung, dan lumayan jauh, ojek berhenti di parkiran makam KRT Ronggowarsito.
 
“Pak, apakah Jenengan bisa menunggu saya?” tukas saya, begitu melihat kondisi makam yang sepi, terlebih tidak ada tukang ojek di sana.
 
“Inggih, Mas!” seru tukang ojek, bungah. Saya membatin, tahu saja dia kalau nanti ongkosnya akan saya tambah.
 
Namun, begitu menginjakkan kaki di sana, saya harus berhadapan dengan beberapa oknum yang mengawal kotak amal. Setelah saya masukkan beberapa lembar seribuan, saya baru dipanggilkan juru kunci. Setelah itu, saya diantar juru kunci makam ke makam Kiai Ronggowarsito, dengan menyatakan, bahwa ‘oknum’ yang di depan itu bukan juru kunci, tetapi dialah yang juru kunci. Bahkan, ia menunjukan kunci secara harfiah, saat ia membuka cungkup makam dengan sebuah kunci lawas. Saya memahaminya.
 
Saya pun masuk bangunan makam dengan arsitektur bergaya indies. Di sana, ada makam induk Kiai Ronggowarsito, dan beberapa makam lainnya. Setelah umik-umik sebentar sambil berdiri, saya pun mengambil beberapa gambar dengan tustel. Lalu, sebagai orang yang sedang menyibukan diri dengan dunia sastra, dan sok sibuk, saya pun bersila di depan pusara pujangga besar tersebut. Saya memilih di bagian tengah pusara, tidak berani di bagian kepala. Biar tidak dianggap kurang adab.
 
Ketika saya bersimpuh di depan jirat Kiai Ronggowarsito, yang terbuat dari marmar dengan epitaf beraksara Jawa, entah kenapa, dalam benak saya, terjadilah dialog imajiner sebagai berikut.
 
"Assalamualaikum, Kiai Bagus Burhan!" sapa saya.
 
"Waalaikum salam!"  jawab pujangga yang bernama aseli Raden Bagus Burhan tersebut.
 
"Saya dari tlatah Jawi Wetan, sedang belajar kabudayan Jawa," kata saya memperkenalkan diri.
 
"Bagus!" jawab pujangga yang pernah menjadi santri Kiai Ageng Kasan Besari di Pesantren Tegalsari Ponorogo tersebut.
 
"Menurut Jenengan, bagaimana perkembangan sastra Jawa era sekarang?" tanya saya, mengambil topik yang sesuai.
 
"Hmmmm. Apakah Susastra Jawa itu masih ada to?!" jawab beliau dengan nada tanya.
 
"Masih, Kiai!"
 
"Siapa sekarang gerangan yang merasa memegang pulung wahyu kapujanggan?" tanya dia.
 
"Modar!" demikian batin saya. Maaf, saya tidak berani meneruskan menulis dialog imajiner saya di status compang-camping ini. Bukan konsumsi publik, karena terlalu pelik. Ehm!
 
Saya pun menyudahi ngudarasa saya, ketika ada seorang pria ditemani dua orang perempuan yang datang berziarah. Yang laki-laki agak tua, sedangkan yang perempuan masih muda. Kedua perempuan agaknya dari jagat modern. Mereka berdua berjeans, meskipun beda usia. Yang muda, rambutnya dicat semipirang. Saya tidak mau menguping apa yang mereka gumamkan di depan pusara, karena sekilas saya mendengar bahwa gumamnya bukan berbahasa Arab, tetapi Jawa.
 
Saya mundur, lalu keluar cungkup. Setelah memberi beberapa ribu rupiah ke juru kunci resmi yang stand by di luar cungkup, saya pun melihat situasi sekitar makam. Saya pun menuju makam Winter, ahli bahasa dan sastra Jawa, asli Londo yang menjadi partner Ronggowarsito semasa hidup. Salah satu karya mereka berdua adalah Kamus Bahasa Belanda—Bahasa Jawa. Saya ke pusara Winter karena ketika tadi melangkah ke makam Ronggowarsito, saya melihatnya sekilas, tetapi saya tidak berhenti di sana dan langsung ke makam Ronggowarsito. Setelah itu, saya pun mengambil gambarnya.
 
Saya kira fenomena ini menarik. Semasa hidup, mereka berpartner dalam berkarya di alam fana. Begitu beralih alam, mereka pun masih berdekatan, meski berposisi berbeda. Kiai Ronggowarsito di dalam bangunan, sedangkan Winter dimakamkan di luar dengan model kuburan Belanda.
 
Pada saat itulah, melesat sebuah puisi sederhana dari alam batin saya, saya beri judul “Geografi Kontradiksi dalam Psike Kita yang Aduhai”. Entah kenapa, saya merasa berziarah ke sana adalah sebuah pendakian bukit. Mungkin karena dalam alam pikir saya, saya mempersepsi kedua sosok itu demikian menjulang dalam olah kebahasaan dan sastra Jawa. Puisi yang aslinya bertarikh 2018 itu saya edit ulang, lalu saya unggah ulang di Fesbuk pada Februari 2021, ketika saya sedang berjalan-jalan di kawasan tempat Ronggowarito nyantri, yaitu di Tegalsari Ponorogo.
 
GEOGRAFI KONTRADIKSI DALAM PSIKE KITA YANG ADUHAI
 
di atas bukit
    di antara rimbun pinus
    padang terbuka
         dan tetanduran paku
         menancap 
kita menatap langit jiwa
    sebagai atap penopang rindu
             ---bernafas bebas
    seperti amsal penciptaan pertama
    atau kelahiran jabang dari gerbang
                                         rahim garba
meski mulut kita tak henti meratap
    seperti pesakitan abadi
    terusir dari sorga
               ---terpenjara luka
    warisan dan sepi
ketika kita menuruni jalan setapak
                  sampai di kaki perbukitan
    kita pun merayap dalam bumi jiwa
           jawa
    melata di atas tanah sebagai takdir
    tak habis-habisnya
                  sambil mendendangkan tembang
    kemolekan rembulan
meskipun bibir kita mendesis
     seperti ular penggoda
                 pada adam-hawa
     menawarkan bisa indah
     tapi mematikan
tapi kita tak mungkin
      bersumpah 'demi waktu', bukan
      sebab pada gunduk tanah,
      rebah kayu
                       kita adalah rayap
      yang setia menghuni ruang gelap
sambil memburu cahaya
       dari sela akar rumput
       yang merindu penghujan
                hingga ajal menjemput
meskipun kita terlalu rutin
       membaptis diri sebagai tuhan
di sudut batin --yang berantakan
 
Palar, 2018/ Ponorogo, 2021
 
Tentu saja, ketika berbicara ihwal Ronggowarsto tidak ada habisnya, meskipun kini yang teringat di benak orang Jawa hanyalah sekelumit. Salah satunya adalah kondisi zaman edan, dengan peringatan eling lan waspada, sebagaimana yang saya nukil di awal ngablak ini. Meskipun tafsir eling dan waspada pun kini popular dengan plesetan, yaitu Eling kepada selingkuhan dan waspada terhadap pasangan. Entah bagaimana awalnya, tafsir ngawur terhadap ungkapan mashur “eling lan waspada” itu kini sedang ngetrend ditulis di berbagai status pesbuk, di belakang bak truk, bahkan di dinding-dinding toilet dan gubuk.
 
Sejatinya, tidak hanya ungkapan eling dan waspada saja yang dinisbatkan pada sosok sastrawan Jawa legendaris tersebut. Yang tak kalah populernya adalah ihwal zaman edan, ratu adil, dan berjuta-juta kearifan, misteri dan hal-ihwal lainnya melekat pada sastrawan yang pernah dianggap sebagai pujangga penutup Jawa tersebut.
 
Hingga kini, sosok ini memang unik dan ambigu. Bahkan, ada sisi-sisi tertentu banyak orang yang belum tahu. Salah satunya bahwa pada masa mudanya, ia dikenal sebagai santri super beling. Pada saat nyantri di Gebangtinatar, alias Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo, pada Kiai Ageng Muhammad Kasan Besari, Ronggowarsito menguji dirinya dengan mengembara dan pergi dari pesantren tanpa berpamitan sang kiai, sebelum akhirnya kembali lagi ke Tegalsari dan menjadi santri yang mumpuni. Ia nyantri di Tegalsari karena ayah dan kakeknya, yaitu Ronggowarsito I, II, dan Yasadipura juga nyantri di sana.

 

Di Tegalsari, masih dapat dilihat jejak-jejaknya. Sebuah rumah panggung, alias pondokan, di depan Masjid Agung Tegalsari dan di samping Dalem Ageng adalah saksi bisu ngalab ilmu dan ngelmu dari sang pujangga. Begitu pula keberadaan sebuah batu besar di pinggir kali Tegalsari yang merupakan tempat Sang Pujangga olah rasa, dengan cara mengasingkan diri untuk khalwat dan menyepi. Selain Tegalsari, Ronggowarsito juga ngalab ilmu dan ngelmu ke berbagai padepokan dan pesantren lainnya. Tak heran, karya-karya terasa ‘abadi’ dan memiliki kedalaman melampaui zamannya. Selain itu, pemahaman keagamaan dan penghayatannya juga luar biasa.
 
Sebagai manusia Jawa, tentu saya merasa memiliki ikatan dengan sastra dan budaya Jawa. Ketika masih berstatus mahasiswa di Universitas Airlangga, saya kerap menulis puisi Jawa, selain puisi Indonesia tentunya. Bahkan, saya dan kawan-kawan di kampus Karang Menjangan itu pernah membangun sebuah komunitas sastra Jawa untuk menyantuni kawan-kawan yang memiliki kepedulian dan hasrat menekuni dan memahami sastra dan budaya Jawa.
 
Memang, banyak orang yang tidak tahu bahwa pernah 'berdiri' sebuah komunitas sastra Jawa di  Universitas Airlangga. Namanya menarik: Paguyuban Tiwikromo. Sebuah nama yang mengambil spirit dari para manusia setengah dewa dalam dunia wayang purwa yang dilanda 'amuk' ketika menghadapi angkara murka, sebagaimana Yudhistira, Kresna, dan lainnya. Sebenarnya, maksud sederhananya adalah pengerahan daya pikiran untuk fokus tertentu, yaitu sastra Jawa.
 
Yeah, dapat dikatakan, itu adalah komunitas di dalam komunitas. Pasalnya, yang aktif dan mendirikannya adalah anak-anak eksponen Komunitas Teater Gapus dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar Surabaya. Bila Gapus adalah wadah besar dan kebanyakan anggota resmi berstatus mahasiswa, Komunitas Luar Pagar adalah alumni Gapus, yang dapat juga dikatakan sebagai kopasus-nya. Ehm.
 
Tiwikromo berdiri pasca-Reformasi 1998, dan diinisiasi oleh empat orang, yaitu Widi Asy'ari (Ilmu Sejarah), Muhammad Aris (Sastra Indonesia), Gatot Suryowidodo (Ekonomi Pembangunan), dan saya. Hal itu mengingat ada juga senior komunitas yang juga gemar menulis guritan, di antaranya W Haryanto, Indra Tjahyadi dan lainnya. Pada perkembangannya, ada juga yunior di Gapus yang juga  menggumuli guritan dan bergabung Tiwikromo, yaitu Djoko Susilo, dan dia termasuk salah satu pendiri Pakarsajen (Paguyuban Karawitan Sastra Jendra) yang hingga kini masih eksis di Unair.
 
Aktivitas Paguyuban Tiwikromo menjadi pemerkaya komunitas induk dan semacam paseduluran dari beberapa mahasiswa yang agak njawani atau suka dengan hal-hal berbau Jawa. Hal itu karena pada masa lalu, membuat komunitas di dalam komunitas itu lumrah. Bukan untuk firqah tetapi sebagai semacam laku disposisi, kadang juga hanya sebagai gaya-gayaan. Agar mbois!
 
Yang unik, tidak ada agenda formal dari Tiwikromo. Beberapa eksponennya rajin membuat guritan dan dikirimkan ke media berbahasa Jawa, baik itu Panjebar Semangat dan Jaya Baya (di Surabaya) maupun Djoko Lodang dan Mekarsari (di Yogya). Selain itu, diskusi sambil lalu terkait dengan kejawaan, yang dipungkasi dengan adu kesaktian. Ups! Maksudnya, berbicara tentang kejawaan dari sisi yang berbeda.
 
Saya masih ingat ketika saya dipercaya sebagai pimpro peluncuran "Manifesto Surrealisme" (2002) di Balai Pemuda, Surabaya. Kala itu, arek-arek memang ugal-ugalan. Acara peluncuran buku puisi yang diterbitkan Galah Yogyakarta bekerja sama dengan Luar Pagar itu didesain selama tiga hari dengan rangkaian acara: diskusi, pertunjukan sastra dan pembacaan puisi. Adapun salah satu sumber dananya adalah honor guritan  kawan-kawan yang dimuat di majalah Jaya Baya. Saya pun mendatangi kantor redaksi sebagai tukang tagih. Meski waktu itu, honor pemuatan masih Rp. 15.000, tapi lumayan karena rapelan.
 
Saya mencatat ada dua antologi tunggal dari kawan-kawan Tiwikromo, yang keduanya diterbitkan dan disokong penuh oleh Komunitas Gapus. (1) Ilat Geni karya Widi As'ari tahun 2004 (2) Lagon Mripat karya Muhammad Aris tahun 2007.  Mudah-mudahan tahunnya benar. Yeah, kedua kawan itu memang memiliki guritan dengan gaya unik dan khas. Bila tidak salah ingat, peluncuran buku dilakukan di kampus, dengan rangkaian diskusi dan perfom yang menghadirkan pembicara dari kalangan sastrawan Jawa di Surabaya dan Gresik. 
 
Dulu, saya juga berencana menerbitkan antologi tunggal berjudul 'Njengking', tapi karena file ngendon di komputer lama yang rusak, akhirnya niat itu belum dapat terlaksana. Alasan lawas, Coy! Kini, jauh setelah pascakuliah, eksponen Tiwikromo sudah menyebar ke mana-mana. Mudah-mudahan masih ingat pada sastra Jawa. Bukankah sakbeja-bejane wong iku kang eling lan wapada? Gak nyambung, Cak!
 
Adapun, kesadaran terkait pentingnya peran Ronggowarsito dalam jagat sastra dan kebudayaan Jawa pun masih mengendap dalam alam kesadaran saya, meskipun gaungnya samar-samar. Pada tahun 2015, kebetulan saya dipercaya untuk menggelar serangkaian acara sarasehan sastra dan budaya oleh Balai Bahasa Jawa Timur. Untuk menguak lebih jauh ihwal Ronggowarsita, baik itu sosok, teladan, kearifan, karya, dan sepak terjangnya, saya menggandeng Lesbumi NU Jawa Timur menggelar sarasehan tersebut.
 
Acara sarasehan bertajuk "Ngaji Ronggowarsito" digelar pada 23 Oktober 2015 di Gedung PWNU Jawa Timur, jalan Masjid Al-Akbar Timur No.9 Surabaya, pukul 15.00—selesai. Pembicaranya adalah KH. Reza Imam Yahya, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, yang tenar disapa Gus Reza dan Mas Budi Palopo, seorang sastrawan Jawa. Acara dipandu oleh moderator Kiai Chamim Kohari, sastrawan dan salah satu pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah, Jeruk Macan, Mojokerto. Acara berlangsung menarik, karena Gus Reza menyuguhkan sesuatu di luar yang diamini para sastrawa Jawa dan Mas Budi Palopo menyuguhkan sisi Ronggowarsito yang berbeda.
 
Adapun terkait relasi saya dengan sastra Jawa, terutama wilayah kreatif, memang kurang intens, meskipun secara de jure, saya dianggap sebagai salah satu anggota PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya). Pascakuliah, saya lebih suka meneliti karya sastra Jawa daripada menuliskannya dalam karya kreatif. Meski demikian, sebenarnya, saya masih suka menulis gurit, walau entah kenapa jarang saya publikasikan. Gurit yang saya tulis dalam waktu belakangan ini adalah “Nandur Pangkur” berkolofon 14 Desember 2020. Gurit ini saya tulis ketika belasungkawa selama Pandemi seperti ombak yang terus menepi ke pantai. Saya membalutnya dengan kisah Panji. Apalagi pada saat itu, saya sedang membaca buku karangan Ronggowarsito versi cetak modern, "Pandji Djajeng Tilam", terbitan Balai Pustaka, tahun 1966.
 
NANDUR PANGKUR
 
sun nandur pangkur
             ing mingkar-mingkure
             sabda luhur
nanging megatruh kang tuwuh
             saka teleng dhadha
----amarga pawarta kasidan
                          kaya udan
     ngaruara
                 sakindenging
                             ngarcapada
     kaya pecahe tangis
     mbok randa
     kelangan kinasih putera
     : panji mbangun asmara
        ing kedung kanyatan
sun gelung duwung
        kang temlawung
saka rasa suwung
kaya biyung brang wetan
       mbabar kahanan
yen candra kirana mung
       kacipta ing dalu-dalu
       agung
kang kinepung mendung
       kidung
       asmaradhana
       o wangsit langit jiwa
       apata
tan ana tembang kang karipta
  ing gisik segara
                               jawa
      kajaba sukma lungit
      ing wit-wit wingit
             lara-lapane jalma
 
Kahuripan, 14 Desember 2020
 
Kembali ke ziarah Kiai Ronggowarsito. Begitu keluar dari kompleks makam, saya sempat melirik patung Ronggowarsito sebadan di dekat gerbang, yang di bawahnya terdapat sebuah prasasti bertuliskan nukilan Serat Kalatida, sebagaimana yang saya kutip pada awal ngablak. Sayangnya, tulisan itu sulit diakses karena dijepit ruas pagar bercat oranye. Saya pun menuju tukang ojek yang menunggu saya di bawah beringin kecil di tempat parkir sambil merokok.
 
Ketika saya sudah di atas jok motor, dan balik kembali ke ruas jalan Solo—Yogya, saya seperti seorang pendaki, yang sedang menuruni sebuah bukit. Ada harapan untuk kembali mendaki, dan menganggap pengalaman barusan seperti kulit yang dicubit karena rasa gemas, sehingga tidak menyisakan sakit. Tentu saja, dengan pendakian lagi yang berspirit progresif, semisal menerbitkan sebuah buku puisi Jawa, meskipun tidak berupa karya eksperimental dan masih bersandar pada geguritan konvensional, tetapi sedikit genit dan nakal! Ups!
 
MA, On Sidokepung, 2021
 
Ilustrasi: (1) Makam Ronggowarsito di Palar (2) Pondokan Ronggowarsito di Tegalsari Ponorogo.

*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya. http://sastra-indonesia.com/2021/08/bersimpuh-di-pusara-kiai-ronggowarsito-ngudarasa-sastra-jawa-kiwari/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar