Friday, May 28, 2021

Estetika Kekerasan dalam Pandora

Melani Budianta *
majalah.tempointeraktif.com
 
Penyair Oka Rusmini memperlakukan tubuh bagai menu santapan. Puisi yang menohok kemunafikan.
 
Pandora, dalam versi yang umum diketahui, adalah perempuan yang diciptakan para dewa dan dikirim ke bumi dengan kecantikan, kepandaian, dan rasa ingin tahu yang tinggi. Kepadanya diberikan pula sebuah peti yang tak boleh dibuka, dan pada akhirnya—tak bisa tidak—dibukanya. Maka segala bencana, penyakit, dan malapetaka menyebar dari peti. Pakar feminis menemukan asal muasal Pandora dalam mitologi klasik sebagai dewi pemberi hadiah, yang entah bagaimana diubah sosoknya menjadi perempuan pembawa segala kesialan.
 
Apa jadinya jika peti Pandora bukan berisi hama dan bibit penyakit, melainkan kemampuan perempuan penyair—seperti Oka Rusmini—untuk menulis dan mengungkapkan rahasia hidup? Peti yang satu ini lebih berbahaya. Jika nekat dibuka, berbagai aspek kehidupan yang tak ingin kita lihat dari lubuk hati terdalam berloncatan, dan dengan garang menyergap serta mencabik-cabik diri kita.
 
Keberhasilan sebuah puisi—menurut Acem Zamzam Noor—diukur dari sejauh mana puisi itu ”membuat bulu kuduk berdiri”. Pandora karya Oka Rusmini yang diterbitkan bulan lalu dapat dipastikan mencapai hal ini. Seperti diuraikan di catatan penutup, penyair Bali ini ”menyajikan tubuh sebagai menu santapan”. Dalam sajak Kepompong, aku lirik ”mulai pandai menanak hati, juga jantung, dengan sop darah yang kuisap dari permainan ini”. Dua ranah imaji yang bertolak belakang disatukan, yakni imaji santapan dan imaji-imaji dengan konotasi yang menghilangkan selera makan, seperti nanah, daging berbelatung, dan lemak amis.
 
Relasi laki-laki-perempuan, ibu, ayah dan anak dibingkai imaji kekerasan: ”perempuan yang rajin sekali menerkam tubuhku dengan mulutnya”, laki-laki ”menusukkan beratus pensil warna-warni ke jantungku”, janin yang ”mencungkili daging tubuh”, dan alam yang menjadi saksi keliaran metafora tubuh.
 
Jadi, kalau Oka mengumumkan akan memasuki fase sajak yang bersifat ”prosaik” dalam kata pengantar, jangan mengharap akan dipandu oleh narasi linear. Penalaran logis tak cukup menyiapkan kita pada hamburan yang meletup dari peti Pandora. Kita tidak bisa menahan kata demi kata itu satu per satu. Tak ada jalan lain kecuali membiarkannya berhamburan, dan kita pun mendengarnya tanpa harus berpegang pada makna, membiarkan diri larut dalam gejala ”paranoia” atau ”skizofrenia”. Perlahan, berulang-ulang estetika kekerasan itu membentuk polanya sendiri—walau mungkin berbeda dengan simbolisme personal yang dimaknai oleh Oka, yang menyimpan kunci petinya.
 
Siklus hidup berputar bukan di tataran Mahameru, tapi dalam kehidupan sehari-hari. Di ruang tunggu dokter kandungan, sajak-sajak Oka, seperti Gestural, Vagistin, Embrio, terasa mengasyikkan. Dan siapa pun yang berani mengakui benci tapi rindu, sayang tapi berang, hormat sekaligus jengah terhadap ”laki-laki yang pernah menanam” dirinya akan menangkap nuansa ”Lelaki yang Memadamkan Bintang di Matanya”. Bagi saya sebagai seorang ibu, sajak-sajak Pasha, Den Haag, Lelakiku dan Spora, Ketika Kau Sakit, mengungkap karut-marut gairah sekaligus gelisah seorang ibu dengan menggetarkan, tanpa terbebani mitos-mitos.
 
Dalam keliaran imaji yang saling menerkam dalam Pandora, di antara aroma dupa dan bunyi genta, kita mendengar lagu purba, siklus kehidupan manusia. Kelahiran, periode dewasa, dan kematian dilantunkan dengan nuansa berbeda-beda, dari yang bergelegak sampai yang mengalun lirih. Sementara Pandora dibuka dengan letupan: ”Sebuah pintu kubuka dengan darah”, sajak-sajak penutup mengendurkan napas. Sajak Fatamorgana 1 diawali dengan diksi kental kekerasan, tapi ditutup nyaris lembut: ”Kalau kutemukan lelaki yang pandai menyisir akar-akar otakku/aku akan membawa makhluk itu pulang. Biar ia menjaga sisa/usiaku.”
 
Melalui estetika kekerasan, Pandora menyentakkan kita dari kemapanan, menyadarkan kita akan yang kita sembunyikan di bawah basa-basi, dan menohok kemunafikan. Pada saat yang sama, kita dihadapkan pada kosmologi yang menerima kekerasan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Gaya semacam ini mengandung kekuatan sekaligus risiko. Jika metafora ”perempuan yang mencangkuli tubuhnya sendiri” dan serentetan kiasan serupa terus-menerus diulang, kejutannya akan melemah.

*) Guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. http://sastra-indonesia.com/2009/02/estetika-kekerasan-dalam-pandora/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar