Wicaksono Adi
Kompas, 16 Jan 2011
BEBERAPA tahun silam, dalam satu diskusi, perupa Dadang Christanto curhat:
pendorong utama dalam berseni rupa adalah kebutuhan untuk membongkar sejarah
kelam kekerasan guna mengikis trauma panjang yang ia alami sejak ayahnya lenyap
tanpa jejak saat huru-hara 1965. Maka hingga kini karya-karyanya takkan jauh
dari tema kekerasan. Tapi anak-anaknya yang mulai tumbuh dewasa justru
ketakutan ketika menyaksikan karya-karya ciptaan si bapak.
Maksud hati membongkar sejarah kelam kekerasan, tapi bisa- bisa justru
menularkan trauma baru, bahkan reproduksi kekerasan baru. Dan jika hal itu
berlangsung terus, maka tidak mustahil seni akan jadi agen pengganda kekerasan.
Itu perkara pelik. Akhir-akhir ini seni rupa sering hadir sebagai serpihan,
fragmen dan representasi tanpa konteks, saling berkelindan, menimbun ruang,
tubuh, serta pikiran. Bentuk-bentuk representasi tanpa konteks dapat menjadi
reproduksi (dan pengganda kekerasan). Tempat penyusunan konteks itu mestinya
ada pada pameran, buku, dan diskusi-diskusi mendalam.
Ditekuk
Tapi di katalogus, buku dan majalah, kurator-penulis lebih giat memaparkan pikirannya
belaka berikut akrobat teori ini-itu yang kadang tak berkaitan dengan karya
seni yang dibahas. Mereka sibuk membuat kurungan, tapi ketika kurungan itu tak
cocok, maka si ayam ditekuk-tekuk dipaksa masuk ke dalamnya. Maka tak banyak
yang dapat dijadikan bahan penyusunan konteks agar si anak tidak memahami
karya-karya si Bapak sebagai bentuk reproduksi melainkan representasi
kekerasan: si ayam menjadi pengurai rantai trauma.
Sekarang memang bukan era kritik seni sebagai hermeneutika: menebak maksud
Tuhan penyabda Kitab Suci, mendedah teka-teki si pencipta karya. Kritik seni
bukan kerja mutilasi di atas meja bedah, tapi kegiatan dekonstruksi guna
menciptakan surplus makna di ruang tak terbatas: sebuah upacara membangkitkan
mayat dari peti mati bahasa. Dalam upacara itu hermeneutika ekstrem akan
meringkus kritik seni pada ruang gelap misteri karya, dan dekonstruksi dapat
berujung pada omong kosong karena semua hal absah.
Agar memiliki pijakan, maka setiap diskursus harus memilih posisi. Mau tak
mau ia harus membatasi dirinya sendiri, bahkan kadang perlu mengisolasi diri
agar cara pandangnya mencapai kedalaman. Tapi selalu muncul simtom dan semacam
rasa bersalah ketika suatu diskursus dianggap tidak nyambung dengan bahasa
orang banyak. Esoterisme dipandang sebagai dosa karena kurang toleran terhadap
kehendak orang lain.
Esai
Saya pernah bertanya kepada seorang teman: kenapa tak pernah menulis esai
sastra? Dia jawab: belum muncul karya yang menantang. Artinya, kian sedikit
karya sastra di Indonesia yang menyeretnya ke area pelik di mana ia dapat
bergerak mencapai batas terjauh antara hermeneutika atau dekonstruksi. Ia
sebenarnya hendak berkata bahwa tak banyak karya sastra kita yang layak
dikritik.
Saya duga bahwa ia membutuhkan karya sastra esoterik karena karya semacam
itu dapat membawanya ke medan penjelajahan intelektual (plus teka-teki
hermeneutik) sekaligus sebagai lahan konfrontasi antara kekhususan diskursus
seni dan kelaziman produksi makna bahasa umum. Tapi kenapa kian sedikit karya
semacam itu? Kenapa ada ketakutan untuk menjadi esoterik?
Barangkali hasrat berlebihan untuk berbicara kepada semua orang merupakan
konsekuensi dari industrialisasi sastra sebagai produksi massal. Sementara si
produsen karya mengidap ilusi romantik sehingga tetap berpegang pada keyakinan
terhadap keunikan dan totalitas karya genius dan tak tergantikan. Sementara
industrialisasi massal membuat diskursus mengenai suatu karya dapat diproduksi
oleh pembaca-konsumen dalam perluasan jejaring pembaca-konsumen yang lain.
Kritik sastra dapat berlangsung dalam lingkaran- lingkaran pembaca-konsumen
tertentu, di ruang akademi, kumpulan pengasuh bayi atau anak gaul berikut
pendekatan yang hanya dipahami oleh para anggotanya.
Keragaman jenis media membuat semua orang dapat terlibat dengan caranya
sendiri, semua bisa jadi novelis atau penyair. Semua dapat menciptakan
diskursus, menulis tentang novel dan puisi lalu memublikasikannya dengan mudah.
Keragaman lingkaran pembaca membuka kemungkinan untuk memproduksi kritik dalam
lingkup khusus dan terbatas, tapi perluasan ruang publikasi itu membuat orang
lain di luar lingkaran ikut ambil bagian dan menuntut agar diskursus khusus dan
terbatas tersebut membuka diri terhadap kaidah- kaidah umum. Maka muncul
kerawanan: suatu diskursus esoterik yang tak mungkin diukur dengan
kaidah-kaidah umum dipaksa membongkar dirinya agar dapat dipahami semua orang.
Lenyaplah isolasi yang jadi kekuatan utamanya.
Ya, lazimnya kritik seni memang bekerja di lingkaran terbatas. Dan agar
menjadi tajam (hermeneutika maupun dekonstruksi) mau tak mau harus esoterik.
Keumuman akan berujung pada kekaburan. Diskursus antara si Dadang dan anaknya
yang membutuhkan penyerapan karya seni sebagai wahana pembebasan dari trauma
tentu posisinya berbeda dengan diskursus di lingkaran spesialis seni rupa yang
sangat khusus. Pada saat tertentu dua posisi tersebut dapat saling
berinterferensi ketika diskursus khusus si seniman dihadirkan di gedung pameran
dan publikasi yang lain.
Dan karena masing-masing diskursus bekerja secara simultan, maka mustahil
membayangkan kegiatan kritik seni dengan posisi dan fungsi tunggal. Kritik seni
adalah mendedah sekali-gus memproduksi makna. Dekonstruksi memungkinkan lingkup
penciptaan diskursus menjadi cair dan lentur sementara hermeneutika mencegah si
kritikus membuat kurungan ayam semau-maunya. Kritik seni, menurut Umberto Eco,
akan selalu berurusan dengan the limits of interpretation. Itulah lingkup kerja
yang paling masuk akal.
Tentu, ribut-ribut perkara krisis kritik sastra kita hari ini adalah urusan
kaum spesialis: kritikus, peneliti, dan penggiat sastra. Bukan urusan ibu-ibu
pengasuh bayi. Dan tak perlu jauh-jauh mencari penyebabnya sampai ke ranah
filsafat dan teori ini-itu (mana yang lebih afdal: hermeneutika atau
dekonstruksi). Soalnya jelas, di kalangan spesialis kian sedikit yang mau
bertekun dengan esoterisme. Semua ingin jadi seleb. Itu tak hanya berlaku dalam
dunia seni, tapi juga pada bidang-bidang yang lain.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment