Tuesday, June 15, 2021

Takut Menjadi Esoterik

Wicaksono Adi
Kompas, 16 Jan 2011
 
BEBERAPA tahun silam, dalam satu diskusi, perupa Dadang Christanto curhat: pendorong utama dalam berseni rupa adalah kebutuhan untuk membongkar sejarah kelam kekerasan guna mengikis trauma panjang yang ia alami sejak ayahnya lenyap tanpa jejak saat huru-hara 1965. Maka hingga kini karya-karyanya takkan jauh dari tema kekerasan. Tapi anak-anaknya yang mulai tumbuh dewasa justru ketakutan ketika menyaksikan karya-karya ciptaan si bapak.
 
Maksud hati membongkar sejarah kelam kekerasan, tapi bisa- bisa justru menularkan trauma baru, bahkan reproduksi kekerasan baru. Dan jika hal itu berlangsung terus, maka tidak mustahil seni akan jadi agen pengganda kekerasan.
 
Itu perkara pelik. Akhir-akhir ini seni rupa sering hadir sebagai serpihan, fragmen dan representasi tanpa konteks, saling berkelindan, menimbun ruang, tubuh, serta pikiran. Bentuk-bentuk representasi tanpa konteks dapat menjadi reproduksi (dan pengganda kekerasan). Tempat penyusunan konteks itu mestinya ada pada pameran, buku, dan diskusi-diskusi mendalam.
 
Ditekuk
 
Tapi di katalogus, buku dan majalah, kurator-penulis lebih giat memaparkan pikirannya belaka berikut akrobat teori ini-itu yang kadang tak berkaitan dengan karya seni yang dibahas. Mereka sibuk membuat kurungan, tapi ketika kurungan itu tak cocok, maka si ayam ditekuk-tekuk dipaksa masuk ke dalamnya. Maka tak banyak yang dapat dijadikan bahan penyusunan konteks agar si anak tidak memahami karya-karya si Bapak sebagai bentuk reproduksi melainkan representasi kekerasan: si ayam menjadi pengurai rantai trauma.
 
Sekarang memang bukan era kritik seni sebagai hermeneutika: menebak maksud Tuhan penyabda Kitab Suci, mendedah teka-teki si pencipta karya. Kritik seni bukan kerja mutilasi di atas meja bedah, tapi kegiatan dekonstruksi guna menciptakan surplus makna di ruang tak terbatas: sebuah upacara membangkitkan mayat dari peti mati bahasa. Dalam upacara itu hermeneutika ekstrem akan meringkus kritik seni pada ruang gelap misteri karya, dan dekonstruksi dapat berujung pada omong kosong karena semua hal absah.
 
Agar memiliki pijakan, maka setiap diskursus harus memilih posisi. Mau tak mau ia harus membatasi dirinya sendiri, bahkan kadang perlu mengisolasi diri agar cara pandangnya mencapai kedalaman. Tapi selalu muncul simtom dan semacam rasa bersalah ketika suatu diskursus dianggap tidak nyambung dengan bahasa orang banyak. Esoterisme dipandang sebagai dosa karena kurang toleran terhadap kehendak orang lain.
 
Esai
 
Saya pernah bertanya kepada seorang teman: kenapa tak pernah menulis esai sastra? Dia jawab: belum muncul karya yang menantang. Artinya, kian sedikit karya sastra di Indonesia yang menyeretnya ke area pelik di mana ia dapat bergerak mencapai batas terjauh antara hermeneutika atau dekonstruksi. Ia sebenarnya hendak berkata bahwa tak banyak karya sastra kita yang layak dikritik.
 
Saya duga bahwa ia membutuhkan karya sastra esoterik karena karya semacam itu dapat membawanya ke medan penjelajahan intelektual (plus teka-teki hermeneutik) sekaligus sebagai lahan konfrontasi antara kekhususan diskursus seni dan kelaziman produksi makna bahasa umum. Tapi kenapa kian sedikit karya semacam itu? Kenapa ada ketakutan untuk menjadi esoterik?
 
Barangkali hasrat berlebihan untuk berbicara kepada semua orang merupakan konsekuensi dari industrialisasi sastra sebagai produksi massal. Sementara si produsen karya mengidap ilusi romantik sehingga tetap berpegang pada keyakinan terhadap keunikan dan totalitas karya genius dan tak tergantikan. Sementara industrialisasi massal membuat diskursus mengenai suatu karya dapat diproduksi oleh pembaca-konsumen dalam perluasan jejaring pembaca-konsumen yang lain. Kritik sastra dapat berlangsung dalam lingkaran- lingkaran pembaca-konsumen tertentu, di ruang akademi, kumpulan pengasuh bayi atau anak gaul berikut pendekatan yang hanya dipahami oleh para anggotanya.
 
Keragaman jenis media membuat semua orang dapat terlibat dengan caranya sendiri, semua bisa jadi novelis atau penyair. Semua dapat menciptakan diskursus, menulis tentang novel dan puisi lalu memublikasikannya dengan mudah. Keragaman lingkaran pembaca membuka kemungkinan untuk memproduksi kritik dalam lingkup khusus dan terbatas, tapi perluasan ruang publikasi itu membuat orang lain di luar lingkaran ikut ambil bagian dan menuntut agar diskursus khusus dan terbatas tersebut membuka diri terhadap kaidah- kaidah umum. Maka muncul kerawanan: suatu diskursus esoterik yang tak mungkin diukur dengan kaidah-kaidah umum dipaksa membongkar dirinya agar dapat dipahami semua orang. Lenyaplah isolasi yang jadi kekuatan utamanya.
 
Ya, lazimnya kritik seni memang bekerja di lingkaran terbatas. Dan agar menjadi tajam (hermeneutika maupun dekonstruksi) mau tak mau harus esoterik. Keumuman akan berujung pada kekaburan. Diskursus antara si Dadang dan anaknya yang membutuhkan penyerapan karya seni sebagai wahana pembebasan dari trauma tentu posisinya berbeda dengan diskursus di lingkaran spesialis seni rupa yang sangat khusus. Pada saat tertentu dua posisi tersebut dapat saling berinterferensi ketika diskursus khusus si seniman dihadirkan di gedung pameran dan publikasi yang lain.
 
Dan karena masing-masing diskursus bekerja secara simultan, maka mustahil membayangkan kegiatan kritik seni dengan posisi dan fungsi tunggal. Kritik seni adalah mendedah sekali-gus memproduksi makna. Dekonstruksi memungkinkan lingkup penciptaan diskursus menjadi cair dan lentur sementara hermeneutika mencegah si kritikus membuat kurungan ayam semau-maunya. Kritik seni, menurut Umberto Eco, akan selalu berurusan dengan the limits of interpretation. Itulah lingkup kerja yang paling masuk akal.
 
Tentu, ribut-ribut perkara krisis kritik sastra kita hari ini adalah urusan kaum spesialis: kritikus, peneliti, dan penggiat sastra. Bukan urusan ibu-ibu pengasuh bayi. Dan tak perlu jauh-jauh mencari penyebabnya sampai ke ranah filsafat dan teori ini-itu (mana yang lebih afdal: hermeneutika atau dekonstruksi). Soalnya jelas, di kalangan spesialis kian sedikit yang mau bertekun dengan esoterisme. Semua ingin jadi seleb. Itu tak hanya berlaku dalam dunia seni, tapi juga pada bidang-bidang yang lain.
***

http://sastra-indonesia.com/2011/11/takut-menjadi-esoterik/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar