Sunday, July 4, 2021

Bayang-Bayang Teror Setengah Matang

Sitok Srengenge
majalah.tempointeraktif.com
 
NGEH
Naskah dan sutradara: Putu Wijaya
Tempat: Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki 11-12 Oktober 1998
 
Menepis kata dan mengais citra. Itu strategi panggung Putu Wijaya yang terbaru. Sebuah forum kesenian dengan klaim internasional, ternyata, punya pengaruh langsung pada kreativitas seorang Putu Wijaya. Ketegangan antara hasrat menggarap tema aktual dan keinginan menawarkan pola yang universal rupanya telah mendesakkan inspirasi untuk menempuh sebuah keputusan: mengubah strategi pemanggungan. Caranya dengan menepis kata karena Putu tak perlu lagi repot mencari metode atau paradigma baru. Ia telah cukup punya modal sejak penggaliannya dalam repertoar Yel, tujuh tahun lalu. Modal itu adalah idiom bayang-bayang–suatu bentuk citra yang kita temukan pada pergelaran wayang.
 
Hasilnya adalah pameran visual sepanjang 75 menit berjudul Ngeh (kurang lebih berarti “sadar” atau “paham”), sebagai salah satu acara Art Summit Indonesia II 1998, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 11-12 Oktober silam. Memang, tak ada alur cerita di sana. Hanya selembar layar putih membentang seluas ruang permainan. Di baliknya, cahaya memancarkan aneka warna, membiaskan bayang-bayang manusia, binatang, dan benda-benda. Sesekali ada kain hitam merojol dari bagian tengah atau bawah layar putih itu, sesaat menyorongkan berbagai bentuk ganjil berselubung misteri, untuk kemudian surut dan lenyap kembali.
 
Layar yang dimainkan secara amat kreatif itu, tak pelak, menggendam beragam asosiasi. Entakan suara-suara riuh itu–jerit ketakutan dan rintih kesakitan, gedebam pukulan dan berondongan senapan, bahkan sunyi yang menghampar sesekali–seakan terasa bagai ketajaman yang menyayat kulit, merajam daging, dan mencabik-cabik hati. Rentetan gerak hiruk-pikuk yang membayang itu menggambarkan perilaku pemerkosaan massal, penyiksaan brutal, bahkan adegan aktivitas para tentara–memburu dan membantai korban atau menonton pemerkosaan sambil satu tangannya bermasturbasi dan tangan lainnya mengacungkan senjata–dipadu dengan citra binatang buas yang melahap mangsanya, niscaya melengkapkan rasa giris dan geram. Segala gambaran yang mencekam silih berganti berkecamuk, menebar debar, seperti mimpi buruk meruyak dari alam bawah sadar.
 
Pertunjukan itu memang dimaksudkan sebagai sebentuk refleksi atas keadaan sosial kita yang penuh tragedi dan ironi. Sebuah kesaksian, renungan, serta sikap tentang kondisi (di Indonesia), tepatnya fenomena Mei 1998 yang rusuh yang mengguratkan luka lepuh. Kendati begitu, Putu tak lantas mengemas gagasannya menjadi sajian realistis. Ia melambungkannya ke tingkat yang lebih tinggi melalui imaji-imaji surealistis yang mengusik kesadaran transendental. Sebagaimana yang diisyaratkan judulnya, Ngeh, tebersit semacam keinginan agar penonton jadi mafhum bahwa seluruh fenomena itu sengaja diangkat ke tataran kemanusiaan secara umum. Target pertunjukan itu adalah teror mental. Pengertiannya tentu tidak identik dengan teror yang melimbur kehidupan masyarakat kita selama ini. Teror yang ditebar Putu Wijaya bersama Teater Mandiri, sebagaimana dalam banyak pementasannya, adalah teror secara spiritual. Teror itu menggedor kesadaran penonton untuk waspada, mengkaji dan menguji ulang segala kesimpulan yang telah mati. Dalam konteks itu, menurut Putu, kesangsian itu menjadi suci.
 
Dominasi bayang-bayang dalam pertunjukan itu juga menyarankan bahwa untuk memahaminya tak cukup hanya berpijak dari yang kasatmata. Ia tidak semata mempertontonkan seperangkat kaidah estetika yang memenuhi sensasi indrawi, tapi sekaligus mengusung ke panggung esensi realitas yang selama ini diartikan secara kategoris sebagai fakta, nilai, dan peristiwa. Di sana, realitas tidak lagi dipahami secara faktual. Ia telah diabstraksikan sampai pada arti yang substansial.
 
Dalam pendekatan spekulatif, realitas merupakan misteri di balik kenyataan konkret sehari-hari. Makna realitas bukan ditentukan oleh kehadiran yang konkret, melainkan bergantung pada ide atau imajinasi yang menciptakan konstruksi realitas itu. Jika diibaratkan benda, substansinya tidak terletak pada wujudnya yang nyata, yang wadag, tapi berada di balik strukturnya. Sedangkan struktur itu tersusun atas sejumlah unsur, dan setiap unsur terdiri atas elemen yang lebih kecil. Begitu seterusnya sehingga segala ke-“nyata”-an, jika terus diusut dan diurai, akan mencapai “wujud”-nya yang paling final, yakni simbol.
 
Melalui pertunjukan ini, Putu nyaris mencapai target teror ataupun upaya visualisasi gagasan. Dari segi bentuk dan citra, efek dari permainan layar dan kain jauh lebih optimal dibandingkan dengan beberapa pementasan sebelumnya. Juga, bayangan gerak-gerik yang gaduh dan saling piuh terasa lebih karikatural dan kadang mencapai bentuk-bentuk ekstrem yang merangsang imajinasi, menegaskan asosiasi, dan sekaligus menajamkan kontradiksi. Pencapaian artistik itu tak hanya mengabarkan detail penyutradaraan, tapi juga kepiawaian para pemain mengeksplorasi tubuh dan menghidupkan properti. Para pemain terlatih dalam corporeal mime, bertolak dari improvisasi tapi sadar harmoni.
 
Tata artistik yang dikerjakan Roedjito serta musik garapan Harry Roeli & DKSB memberikan aksentuasi pada setiap imaji. Bahkan, boleh dibilang, paduan musik Harry kali ini melebihi seluruh keterlibatannya dalam beberapa produksi Teater Mandiri. Sayang, seluruh jalinan imaji yang membangun ketegangan dengan impresi kekerasan itu mendadak ambyar pada 15 menit menjelang akhir pertunjukan. Saat itu, sesosok tubuh tambun yang amat gede tapi lunglai muncul secara perlahan. Tiba-tiba terdengar suara Harry Roesli mengalunkan lagu kematian.
 
Bayang-bayang di layar tak tampak lagi, diganti kelebat gambar slide tentang aksi reformasi, lengkap dengan kepalan tangan, slogan, dan kekerasan. Lalu terdengar suara Harry menyanyikan lagu Jangan Menangis Indonesia (saat itu saya justru ingin menangis), dan, dari arah penonton, segerombolan anak-anak menghambur ke panggung. Kali ini yang terjadi adalah optimisme yang klise: di tengah puing kehancuran senantiasa tumbuh harapan, sebab anak-anak adalah masa depan! Sementara itu, di layar, wajah para tokoh–Soeharto, Soekarno, Prabowo Subianto, Amien Rais, dan Megawati Soekarnoputri–muncul silih berganti.
 
Penonton pun melontarkan pelbagai reaksi atas kemunculan para tokoh tadi. Kata-kata yang sejak awal pertunjukan ditepiskan justru menegaskan kehadirannya lewat tayangan gambar spanduk dan ingar-bingar celetuk. Dengan seluruh kekenesan itu, agaknya, Putu dan Harry ingin memberi indikasi perihal teks dan konteks pertunjukan–suatu pilihan yang kurang selektif dan berkesan berlebihan. Akhirnya, tontonan yang dijanjikan bakal fantastis ini hanya tersaji sebagai teror setengah matang.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/07/bayang-bayang-teror-setengah-matang/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar