Thursday, July 29, 2021

Kasak-Kusuk Problematika Kebudayaan Massa

Hardi Hamzah *
lampungpost.com
 
ROMANTISME kebudayaan massa, kiranya masih bersikukuh pada lahan ide dan diskursus yang tidak implementatif.
 
Dua ribu delapan sebagai tahun tikus, kenyataannya musti menggererek pula di proses kebudayaan. Binatang yang biasa mengerat ini, hanya membuat gigitan spontan kemudian perlahan mengunyahnya, meski tikus perlambang dari kerakusan yang menahan diri.
 
Pusaran budaya dunia, kenyataannya demikian pula, maka ketika ribut ribut soal Golden Globe (semacam Piala Citra dari PWI) di Inggris, sesungguhnya kebudayaan masa yang telah merampok kebudayan sebagai suatu kemurnian.
 
Demikian pula ketika festival di Cile tentang akulturasi kultur Amerika Latin, Meksiko, dan Brazil lebih banyak menampilkan tanggo dan samba yang western alias bernafas kebudayaan massa.
 
Demikianlah, kebudayaan massa tidak terbendung. Sosok di belahan Eropa Utara, telah menjadikan kaum nudis punya maskot sendiri dari kemenangan perjuangan Eropa Utara. Dunia ketimuran juga memainkan peran ini. Siklusnya berputar pada pencurian kebudayaan oleh Malaysia, dan pencotekan lukisan di Asia Tengah (Kazakstan). Inilah suatu fenomena.
 
Lalu, apakah sebenarnya kebudayaan massa itu, apakah kebudayaan yang telah inheren, bahkan setidaknya telah “nikah siri” dengan proses- proses mental manusia, sehingga gugusannya bermain pada tingkatan kekuatan glamor, drug, dan berbagai dimensi maksiat lewat dunia maya dan dunia realitas?
 
Prinsipnya, kebudayaan massa identik disfungsional bagi idiom etik, moralitas agama dan aspek spiritual animisme lainnya. Kebudayaan massa mengeluarkan anyir yang baunya tak tertahankan. Padahal, dalam semangatnya, terutama yang ditulis oleh sejarawan politik George Mc Turnan Kahin dalam bukunya Revolution and Political Movement (1947), jelas dieksplanasikan, kebudayaan massa sebagai suatu ideal tipikal penataan strata dan pranata sosial masyarakat.
 
Kalau komunitas itu beragama melewati kebudayaan massa, ujar Kahin, akan terjadi perjuangan yang ketat dalam kehidupan. Persoalannya, barangkali tidak pada strata sosial yang benar, ini selalu terjadi di dunia ketiga. Kebudayaan massa dan religiositas berkutat di sarang penyamun kenyamnan dan kenikmatan sejenak. Kebudayaan massa, kini “kembar siam” dengan berbagai variabel pekat (penyakit masyarakat). Patologi adalah telah mentransformasikan politik kebudayaan menjadi muara dari seluruh variabel di luarnya, sehingga kalau kita bicara ekonomi, kata konsumtif yang ketemu, bicara politik identik kerakusan kekuasaan, bicara sosial identik kejahatan dengan berbagai dimensinya, dan ketika kita harus sungguh-sungguh bicara kebudayaan, yang ketemu sinetron, film seks, plastik seremoni tradisi, dan aspek-aspek ikutannya.
 
Dalam dinamika itu, kebudayaan massa berpilar pada siklus antara das sien dan das sollen. Kita tidak meninggalkan sesuatu yang tidak terjual. Kebudayaan massa, lalu buru-buru kita ingin “nikahkan” dengan semangat keagamaan. Inilah proses yang tidak pernah ketemu. Sebagai guru ngaji masak kita akan paksa berkawan dengan pencampur minuman keras (bartender). Artinya, kita selalu ingin mendesakkan sesuatu yang frontal di luar akar kebudayaan yang penuh perubahan. Ini, sesungguhnya “kejahatan kemanusiaan”.
 
Kebudayaan massa sebagai “anak kandung” globalisasi yang menikah dengan kapitalisme dan liberalisme, mendasarkan dirinya pada human material, di mana kebudayaan ini memperkosa dan merampok serta meremas-remas puting kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional, sehingga anak-anak muda, mudah sekali orgasme dalam geliat kebudayaan ala teenager ini. Di sinilah sebenarnya, kecelakaan muncul dan bersandar pada wilayah paling hakiki dari perilaku generasi muda.
 
Kebudayaan massa menekuk-nekuk kerohanian, jati diri, dan berbagai aspek lainnya yang pada gilirannya mencerabut seluruh nilai-nilai. kehormatan kita. Kebudayaan massa, kalaulah kemudian ingin dipaksakan menikah dengan cagar budaya di ruang (wilayah) kebudayaan Timur, ia tak pelak hanya akan melahirkan “anak haram” tanpa wajah. Karena itu, anak ini sampai tua akan terus memakai topeng.
 
Paradigma apa yang dapat menjelaskan, bahwa kebudayaan massa bisa lebih terhormat di mata generasi yang selalu berperang dengan nafsu? Pada galibnya, ruang anasir kebudayaan massa lahir karena diberi asupan gizi yang cukup dari media massa, terutama ekslarasi teknologi informasi yang sedemikian pesat. Dengan asupan gizi berstandar instan, acapkali pula kebudayaan massa melakukan hubungan badan dengan reaksi reaksi psikologis irasionalnya kaum muda.
 
Dalam kaitan tersebut, kebudayaan massa dengan leluasa memamerkan tubuhnya di atas pentas kehidupan. Di atas tubuh kebudayaan massa, termuat banyak aksesori, seperti pearcing, tindik, rok mini, goyang Inul, dan seabrek lagi perilaku transseksual lainnya. Kebudayaan massa kemudian mengayuh biduk kebudayaan popo dan komersialisasi gaya hidup di tengah sungai dan lautan generasi muda. Samuderanya begitu besar, menggelembungkan semangat konsumerisme, elitisme, dan new midle class (kelas menengah baru) yang rentan inteligensi, ia terus mengayuh biduk dengan penumpang bervarian.
 
Kendati biduk tak pernah sampai ketepian, namun biduk kebudayaan massa, mampu menstimulasi instuisi generasi muda untuk sulit turun dari biduk itu untuk menjadi generasi yang sebenarnya. Barangkali Gramscy yang mampu mempetakan kebudayaan massa ke stratifikasi sosial secara faktual, sehingga dapat diidentifikasi mengapa kebudayaan (instan) massa ini dapat meraih tempat tersendiri di kalangan kaum muda dan kalangan jetset lainnya.
 
Penjelasan Gramscy, sekaligus memberikan solusi bagi kita yang berfondasi moralitas agama. Gramscy melihat kebudayan massa mudah berproses dan ditangkap di negara berkembang karena ketika akulturasi antara Utara (maksudnya negara maju) dan Selatan (negara dunia ketiga, negara-negara di Utara dengan serta merta mengambil pilar-pilar religiositas generasi muda, karena pranata generasi di Selatan rentan, di mana proses proses akulturasi selalu ditumpangi oleh miras, narkoba, pesona surga lewat aksesori seks bebas dan lainnya. Akibatnya, kebudayaan massa tidak hanya berada di titik akulturasi, tetapi justru mengambil sebagian dari roh dan kesenyawaan global.
 
Alternatifnya, kebudayaan massa di Indonesia tidak memiliki pilihan dalam akselerasinya. Dengan demikian, model-model sederhana yang signifikan untuk menguatkan generasi masa depan sesungguhnya harus berstandar pada dua nilai das sollen dan das sien meski ini memang tidak mudah.

*) Peneliti Madya pada Institute for Studies and Consultation of Social Sciences (INSCISS). http://sastra-indonesia.com/2009/01/kasak-kusuk-problematika-kebudayaan-massa/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar