Saturday, June 12, 2021

Silang Budaya Suara Kaum Muda

Putu Fajar Arcana *
Kompas, 03 Nov 2013

Verencya Oktoviani ingin ada pertukaran antarpelajar. Bahkan, Nurul Fadillah Fahrul mengusulkan adanya perkawinan antarsuku. Keduanya adalah siswa SMA yang tinggal berbeda pulau. Verencya sekolah di SMA Kristen Immanuel, Pontianak, Kalimantan Barat, sedangkan Nurul bersekolah di SMA Negeri 1 Watansoppeng, Sulawesi Selatan. Masih ada 10 anak muda lain yang menjadi finalis Lomba Menulis Esai Sosial Budaya, Puslitbang Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang diselenggarakan pada Senin (28/10) di Jakarta.

Anak-anak muda itu adalah Taufiqurrahman (Jawa Timur), Christ Daniel Soselisa (Maluku), Anastasia (Jakarta), Luh Putu Eka Yani (Bali), Herman Palani (Sumatera Selatan), Alfi Fatona Putri (Yogyakarta), Nico Rizaldi (Riau), Hotma Tiurmaida Manullang (Jawa Timur), I Gusti Ayu Cintya Adianti (Bali), dan Maulidia Rohmah (Yogyakarta). Sekadar kabar bahwa ke-12 anak muda ini disaring dari 1.387 naskah esai yang masuk ke meja panitia. Panitia merancang, untuk menentukan pemenang para finalis tak hanya dinilai dari sisi tulisannya, tetapi diwajibkan melakukan presentasi di hadapan juri dan undangan.

Peristiwa ini bagi banyak orang barangkali sekadar berkompetisi untuk memperebutkan hadiah yang jumlahnya lumayan. Taufiqurrahman yang keluar sebagai pemenang pertama meraup hadiah Rp 10 juta, Christ mendapatkan Rp 9 juta, dan Anastasia Rp 8 juta, dan seterusnya. Namun, secara substansial kita bisa mencermati beberapa hal yang menarik.

Pertama, bentuk esai dan bukan karya tulis ilmiah sebagaimana biasanya menjadi perangsang penumbuhan kreativitas yang tak terduga. Para pelajar seolah menemukan wahana yang sesuai untuk menumpahkan gagasan mereka tanpa takut dikekang oleh bentuk. Kedua, bentuk esai juga memungkinkan para pelajar lebih jujur dalam melihat realitas di sekitar mereka. Ketiga, secara substansial kita mendapatkan suara hati yang sesungguhnya yang kini menghinggapi kaum muda. Oleh sebab itulah, tema ”Hidup Harmonis di Tengah Perbedaan” memperoleh respons positif dengan berbagai studi kasus di daerah asal para peserta.

Verencya secara tidak langsung mengkritik pertukaran pelajar antarnegara yang lebih diminati siswa ketimbang menyelenggarakan lebih serius program pertukaran pelajar antardaerah. Pertukaran ini, katanya, lambat-laun akan menumbuhkan perasaan saling menghargai dan saling menghormati di antara begitu banyak perbedaan bangsa ini. Nurul lebih ekstrem, ia bahkan setuju adanya kawin campur di Indonesia.

Memang belum bisa digeneralisasi bahwa ribuan esai yang menyuarakan tentang pengakuan terhadap keberagaman dianggap mewakili suara kaum muda. Tetapi setidaknya, kita sedang menangkap tanda-tanda baik bahwa pluralisme diterima sebagai keniscayaan, sebuah realitas hidup di negara bernama Indonesia. 

Dalam banyak esai yang ditulis para pelajar, realitas lokal bahkan dijadikan model yang bisa dikembangkan untuk kemudian diterapkan dalam level nasional. Luh Putu Eka Yani mengangkat filosofi menyama braya, sebuah kesadaran menjadikan orang terdekat sebagai saudara. Kesadaran ini telah hidup dalam masyarakat Bali sejak berabad-abad lalu dan inilah salah satu yang menyebabkan kelenturan sikap orang Bali. 

Penerimaan perbedaan yang dibawa oleh para pendatang telah berlangsung sejak masa ekspedisi Majapahit ke Bali, pada kisaran abad ke-8 Masehi.

Herman Palani punya gagasan menarik. Pelajar asal Sekayu ini punya gagasan tentang ”sewakul”. Sewakul tak lain perpaduan dua kesenian Melayu dan Jawa, yakni senjang dan wayang kulit. Kedua artefak kebudayaan itu masih hidup lestari di Sekayu dan didukung oleh masing-masing etnis. Di dalam mencapai tujuan kebersamaan dalam perbedaan, kata Herman, ada baiknya sewakul dipakai sebagai medium yang mewadahi pertemuan intens antara dua kebudayaan.

Cemerlang

Gagasan yang muncul dalam esai para pelajar ini membuat dewan juri Bambang Widiatmoko, Setiawati Intan Savitri, Riwanto Tirtosudarmo, dan Dloyana Kusumah harus mengakui bahwa persemaian Bhinneka Tunggal Ika yang dirancang Mpu Tantular pada masa Majapahit dan Sumpah Pemuda 85 tahun lalu sudah tumbuh di lahan Indonesia. Anak-anak muda ini, kata Intan, menerbitkan harapan cerah bagi bangunan negara Indonesia. ”Gagasan mereka cemerlang karena berangkat dari pengakuan terhadap realitas,” kata Intan.

Kejujuran melihat, mengakui, dan mengatakan realitas itu menjadi ciri khas yang menonjol pada anak-anak muda. Ini mengingatkan kita pada peristiwa Sumpah Pemuda dalam konteks masa berbeda. Jika Sumpah Pemuda meletakkan dasar-dasar berbangsa, bertanah air, dan berbahasa yang satu sebagai tekad melawan kolonialisme, anak-anak muda di masa kontemporer berimajinasi tentang silang budaya. Persilangan kebudayaan dalam benak mereka adalah jalan paling cepat untuk menemukan keindonesiaan yang multikultural. Negara harus berperan aktif dan cepat mengatasi berbagai konflik berbau suku dan agama yang sudah meledak di mana-mana.

Peledakan itu setidaknya menjadi satu indikator bahwa keputusan 85 tahun lalu menjadi satu bangsa, satu tanah air, dan bahasa satu itu ”baru” sampai pada keputusan politik semata. Waktu itu jelas, keputusan politik memang dibutuhkan untuk menyatukan tekad dan persepsi melawan kolonialisme. Anak-anak muda ini resah melihat bangunan bernama Indonesia sedang goyah, oleng-kemoleng, di mana pendekatan keamanan tidak sanggup menyelesaikan persoalan. Christ Daniel Soselisa, walau semasa konflik Ambon masih kecil, mengaku masih trauma. ”Saya masih trauma sampai sekarang,” katanya. Trauma berkepanjangan bisa berkembang menjadi kecurigaan, yang oleh api sekecil apa pun bisa meledak menjadi konflik lagi.

Benang merah 12 finalis bertumpu pada silang budaya yang sangat diharapkan menjadi jembatan emas menuju Indonesia yang multikultural. Pertukaran pelajar, perkawinan antarsuku, perpaduan dua kesenian, pembenihan multikulturalisme di pesantren, kesadaran bersaudara bagi tetangga terdekat, serta toleransi perayaan hari raya di sekolah menjadi simpul-simpul yang bisa dijadikan dasar pijakan mengembangkan konsep multikulralisme.

Negara tidak boleh ”cuma” menunggu akulturasi yang terjadi secara alamiah. Konsep akulturasi sudah dibenih lewat Bhinneka Tunggal Ika dan kemudian Pancasila. Negara tinggal merancang satu konsep dan wadah besar untuk menampung kegelisahan anak-anak muda bangsa ini. Kebinekaan itu bukan cuma jargon politik, tetapi keniscayaan yang mesti diamalkan, dirawat, serta terus dikembangkan menjadi rumusan-rumusan yang lebih operasional. Apa salahnya sesekali belajar dari yang muda.... ●
***

*) Wartawan Kompas. http://sastra-indonesia.com/2021/06/silang-budaya-suara-kaum-muda/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar