Thursday, July 29, 2021

Ada Apa dengan Puisi?

Donny Anggoro *
nasional.kompas.com
 
Sungguh sulit meletakkan puncak kegairahan estetik dalam puisi modern kita belakangan ini. Dalam sebuah perbincangan tak resmi Hasif Amini–penjaga rubrik puisi di harian Kompas–mengamini lontaran saya perihal begitu kurang dinamisnya puisi jika dibandingkan dengan prosa.
 
Booming penerbitan yang nampak dalam lima tahun terakhir tak urung menggoda para penyair untuk hijrah sejenak dalam kepenulisan prosa, mulai dari cerita yang maunya dikonstruksikan menjadi bacaan sastra maupun sekedar deuce et etile- hiburan saja. Sah-sah saja, karena ini urusan pilihan. Budi Darma dalam Solilokui (1984) mengatakan semua pengarang hakekatnya adalah penyair.
 
Pertanyaan mengusik, benarkah perkembangan puisi kini tinggal reproduksi penyair-penyair sebelumnya? Atau seperti ujaran penyair Jamal D. Rahman, apa yang tersisa kalau hampir segala perambahan pengucapan puitik sudah dilakukan? Benarkah puisi sudah hilang daya tariknya sehingga meski antologi puisi dan rubrik puisi diterbitkan kedudukannya berhenti secara estetik?
 
Benarkah usaha untuk mengkomodifikasi puisi dari sudut pandang sosialisasinya sudah tidak menarik lagi dibandingkan cerpen dan novel yang karena pencapaiannya dapat merengkuh lebih banyak pembaca? Benarkah meskipun setiap masa yang konon melahirkan sejarah sastranya masing-masing, kerja kritik sastra sudah tak sanggup menampung lantaran begitu banyak jumlah penyair yang muncul?
 
Pertanyaan-pertanyaan demikian seketika muncul di benak publik masa kini yang masih terpesona kepada pembaruan daripada kedalaman, apalagi kebermainan. Padahal jika mau mencatat kebaruan, almarhum penyair Saut Sitompul (meninggal 2004) cukup punya kecenderungan itu dengan siasat menyelipkan ritme chanting di tengah bait puisinya di samping ia sendiri punya kredo singkat: tulis! Saut tak tercatat lantaran ia berkarya dengan cara tak lazim: menjadi penyair jalanan sehingga namanya terluputkan para pemawas sastra yang masih berparadigma lama.
 
Ekspetasi melulu kepada kebaruan, tak disadari membuat kerja budaya kehilangan arah. Penerbitan buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, misalnya. Buku susunan Korrie Layun Rampan ini menunjukkan betapa sulitnya menemukan pembaruan sejarah sastra kita. Buku ini menimbulkan keraguan antara leksikon entri pengarang atau kajian sastra mutakhir dari berbagai genre.
 
Berbeda dengan peneliti sastra Pamusuk Eneste yang tak mau buru-buru menetapkan siapa yang berhak menyandang predikat “sastrawan masa depan” dengan menerbitkan buku entri pengarang (Buku Pintar Sastra, Leksikon Sastra) dan bibliografi dibandingkan Korrie yang tampak bingung sendiri menentukan “garda depan” sastrawan modern kita. Dampak lainnya -meminjam istilah musik “the singer not the song”- yaitu dengan mudahnya kita menyebut sekian banyak nama pengarang, tapi sulit menyebut siapa yang paling menonjol.
 
Apresiasi puisi menjadi sunyi. Puisi kembali hakikatnya menjadi sekedar bunyi lantaran apresiasi terhadap perkembangannya jarang dilakukan. Catatan terakhir dari estetik puisi mungkin baru Radhar Panca Dahana yang menyebut “puisi hampir tak berjarak dengan prosa” (esai Dunia Prosa, Kompas, 27 Juli 2003). Selebihnya hanya mencatat sebagian kecil dari fenomena tertentu, misalnya metafora seks yang juga masuk ke dalam puisi.
 
Komunitas puisi di berbagai tempat memang tumbuh seperti Berkat Yakin (Lampung), BlockNot Poetry (Jogja), Riau, Dokarim (Aceh), dan lainnya. Atau di tingkat publikasi, penyair Karsono H. Saputra (penerbit WWS dan Bukupop) punya komitmen mengharukan menerbitkan pelbagai buku antologi puisi Indonesia, mulai dari sajak-sajak reflektif sampai ringan dalam ukuran pocket books (buku saku). Kendala keterbatasan akses selain pemawas sastranya sendiri yang selalu membandingkan dengan zaman dulu tetap ada akibat perkembangan kritik sastra yang lahir pasca H.B Jassin gagal membuka kekuatan dan kelemahan penyair dengan melulu menjadi pujian. Sastra hanya mampu mencatat nama dan riwayat pengarang tanpa kesempatan mencatat nilai-nilai, apalagi menyusun pemikirannya.
***
 
Bolehlah Sutardji Calzoum Bachri dalam Puisi Estafet (Gelak Esai & Ombak Sajak Anno 2001) mengatakan generasi puisi berikut masih memegang tongkat estafet generasi pendahulunya. Tapi, akibat perhatian yang melulu terpesona kepada pembaruan, sebetulnya nyaris menutup mata kita sendiri untuk bekerja lebih serius menelaah karya-karya yang sudah ada.
 
Puisi sebetulnya tak cukup dengan urusan kebaruan. Pilihan sang penyair kepada suatu genre juga perlu diperhatikan. Jika tidak, puisi akan terus dianggap mandek. Padahal bukan tak mungkin suatu saat kemasan puisi ke berbagai bentuk seni lain mampu mencapai pengucapan baru yang mandiri.
 
Bukankah para penyair yang sudah menjadi kanon mengawali dirinya dengan eksperimen? Bukankah puisi itu sendiri tak mungkin lahir dari ruang kosong, bak perkataan Adolfo Sanchez Vasquez yaitu “sastra lahir dalam kekinian dan kedisinian yang konkret” (Art and Society, Merlin Press, London, 1973)?
 
Kerja budaya dalam puisinya sendiri bukan berarti sudah beres. Setelah melulu dianggap sebagai “pemegang tongkat estafet”, urusan lain yang sebenarnya masih dapat diupayakan sebagai titik tolak pembaruan puisi juga belum ada.
 
Puisi terjerembab menjadi konsumsi panggung deklamasi setelah gagal mengarungi kekuatan tekstual. Apalagi tak banyak yang memerhatikan publikasi lain yang sebetulnya berpeluang misalnya musikalisasi puisi, memanfaatkan teknologi: permainan tipografi (salah satunya pernah dilakukan Cyberpuitika), film puisi seperti yang dilakukan sutradara Lars Buchel dan penyair Anne Rostanberg (keduanya dari Jerman), film animasi dalam video klip seperti yang dilakukan MTV di era 1990-an dengan menerjemahkan puisi bergaya Victorian ke dalam bentuk gambar, sampai menampilkan kutipan puisi ke dalam ponsel sehingga penyair kelak juga mendapat royalti bak penyanyi yang lagunya dibuat menjadi ring tone (ini sekedar analogi).KOlaborasi puisi menjadi film pun di Jerman selain membuka peluang baru juga menimbulkan polemik yang justru memerlihatkan kerja puisi menjadi dinamis. Misalnya perlukah puisi Goethe yang diterjemahkan ke film membuat puisinya jadi lebih baik atau sebaliknya? Bukti lain (akibat kerja puisinya sendiri yang kurang progresif) tak banyak lagu bagus sekarang yang syairnya digarap penyair atau ditulis secara puitik.
 
Contoh di atas memang bukan semata kerja penyair seorang diri. Diperlukan keterbukaan dirinya di bidang lain di samping mendapat bantuan dari para maecenas. Pertanyaannya, mengapa belum banyak ditempuh cara lain untuk meningkatkan harga puisi? Tiada hal lain yang bisa dilakukan kecuali perbaikan kerja sastranya sendiri di samping pengamatan yang mampu melontarkan karya dalam ruang kosong.
 
Banda Aceh, November 2006.
 
*) Eseis dan aktivis mejabudaya, di Jakarta. http://sastra-indonesia.com/2011/01/ada-apa-dengan-puisi/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar