Wednesday, June 16, 2021

Mengarai Kata Menyinggasana Puisi

Abdul Kadir Ibrahim
tanjungpinangpos.co.id 02/02/2014
 
Kata: Akulah Puisi
Sekali lagi kita ajak para pemula dan sesiapa yang sudah merasa sebagai menulis puisi, tetapi mungkin merasa belum berhasil atau mengena, tiada jalan lain kecuali membaca puisi-puisi penyair lainnya yang sudah “jadi” dan selalu membaca dan mengubah secara mendalam puisi yang ditulis sendiri. Penulisan puisi boleh berangkat dari persoalan apapun, tetapi lagi-lagi ia tidak mengangkat persoalan ke dalam puisi sebagaimana faktanya seperti penulisan berita, reportase ataupun laporan. Puisi bahasa “istimewa” seni dan indah.
 
Kata Ignas Kleden dalam “Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan” (2004), dengan lain perkataan, puisi datang kepada kita bukan lewat gagasan atau ide. Seandainya pun ada ide yang harus disampaikan, komunikasi dan penerusan ide itu tidak dilakukan lewat konseptualisme, melainkan lewat nada, imaji, sentuhan dengan benda-benda, keterpesonaan pada warna dan cahaya atau impresi yang dirangsang oleh bunyi dan suara. Yang terjadi dalam puisi adalah peristiwa yang lain sama sekali wujudnya, yaitu “saya mengalami maka saya ada”.
 
Seperti kita tahu, pengalaman bukanlah perjumpaan intelektual dengan dunia, melainkan keterlibatan eksistensial di dalamnya. Dalam puisi terjadi transposisi pikiran menjadi pengalaman dan suasana, rindu menjadi getar dan perasaan, proposisi menjadi instuisi, dan intuisi menjadi vision tentang warna langit dan bau hutan, dan argumentasi yang tersusun rapi menjadi imaji yang liar berkejar-kejaran.
 
Dalam menulis atau membubuhkan judul karangan ataupun buku sekalipun, kata-katanya adalah kata-kata pilihan yang lazim pula tidak telanjang dan terang benderang, melainkan menyiratkan seni-sastra. Sebagai misal, lihatlah Bung Karno yang menulis banyak buku, antara lain berjudul Di Bawah Bendera Revolusi.Dari kata judul buku itu telah dengan sangat mengajuk-ajuk dan menggugah pikiran kita apa gerangan yang dimaksudkan dengan judul tersebut. Jikapun Bung Karno masih hidup, tidak ada relefansinya kita menanyakan apamakna dan maksud judul bukunya itu.
 
Hal terpenting adalah dari kata yang dipakainya sebagai judul bukunya itu telah memberi kita ruang untuk berpikir, menginterpretasi, menafsirkan, dan mengapresiasi sesuai dengan pikiran kita masing-masing. Tentang apa? Banyaklah jawabannya! Bahwa betapa kata diletakkan sebagai simbol, metafora atau perlambangan sebagai menyembunyikan makna dan maksud secara langsung, dan sebaliknya memainkan makna-maksud yang sangat menyentak, misteri dan indah. Apatah lagi kata-kata yang dipakai sebagai bangunan kalimat ataupun baris-baris puisi.
 
Sekali lagi, kita hendak menjadi penulis puisi (penyair) mau tak mau, suka tak suka bukan teori tentang puisi (sajak) yang mesti banyak dibaca, tetapi bagaimana volume, jumlah dan lamanya kita membaca karya puisi penyair yang ada. Dengan itulah kita dapat menemukan pola, bentuk, gaya dan jatidiri bagi puisi yang kita tulis. Sebagai ajukan, saya hendak berkisah apa yang saya alami belum lama ini yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan puisi di Indonesia. Adalah di penghujung tahun 2013 nyaris dalam waktu bersamaan saya menerima limabuku kumpulan puisi langsung dari penyair Indonesia yang begitu sudah punya nama.
 
Sungguh menggembirakan dan seketika diterima maka hanya dalam beberapa saat kemudian langsung hatamlah saya membacanya.Ada yang sayabaca di tempat acara, di hotel, di bandara ataupun di pesawat terbang. Buku puisi yang saya maksudkan, pertama, Ros karya Rida K Liamsi (Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2013), yang saya terima di Pekanbaru, 12 Oktober 2013. Kedua, Kopi, Kretek, Cinta karya Agus R Sarjono (Komodo Books, Depok, Juni 2013), yang saya terima dalam pesawat terbang tatkala penerbangan dari Bandara Raja Haji Fisabilillah, Tanjungpinang-Soekarno-Hatta, Jakarta, 29 November 2013. Ketiga, Air Mata Kopi karya Gol A Gong (Gong Publishing, Serang, Oktober 2013) yang saya terima di Rumah Dunia, Serang, Banten, 30 November 2013. Keempat, Rontaan Masehi karya Iwan Kurniawan (Terbit Press, Bogor, Juli 2013), yang saya terima di Tanjungpinang, 14 Desember 2013. Kelima, Di Bawah Tanah karya Raudal Tanjung Banua (Akar Indonesia, Yogyakarta, Oktober 2013) yang saya terima di sela-sela acara Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XVII di Pekanbaru, Riau.
 
Perlu saya sisipkan kabar pula, di samping kelima buku kumpulan puisi itu, saya juga menerbitkan sebuah kumpulan puisi, Mantra Cinta (Akar Indonesia, Yogyakarta, Agustus 2013). Buku kumpulan puisi ini sebagai menyertai kedelapan judul buku saya yang terbit tahun yang sama, yakni Tanah Air Bahasa Indonesia (Esai), Politik Melayu(Esai), Santet Tujuh Pulau (Kumpulan cerpen), Karpet Merah Wakil Presiden(Kumpulan cerpen), Tanjung Perempuan (Kumpulan cerpen), dan Harta Karun (Cerita anak dan remaja) yang masing-masing diterbitkan oleh Komodo Books, Depok, 2013. Kemudian Memburu Kasih Perempuan Sampan (Novel) diterbitkan Akar Indonesia, Yogyakarta, 2013 dan Kartini & Aisyah Sulaiman Cinta Sekian Mendalam (Esai) diterbitkan Melaz Grafika, Tanjungpinang, 2013.
 
Maksud kita mengemukakan judul-judul kumpulan puisi antara lain yang saya terima dalam tahun 2013 itu, tak lain sebagai memberi kabar kepada sesiapa saja peminat, penyuka dan penulis puisi (penyair), bahwa menulis puisi ataupun karya sastra lainnya bukan hanya sekedar menulis atau ditulis dengan tanpa kesungguhan, keseriusan dan pembelajaran. Ianya ditulis dengan pemikiran dan perenuangan yang sungguh-sungguh dan mendalam.
 
Jikapun dalam sekali waktu, sekali jalan langsung jadi, tetapi tidaklah bermakna bahwa puisi yang sudah ditulis itu dapat kukuh sebagai sebuah puisi. Ianya masih perlu dibaca ulang, disigi, direnyai, dipahami, diganti katanya, dan terus dipoles sehingga benar-benar memadailah dipandang sebagai puisi. Soal tema, obyek, gagasan, ide ataupun imajinasi sebagai pangkal ditulisnya puisi boleh bebas dan seluas-luasnya. Namun bukanlah sebagaimana tindakan seorang menulis laporan ataupun berita. Tentang hal ini sudah kita tekankan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya.
 
Rida K Liamsi, lahir di Singkep, Kepulauan Riau, 17 Juli 1943. Menulis puisi amat berbait dan bersebati dengan kesehariannya, negerinya, lingkungannya, budayanya dan apa-apa mengitarinya sepanjang perjalanan hidupnya. EDE X: Ada seribu mawar/ seribu merah/ seribu pagi/ basah// Tapi aku mau pergi/ dari satu ke lain malam/ Luluhkan sukma dalam gaung gaib/ gua resahku/ Karena seribu bunga layu/ dalam genggamanku/ Karena aku tak bisa berikan selamat pagiku/ pada kupu-lupu// Mawar merah/ pagi yang basah/ Jangan berikan selamat pagimu/ Pada bumi/ yang cemburu kupu-kupu/ berikan bau peluhmu. Agus R. Sarjono, lahir di Bandung, 27 Juli 1962. Sama halnya dengan Rida, menulis puisi amat jeli dan memahami serta memaknai apa-apa perkara yang berlaku di sekitarnya.Apa saja bagi Agus bisa menjadi puisi.
 
Selepas Perjamuan: Semua telah pergi. Di piring tinggal duri/ duri yang menganga.Jejak-jejak kaki/ di lantai dingin.Tumpahan saus/ nasi basin dan tulang-tulang ayam berserakan/ di paru-paruku. Dari jendela/ kulihat engkau di restoran lain/ bersendawa tak habis-habisnya// Di sebuah pinggan/ kulihat sepotong ikan bagai diriku/ terendam di kuah yang salah/ hingga rasanya kikuk dan masam di lidah. / Maka kukemasi diam-diam sisa bumbu/kulit bawang dan pecahan telur/ yang berserak dalam batinku. // Akupun belajar memasak bagi diriku/ sendiri. Sekali saja kau sebut kata perjamuan/ piring-piring di nadiku segera berderak pecah/ membikin hatiku luka parah.
 
Gol A Gong, lahir di Purwakarta, 15 Agustus 1963. Begitu mahir dan fasih mengambil segala apa yang berlaku dan dimati atau dialaminya sehingga menjadi puisi. Bagaimana peristiwa ia melampauwi banyak daerah di Indonesia tertuang dalam puisinya. Salah satunya tentang bagaimana perempuan malam dan hidung belang di Pulau Serindit, Bunguran, Natuna. Yang sungguh mati, apa gerangan sehingga beberapa tahun terakhir ini sudah “berkeliaran” perempuan yang dulu dikatakan orang sebagai “pelacur”.
 
Semakin menghenyakkan hati, terjadi di dalam “Kota Bunguran Timur”. KOPI PANGKU: Seorang wanita Jawa menanak air laut/ senja robek di Natuna selatan China/ kursi-kursi berjejer di pasir kasar/ kopi plastik dipajang siap ditawarkan/ diaduk keruh dengan gula sembilu/ keringat bercampur lenguh kuda binal. // “Malam dingin di Natuna, apakah langit/ Penuh bintang?” isteriku tersenyum di rumah./ Kujawab, “Hanya ada wajahmu di bintang.”// Wanita Jawa menyiapkan kursi pengantin/ menanyakan apa maharnya kepadaku/ dipersilahkannya gadis muda dipangku/ segelas kopi dalam genggaman kucing nakal/ meliuk musik hasrat sekarung keringat. // Setiap menghitung satu gelas kopi plastik/ diaduk dengan desahan panjang/ “Hilang lagi satu anakku,” tulisnya pilu.// Kau tahu Jakarta melipat ini di balik map/ tak peduli negeri tetangga memanjakan/ aku si pengembara menandai di buku harian/ kopi di negeriku terancam kedaulatan/ kopi diaduk kopi dipangku/ rasanya tak sepadan dengan harga diri. (Ranai, Natuna, 26 Oktober 2011).
 
Iwan Kurniawan, lahir di Nusa Tenggara Timur. Penyair muda Indonesia ini juga menulis puisi yang pada intinya terlihat benar sebagai puisi kritik sosial atau menyangkut persoalan sosial, di samping keagungan Tuhan. Tapi mesti begitu sama sekali tidak ada puisinya yang berapi-api sebagaimana pidato, ceramah atau tulisan opini (esai) lazim dihidangkan di hadapan khalayak dengan terus terang, dan menggugah, mengajak, menyuruh atau bahkan menegah untuk jangan atau tidak berbuat buruk atau salah. Tetap: tetaplah di sini, Ibu/ belum selesai malam mengucapkan selamat tinggal/ sebelum matahari merah timbul besok// tetaplah di sini saja/ perjuangan masih berlangsung/ dua mata api belum terbakar oleh gerhana perjanjian// busur-busur tertancap pada tiang/ hanya temali mengisyaratkan/ pada bekas memar di tapak kakimu// berjalan di sini saja, Ibu/ pabrik-pabrik belum tertutup/ dua bulldozer baru saja meratakan temboknya// berjalan di sini saja/ botol-botol vodka digilas/ ruangan berjemur dengan kerikil dan batu// tetaplah di sini, Ibu/ penjara hanya rumah kedua/ mengurung para nasionalis, koruptor, dan penjahat berdasi/ terali-terali melingkar pada baja dan besi/ membukakan lubang kecil bagi keledai// satu halaman kecil/ masih bisa bermain dan bercanda/ memaksakan angina untuk tidak masuk/ melewati jendela tanpa kain gorden// tetaplah di sini, Ibu/ dinding buta menjelma baja/ dentuman waktu sebentar lagi meledak/ melantarkan anak cucu dari tanah yang kita sebut Indonesia.
 
Terakhir, Raudal Tanjung Banua, yang lahir di Langsano, Kanagarian Taratak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Bagaimana Raudal menghidangkan betapa sentralnya sosok seorang ibu dan begitu juga kekasih. Penuh hormat, kasih-sayang, kesetiaan dan kerinduan.Tiada lagi sepantas cinta selain kepada bunda. Laci: ibu dan kekasih yang cemburu/ bagiku selalu baru/ seperti buku puisi/ tersimpan di laci tak terkunci/ ngengat mengerat/ anak-anak kalimat, kujadikan pengingat/ wajah ibu yang sabar serta surat kekasih/ rindu menanti, tetapi aku lama/ kembali: maka kucari ibu dan kekasih baru/ dalam puisi apa saja yang kumau.
 
Temukan Pukaunya Kata
Melayang awan/ embun rebas/ selembar daun kemunting terbang/ gelisah hati/ kekasih ke mana memantau!
Kita lihat dan baca puisi Ahad, 12 Januari 2014. Ditulis oleh 4 orang, Novita Tri P dengan puisinya “Suryaku”, Fanny Silvia dengan puisi “Mama” dan “Melangkah”, Giovanni dengan puisi “Harapan yang Sia-sia”, dan Adelia Lintang dengan puisi “Cinta Sejati”. Novita Tri P dapat diselam kedalaman puisi begitu mengagungkan ibu.Hampir seluruh baris puisinya menggunakan kata-kata sebagai mengisyaratkan demikian hebat dan luar biasanya ibu.
 
Tampak ikhtiar penyair ini untuk menempatkan metafora dalam puisinya. Hanya saja sebagian besar kata-kata metafora yang digunakan terkesan hanya menjadi kata ganti untuk ibu. Dikau bagai embun di pagi hari/ Menyambut matahari terbit/ Dikau bagai sinar matahari/ yang menyhinari kehidupanku/ Dikau bagai rembulan/ Yang sinarnya meneduhkan jiwaku/…Terlihat betapa masih perlu upaya untuk menyelami ke dalaman kata dalam penyajian puisi sehingga indah dan memukau.
 
Puisi Fanny Silvia yang berjudul “Mama” tak jauh beda dengan puisi Novita. Seluruh kata-kata puisinya adalah menuturkan tentang pengorbanan dan perjuangan ibu untuk anaknya. Begitu biasa bahasanya dan perlulah diikhtiarkan agar kelak lahirlah puisi tentang ibu yang mempesona. Mama…/ engkau adalah wanita yang hebat/ kau bagaikan bidadari dalam hidupku/ Mama…/….. Kemudian dalam puisi “Melangkah” Fanny Silvia, bagaimana pula kata puisinya.Saat jarak dinanti telah tiba/ Dan kita mulai melangkah maju/ Singkirkan arang (aral-Pen.) yang melintang/….. Sayang sekali kata-kata menjadi sekedar rangsangan, memotivasi, dorongan atau menyemangati sebagaimana lazimnya kata-kata dalam ceramah atau petuah biasa saja.
 
Puisi Giovanni “Harapan yang Sia-sia” sejatinya masih sebagai keluhan dan kegalauan yang dihidangkan dengan lazim dan lurus saja. Kata-kata pilihan dan tidak telanjang sayang sekali belum muncul.Sehingga menjadikan keseluruhan puisinya penuturan biasa juga. Pun puisi Adelia Lintang Kirana “Cinta Sejati” juga puja-puji terhadap ibu.
 
Meski demikian lebih elok dibanding puisi yang disebutkan di atas.Hanya saja masih belum mendalam dan kering. Kubangun istana cinta di atas setiaku/ Kulindungi dindingnya dengan/ percayaku….. Meski demikian, Novita, Fanny, Giovanni dan Adelia sudah menunjukkan ada kelebat kata yang nampak sehingga selanjutnya akan dapat melahirkan puisi yang sebagaimana dikenal luas.
 
Puisi Ahad, 19 Januari 2014 terdapat lima buah karya E. Naz Achmad. Dalam kaitan puisi-puisi penulis ini niscayalah berkaitan erat dengan pembahasan kita terdahulu. Pada arahan kita sebelumnya dan kali ini kembali dapat kita katakan puisi penyair ini amat mengkhususkan dan menampilkan pada persajakan dari akhir setiap baris. Dia begitu produktif menulis puisi, dan tentu kita berharap banyak kepadanya muncul ikhtiar dalam menyergamkan dan menyanggamkan puisi-puisinya.
 
Barangkali waktulah yang akan memberi laluan dan mengubahnya. Tapi sebelum itu sekali lagi perlu E. Naz Achmad meknai benar bahwa puisi sama sekali bukan sekedar peringatan, kabar, ajakan, himbauan ataupun sumpah-seranah. Puisi adalah kata pilihan, yang bernas, motafora, berisi dan seni.Coba kita salami penggalan puisinya “Percakapan”. Gunakanlah bahasa yang baik/ Ketika kita berada di mana saja/ agar fenomena memberikan keakraban/ …..
 
Selanjutnya pada Ahad, 26 Januari 2014 ada enam puisi karya Ferry “Kehilangan”, “Sahabat Terbaik”, “Hilang Semangatku”, dan “Sinar Mentariku”. Karya Yulia Sahbi “Bintang Kecilku” dan Machmudy Al-makkar menulis dalam bahasa inggris. Baik Ferry maupun Yulia serirama juga menampilkan puisi dengan penulis yang disebutkan di atas. Perlu banyak dan serius belajar menulis puisi dan membaca puisi-puisi penyair lainnya yang sudah jadi. Tidak ada salahnya bagi nama-nama yang kita sebutkan di atas dan lainnya untuk bertanya dan mendiskusikan puisi-puisinya kepada para guru, dosen atau penyair yang ada di kotanya masing-masing.
***

Tanjungpinang, 29 Januari 2014. http://sastra-indonesia.com/2014/06/mengarai-kata-menyinggasana-puisi/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar