Dwi Pranoto *
Tulisan Wicaksono Adi yang diposting hari ini di status facebooknya; Karya, Nama, Media (Main-Main A.S Laksana); mungkin membuat A.S Laksana manggut-manggut setuju. (Apalagi dengan komentar Juru Baca yang menyatakan A.S Laksana “terlalu besar” untuk sastra nasional). Tinjauan Wicaksono Adi tampaknya mau melampaui pembahasan umum, dipicu oleh “Pengakuan Terbuka” A.S Laksana, yang berkisar antara plagiarisme dan pengujian. Wicaksono Adi melarikan pembahasan “perbuatan A.S Laksana” pada tegangan antara kreativitas personal dengan kreativitas kolektif; antara individu kreatif (jenius) dengan kondisi-kondisi kreatif; dan antara institusi (media) konvensional dengan institusi non-konvensional. Namun, sesungguhnya tulisan Wicaksono Adi tersebut secara umum melenceng dari “Pengakuan Terbuka” A.S Laksana maupun “Terima Kasih” yang diposting kemudian oleh A.S Laksana pada status facebooknya. Karya, Nama, Media, tidak membahas perbuatan A.S Laksana yang mempresentasikan karya orang lain sebagai karya dirinya sendiri dan niat pengujian atas kebijakan redaktur dalam penyeleksian karya untuk dimuat di media tertentu. Jikapun tulisan Wicaksono Adi tersebut tidak boleh disebut melenceng, tulisan tersebut berupaya menetralkan plagiarisme dan memberikan alamat institusi (media) lain. Namun demikian, kita akan coba bahas tulisan Wicaksono Adi tersebut.
Kita mungkin harus menanyakan apa yang dimaksud “karya” pada judul Karya, Nama, Media. Berdasarkan pembacaan saya, pembahasan karya pada tulisan Wicaksono Adi dirancukan dengan bagaimana karya tersebut dibuat. Karya tidak diposisikan sebagai titik tolak bagaimana kreativitas dipahami. Karya hiper-realis pelukis Cina, sebagai misal, berkait dengan penolakannya terhadap kreativitas personal (sidik jari), tidak ditinjau sebagai produk dari suatu lingkungan (ekosistem) kultural yang luas, tapi lebih didudukan sebagai karya yang diproduksi oleh painter-master dan para artisan. Bagaimanapun, tinjauan semacam itu tidak membatalkan atau “terhapusnya” sidik jari pada karya. Gagasan atau ide yang tertuang dalam karya hiper-realis tersebut tetap saja merupakan gagasan atau ide personal yang proses produksi untuk mewujudkannya sebagai karya material dibantu, atau bahkan dikerjakan sepenuhnya, oleh (para) artisan yang diawasi pengerjaannya oleh painter-master. Peran painter-master di sini barangkali bisa dibandingkan secara kasar dengan peran star-curator yang peran “maha-kuasanya” memposisikan seniman rupa sebagai pengrajin atau kaki-tangan yang mewujudkan ide-idenya dalam even-even seni rupa. Tentu saja, praktik yang dilakukan pelukis hiper-realis Cina tersebut sama sekali bukan skandal jika dibandingkan dengan peran star-curator yang membalik curator follow artist menjadi artist follow curator. Apa yang mau dikatakan di sini, bahwa karya sebagai produk kreativitas personal bertumpu pada kepemilikan gagasan/ide, bukan bagaimana ide tersebut dimaterialkan sebagai karya. Oleh karena itu seberapa banyak editor melakukan kerja penyuntingan, suatu karya, cerpen misalnya, tetap dinisbahkan pada pengarangnya.
Pembahasan mengenai karya sebagai titik tegang antara kreativitas personal dan kreativitas kolektif menjadi kacau saat membandingkannya dengan tradisi lisan dan kasus Langit Makin Mendung-nya Kipandjikusmin. Karya dalam tradisi lisan diproduksi secara kolektif dan berfungsi dalam ekosistem kolektif. Cerita Si Ta/enggang yang merupakan cerita lisan ekosistem orang “Asli” (istilah lain untuk orang “Asli” ini adalah orang “Sakai” yang punya konotasi merendahkan) diproduksi oleh orang “Asli” yang berfungsi untuk mentransmisikan pengetahuan dan menandai geo-spasial wilayah hidup mereka. Saat cerita lisan Si Tenggang diambil alih dengan ditulis ulang oleh Walter William Skeat tahun 1900, cerita itu sekaligus dilepaskan dari bingkai ekosistem orang Asli dan dibingkai dalam ekosistem yang lebih luas. Dampaknya adalah Si Tenggang keluar dari penutur “berdagingnya” dan memasuki kerajaan simulakra bahasa. Si Tenggang menjadi semakin jauh dari orang “Asli” saat cerita lisan itu ditulis ulang oleh Abdul Samad Ahmad pada tahun 1955 yang menghapus alusi pada orang Asli. Artinya, cerita lisan tidak menempati titik tegang antara kreativitas personal dan kreativitas kolektif. Cerita lisan menempati titik tegang antara kreativitas personal dengan kreativitas kolektif saat ia dituliskan dan didistribusikan secara luas. Lebih parah lagi bila titik tegang tersebut dibandingkan dengan kasus Kipandjikusmin yang menganggap H.B Jassin mengambil alih sidik jari Kipandjikusmin (siapapun pengarang itu). H.B Jassin duduk di pengadilan di depan majelis Hakim dengan pledoi “Imajinasi di Depan Hakim” tidak sebagai pengarang Langit Makin Mendung, tapi sebagai redaktur majalah Sastra.
Pembahasan karya sebagai produk kreativitas kolektif tidak paralel dengan bagaimana seberkas ide/gagasan diproduksi sebagai produk material karya. Tapi lebih menginvestigasi bagaimana ide atau gagasan dalam suatu karya (baik karya yang dikerjakan sendiri atau kolektif/kolaboratif) merupakan produk dari lingkungan/ekosistem kultural yang luas. Lingkungan kultural yang luas itu, paling tidak, mencakup variabel-variabel seperti sejarah, politik, ekonomi, dan pendidikan. Celakanya, diskusi atau pembahasan tentang ekosistem seni/sastra di Indonesia seringkali dibataskan pada jaringan distribusi dan proses produksi seni/sastra sebagai karya yang bersifat material. Pembahasan ekosistem sastra, misalnya, sering akan terpaku hanya pada penulis/pengarang, media, dan pembaca. Tampaknya, hal yang sama pulalah yang menjadi “spirit” tulisan Wicaksono Adi. Padahal pembahasan tentang ekosistem seni/sastra lebih membasis pada filsafat post-human dengan pendekatan ekologi kultural yang memandang fenomena seni/sastra sebagai material-diskursive di mana peran pusat manusia pencerahan (antrophosentris) dirobohkan secara radikal.
Dalam tulisan ini saya tidak membahasa “Nama” dan “Media”, bagaimanapun, saya cenderung sepakat dengan “Nama” sebagai individuasi karya, paling tidak, dimulai dengan ditemukannya gagasan individu “telanjang”. Sementara, “media” (massa) memang mempunyai konvensi tersendiri untuk menyeleksi karya. Namun, memberikan tempat pada perbuatan A.S Laksana pada tegangan antara kreativitas personal dan kreativitas kolektif, tak bisa lain, merupakan kekeliruan.
15 Juni 2021
*) Dwi Pranoto, sastrawan dan penerjemah, tinggal di Jember, Jawa Timur.
Catatan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2021/06/plagiarisme-pengujian/
Catatan terkait: http://sastra-indonesia.com/2021/06/skandal-cerpen-bidadari-bunga-sepatu-karya-afrilia-dan-pengakuan-terbuka-a-s-laksana/
http://sastra-indonesia.com/2021/06/kreativitas-personal-dan-kreativitas-kolektif/
No comments:
Post a Comment