Tuesday, June 15, 2021

KREATIVITAS PERSONAL DAN KREATIVITAS KOLEKTIF

(Jangan "Bermain-Main" dengan Main-Main A.S Laksana)
 
Dwi Pranoto *
 
Tulisan Wicaksono Adi yang diposting hari ini di status facebooknya; Karya, Nama, Media (Main-Main A.S Laksana); mungkin membuat A.S Laksana manggut-manggut setuju. (Apalagi dengan komentar Juru Baca yang menyatakan A.S Laksana “terlalu besar” untuk sastra nasional). Tinjauan Wicaksono Adi tampaknya mau melampaui pembahasan umum, dipicu oleh “Pengakuan Terbuka” A.S Laksana, yang berkisar antara plagiarisme dan pengujian. Wicaksono Adi melarikan pembahasan “perbuatan A.S Laksana” pada tegangan antara kreativitas personal dengan kreativitas kolektif; antara individu kreatif (jenius) dengan kondisi-kondisi kreatif; dan antara institusi (media) konvensional dengan institusi non-konvensional. Namun, sesungguhnya tulisan Wicaksono Adi tersebut secara umum melenceng dari “Pengakuan Terbuka” A.S Laksana maupun “Terima Kasih” yang diposting kemudian oleh A.S Laksana pada status facebooknya. Karya, Nama, Media, tidak membahas perbuatan A.S Laksana yang mempresentasikan karya orang lain sebagai karya dirinya sendiri dan niat pengujian atas kebijakan redaktur dalam penyeleksian karya untuk dimuat di media tertentu. Jikapun tulisan Wicaksono Adi tersebut tidak boleh disebut melenceng, tulisan tersebut berupaya menetralkan plagiarisme dan memberikan alamat institusi (media) lain. Namun demikian, kita akan coba bahas tulisan Wicaksono Adi tersebut.
 
Kita mungkin harus menanyakan apa yang dimaksud “karya” pada judul Karya, Nama, Media. Berdasarkan pembacaan saya, pembahasan karya pada tulisan Wicaksono Adi dirancukan dengan bagaimana karya tersebut dibuat. Karya tidak diposisikan sebagai titik tolak bagaimana kreativitas dipahami. Karya hiper-realis pelukis Cina, sebagai misal, berkait dengan penolakannya terhadap kreativitas personal (sidik jari), tidak ditinjau sebagai produk dari suatu lingkungan (ekosistem) kultural yang luas, tapi lebih didudukan sebagai karya yang diproduksi oleh painter-master dan para artisan. Bagaimanapun, tinjauan semacam itu tidak membatalkan atau “terhapusnya” sidik jari pada karya. Gagasan atau ide yang tertuang dalam karya hiper-realis tersebut  tetap saja merupakan gagasan atau ide personal yang proses produksi untuk mewujudkannya sebagai karya material dibantu, atau bahkan dikerjakan sepenuhnya, oleh (para) artisan yang diawasi pengerjaannya oleh painter-master. Peran painter-master di sini barangkali bisa dibandingkan secara kasar dengan peran star-curator yang peran “maha-kuasanya” memposisikan seniman rupa sebagai pengrajin atau kaki-tangan yang mewujudkan ide-idenya dalam even-even seni rupa. Tentu saja, praktik yang dilakukan pelukis hiper-realis Cina tersebut sama sekali bukan skandal jika dibandingkan dengan peran star-curator yang membalik curator follow artist menjadi artist follow curator. Apa yang mau dikatakan di sini, bahwa karya sebagai produk kreativitas personal bertumpu pada kepemilikan gagasan/ide, bukan bagaimana ide tersebut dimaterialkan sebagai karya. Oleh karena itu seberapa banyak editor melakukan kerja penyuntingan, suatu karya, cerpen misalnya, tetap dinisbahkan pada pengarangnya.
 
Pembahasan mengenai karya sebagai titik tegang antara kreativitas personal dan kreativitas kolektif menjadi kacau saat membandingkannya dengan tradisi lisan dan kasus Langit Makin Mendung-nya Kipandjikusmin. Karya dalam tradisi lisan diproduksi secara kolektif dan berfungsi dalam ekosistem kolektif. Cerita Si Ta/enggang yang merupakan cerita lisan ekosistem orang “Asli” (istilah lain untuk orang “Asli” ini adalah orang “Sakai” yang punya konotasi merendahkan) diproduksi oleh orang “Asli” yang berfungsi untuk mentransmisikan pengetahuan dan menandai geo-spasial wilayah hidup mereka. Saat cerita lisan Si Tenggang diambil alih dengan ditulis ulang oleh Walter William Skeat tahun 1900, cerita itu sekaligus dilepaskan dari bingkai ekosistem orang Asli dan dibingkai dalam ekosistem yang lebih luas. Dampaknya adalah Si Tenggang keluar dari penutur “berdagingnya” dan memasuki kerajaan simulakra bahasa. Si Tenggang menjadi semakin jauh dari orang “Asli” saat cerita lisan itu ditulis ulang oleh Abdul Samad Ahmad pada tahun 1955 yang menghapus alusi pada orang Asli. Artinya, cerita lisan tidak menempati titik tegang antara kreativitas personal dan kreativitas kolektif. Cerita lisan menempati titik tegang antara kreativitas personal dengan kreativitas kolektif saat ia dituliskan dan didistribusikan secara luas. Lebih parah lagi bila titik tegang tersebut dibandingkan dengan kasus Kipandjikusmin yang menganggap H.B Jassin mengambil alih sidik jari Kipandjikusmin (siapapun pengarang itu). H.B Jassin duduk di pengadilan di depan majelis Hakim dengan pledoi “Imajinasi di Depan Hakim” tidak sebagai pengarang Langit Makin Mendung, tapi sebagai redaktur majalah Sastra.
 
Pembahasan karya sebagai produk kreativitas kolektif tidak paralel dengan bagaimana seberkas ide/gagasan diproduksi sebagai produk material karya. Tapi lebih menginvestigasi bagaimana ide atau gagasan dalam suatu karya (baik karya yang dikerjakan sendiri atau kolektif/kolaboratif) merupakan produk dari lingkungan/ekosistem kultural yang luas. Lingkungan kultural yang luas itu, paling tidak, mencakup variabel-variabel seperti sejarah, politik, ekonomi, dan pendidikan. Celakanya, diskusi atau pembahasan tentang ekosistem seni/sastra di Indonesia seringkali dibataskan pada jaringan distribusi dan proses produksi seni/sastra sebagai karya yang bersifat material. Pembahasan ekosistem sastra, misalnya, sering akan terpaku hanya pada penulis/pengarang, media, dan pembaca. Tampaknya, hal yang sama pulalah yang menjadi “spirit” tulisan Wicaksono Adi. Padahal pembahasan tentang ekosistem seni/sastra lebih membasis pada filsafat post-human dengan pendekatan ekologi kultural yang memandang fenomena seni/sastra sebagai material-diskursive di mana peran pusat manusia pencerahan (antrophosentris) dirobohkan secara radikal.
 
Dalam tulisan ini saya tidak membahasa “Nama” dan “Media”, bagaimanapun, saya cenderung sepakat dengan “Nama” sebagai individuasi karya, paling tidak, dimulai dengan ditemukannya gagasan individu “telanjang”. Sementara, “media” (massa) memang mempunyai konvensi tersendiri untuk menyeleksi karya. Namun, memberikan tempat pada perbuatan A.S Laksana pada tegangan antara kreativitas personal dan kreativitas kolektif, tak bisa lain, merupakan kekeliruan.
 
15 Juni 2021
 
*) Dwi Pranoto, sastrawan dan penerjemah, tinggal di Jember, Jawa Timur.
Catatan sebelumnya:  http://sastra-indonesia.com/2021/06/plagiarisme-pengujian/
 
Catatan terkait: http://sastra-indonesia.com/2021/06/skandal-cerpen-bidadari-bunga-sepatu-karya-afrilia-dan-pengakuan-terbuka-a-s-laksana/
 
http://sastra-indonesia.com/2021/06/kreativitas-personal-dan-kreativitas-kolektif/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar