Saturday, July 10, 2021

25 Tahun FFB Sejumlah Penyair Membacakan Puisi Film

Daisy Priyanti
suarakarya-online.com
 
Sebuah panggung sepi mengumandangkan puisi “Masih Bayangan” karya sutradara senior Nobertus Riantiarno di Gedung Sunan Ambu Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Bandung, pekan lalu. Sekitar seratus penonton langsung hening menyimak suara lantang Ketua STSI Bandung Endang Caturwati yang berdiri sendirian di atas pentas untuk memperingati 25 tahun Festival Film Bandung (FFB) itu.
 
“Berawal dari inspirasi//sumbernya bulan dan matahari/ kemanusiaan jadi tujuan/ kesenian adalah jalan//lalu eksperimentasi//kerja tak kenal henti//tapi setelah keberhasilan diraih//perubahan bisa terjadi//seni menjadi komoditi//menyusul pula politik”.
 
“Entah mengapa tega//mengotori layar putih//dengan kumpulan jargon//slogan-slogan tanpa makna//janji-janji belaka//lalu belenggu aturan//sensor mencekik pula//pembinaan yang diniatkan//jadi hantu pembinasaan//politik kekuasaan”.
 
Puisi Riantiarno itu adalah salah satu karya yang termuat dalam buku bertajuk “Puisi Film”. Buku ini diterbitkan FFB untuk menandai 25 tahun usianya.
 
Bersampul merah pertanda perlawanan, buku itu merangkum 25 puisi karya 25 seniman dari berbagai latar belakang. Selain Riantiarno, mereka yang menyumbang puisi antara lain seniman kondang Putu Wijaya, aktor dan sutradara kawakan Slamet Rahardjo, penulis skenario Armantono, dan Ketua Umum FFB Eddy D. Iskandar yang novelnya “Gita Cinta dari SMA”, sukses ke layar lebar.
 
Dengan lugas dan jernih, para seniman itu menyuarakan pandangannya mengenai kondisi perfilman Indonesia saat ini. Slamet Rahardjo bahkan hanya memerlukan waktu satu hari untuk melahirkan puisinya yang pertama berjudul “Dendang Perawan”. “Puisi itu lahir begitu saja secara spontan berdasarkan kondisi yang saya ketahui saat ini,” ujarnya.
 
Dengan keahliannya berseni peran, Slamet tampil menawan menyairkan puisi itu di panggung. “Lingsir wengi//dendang perawan malam hari//wing semriwing//semerbak wangi dupa setanggi//mimpi di atas mimpi//melayang aku pengen jadi bidadari//oh harapan muara keinginan//beken di atas beken//geregetan aku berkhayal jadi keren//eh siapa tahu//coba punya coba//bisa lebih dari penganten”.
 
“Ning nang ning gung//dendang seribu peri di lembah gunung//oh para peri dunia perewangan//dengan kuasamu bawalah aku terbang//eh siapa nyana//bisa salaman sama dewa//dewa sakti bernama ketenaran”.
 
Puisi kocak itu dibawakan Slamet dengan menggelitik, namun tegas menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi perfilman Indonesia yang dinilainya telah kehilangan unsur kontemplasi. “Seni peran itu bukan cuma dilakoni, tapi harus dihidupi,” kata peraih lima Piala Citra itu.
 
Menurut Slamet insan perfilman Indonesia kini cenderung ingin mengikuti trend global tanpa mengindahkan budaya nasional. Pesan serupa disampaikan seniman Nenden Lilis A.
 
Dalam puisinya bertajuk “Episode Layar” dia bersanjak, “Jangan dengarkan dia//jika mau, industri bisa untuk tidak hanya melenakan masyarakat dan menguntit selera pasar//demi mengeruk keuntungan//industri bisa menciptakan karya yang mencerahkan sukma anak negeri!//seru yang lain dari dalam koran”.
 
“Lalu, suara siapa itu//bagai dibawa angin dari bukit yang jauh//menyuruh selalu berkemas dan berbenah//tetapi kemudian//inilah yang masih terjadi: pada sebuah gedung sinema//bukan kacang dan bajigur teman menonton//tapi hot chocolate dan popcorn//yang harganya tak terjangkau mimpi orang pinggiran//di loket diam-diam kuhitung orang mengantri//berapa orang yang memilih film sendiri//ternyata lebih banyak untuk sinema luar negeri”. Lalu Iman Soleh, dalam puisinya berjudul “Ode Untuk Sandek”, mengkritik film yang tidak lagi berpijak pada kondisi sosial yang nyata.
 
“Apakah kemiskinan kami//kelaparan kami//bisa diwakili kesenian kamu//nyanyian kamu//teriak waska//si pesolek terdiam//laiknya intelektual frustasi//di kota ini jiwa menjadi badut//buruh-buruh dibungkam mimpi//perguruan tinggi tak punya visi//kepalsuan diagungkan//tak ada kesenian//tak ada puisi”.
 
Namun, dosen STSI Bandung dan pendiri Studiklub Teater Bandung itu masih menyimpan optimisme di ujung bait puisinya. “Sandek kembali menanam harapan//ketimpangan berbuah gugatan//pada kamera dia bekerja//melukis lewat kata: `Bangunlah orang-orang tidur!” ujarnya//dia acungkan pena ke langit//menentang bapaknya di pasar modal//camkan waska!//kesenian adalah perlawanan//pada ketidakadilan//pada kegagahan uang//meski impian sulit hilang//karena hidup bukan sekedar: “dagang atau daging”. Ketua Umum FFB Eddy Iskandar menyatakan puisi dipilih sebagai medium kritik terhadap kondisi perfilman sekarang karena lebih jujur dan jernih dalam menyuarakan pandangan. “Ada kemarahan, ada kekhawatiran, tapi ujungnya ada optimisme,” katanya.
 
Eddy berharap, kritik dengan berpuisi menggugah pelaku perfilman Indonesia. Buku “Puisi Film” 94 halaman berbandrol Rp 25 ribu itu dibagikan kepada insan-insan perfilman Indonesia.
 
“Dengan puisi diharapkan kritik yang disampaikan lebih menggugah, juga bisa menjadi cara yang tepat untuk mendidik masyarakat agar menyukai film yang berkualitas,” kata Eddy.
 
Berpuisi adalah cara baru yang dipilih FFB dalam melayangkan kritik terhadap perfilman Indonesia yang kini didominasi horor dan adegan “syur”.
 
Selanjutnya, FFB berencana menampilkan monolog sebagai cara lain mengkritik perfilman Indonesia.
 
Pendiri Sinematek Indonesia H. Misbach menulis di sampul depan buku “Puisi Film” yang diterbitkan sendiri oleh FFB itu: “Saya orang yang menghargai idealisme. Dan saya juga senang karena FFB tetap menghargai idealisme itu. Saya harap FFB tetap bertahan untuk menilai film dan insan film berdasarkan kualitas mereka, bukan berdasarkan pasar”.
 
Saat ini, menurut Eddy, FFB tengah menyeleksi sekitar 70 film bioskop dan ratusan sinetron televisi yang ditayangkan pada kurun 2011-2012. “Hanya film yang mengedepankan kearifan lokal yang pantas mendapatkan penghargaan dari FFB,” ujarnya.
 
Pada usia 25 tahun penyelenggaraannya, FFB mendapatkan kado istimewa berupa perhatian berskala nasional. Sebuah televisi swasta nasional berniat menayangkan secara langsung acara puncak penghargaan yang akan berlangsung pertengahan April 2012 itu.
 
Eddy berjanji publikasi secara nasional tidak akan melunturkan idealisme FFB yang konsisten menilai film-film Indonesia dalam 25 tahun berjalan ini.
 
“Bukan kami yang meminta ditayangkan secara langsung. Televisi swasta itu yang justru meminta karena FFB dianggap layak untuk disiarkan secara nasional. Mereka hanya meliput peristiwanya saja, tapi tidak mempengaruhi penilaian kami,” tuturnya.
 
FFB yang dibentuk kelompok kecil pencinta film di Bandung hanya ingin menyampaikan apresiasi dan kritik jujur terhadap perfilman Indonesia tanpa berpretensi, kata Eddy lagi
 
Karena itu, segala aktivitas mereka dikemas spontan dan apa adanya seperti terlihat di atas panggung sepi pada peluncuran buku “Puisi Film” itu, namun mereka yang menghadirinya berharap suara sepi itu suatu saat menembus dinding gedung.

5 Mei 2012 http://sastra-indonesia.com/2012/05/25-tahun-ffb-sejumlah-penyair-membacakan-puisi-film/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar