Tuesday, April 20, 2021

Umbu, Humba, Wabah

Raudal Tanjung Banua *
Jawa Pos, 11 April 2021
 
Kabar duka guru kami, Umbu Landu Paranggi, 78, menyeruak di tengah duka banjir bandang dan badai Seroja, Nusa Tenggara, tanah asalnya.
 
Sabtu (3/4) Umbu dibawa ke RS Bali Mandara sebagaimana 2014 ia pernah dibawa ke Rumah Sakit Sanglah. Tak ada protokol khusus. Penyair Ketut Syahruwardi Abbas yang ikut mengantar segera melakukan rapid test dan hasilnya negatif.
 
Hanya dua hari Umbu bertahan. Selasa (6/4) pukul 03.55 Wita ia menutup mata selama-lamanya, tak lama setelah ia berkata, ”Inilah saatnya!”
 
Seperti Amir Hamzah, pangeran Kesultanan Langkat, Umbu adalah bangsawan Sumba di kabihu Tana Humba. Jika Amir pulang membawa rindu-dendam dari tanah Jawa dan tak pernah lagi punya kesempatan kedua keluar Sumatera hingga ia terbunuh dalam revolusi sosial berdarah, Umbu juga pulang ke Sumba, dari Jogja, 1975.
 
Tapi, Umbu punya kesempatan kedua keluar Sumba. Tahun 1981 ia menuju Bali. Saya duga juga membawa semacam rindu dendam –terbaca dari ungkapannya: raja diraja sekaligus budak belian di kerajaan purbani, jadikan lidah anak lakimu bisu abadi, pukul rata tanahlah!
***
 
Kepergian Umbu ke Jogja tak termasuk eksemplar ”rindu-dendam” itu, sebab ia memang dikirim kakek dan ayahnya untuk belajar sebagaimana keinginannya.
 
(”Saya takjub sekali dengan nama Taman Siswa. Betapa indah pilihan kata itu. Ayah dan kakek mendukung dengan menjual kudanya. Sayang saya terlambat mendaftar karena kapal lama berhenti di Singaraja, tapi saya bisa turun ke Kota Panji Tisna,” ceritanya suatu kali. Ketakjuban pada ”kata” dan hormat pada sosok pengarang tampak bermula dari sini).
 
Kepulangannya dari Jogja tak membawa rindu dendam sebagaimana Amir pulang dari Surakarta –berpisah dengan gadis Jawa dambaannya, sementara ia harus menikah dengan sepupunya demi trah dan silsilah. Tentu Umbu punya kisah percintaan tak sampai juga. Paling terkenal adalah cinta platoniknya dengan seorang gadis yang membuatnya setia menunggu bus, tapi itu romantisisme.
 
Umbu menikah dengan gadis Sumba, masih sepupunya, bukan karena dipaksa. Mereka menjalin hubungan baik sejak Umbu di Jogja dan sang gadis di Salatiga. Bersamanya Umbu punya tiga anak: Umbu Andang Paranggi, Rambu Anarara Paranggi, dan Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi.
 
Pulang ke Sumba, Umbu rajin berkeliling ke kabihu-kabihu (kampung-kampung adat) di kawasan Mahukarera, Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur. ”Kabihu leluhur kami terpelihara sejak lama dan kakek tidak diangkat Belanda, bahkan berperang melawan Belanda,” kata putra bungsunya, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi.
 
Salah seorang adik tiri Umbu pernah mengenang betapa menyenangkan berkeliling bersama kakak tertuanya itu. Kemungkinan Umbu tinggal-menetap, kesetiaannya merawat tradisi Marapu nyata terlihat, dan bagi sang adik itu isyarat ia bakal betah bertahan. Ini menggembirakan keluarga besar dan kerabat.
 
Tetapi, saat itulah ia justru meninggalkan Sumba kembali, kali ini ke Tanah Dewata, Bali. Inilah periode kedua dari perjalanan pengembaraan Umbu yang paling ”penuh rahasia”. Berbeda dengan Amir Hamzah, Umbu menjauh dari tempat seharusnya ia bertakhta. Jika Amir membawa rindu dendam dari luar, Umbu menghelanya dari dalam. Sungsang. Tak terbilang.
***
 
Ada apa Umbu harus pergi setelah memutuskan pulang? Saya yakin pasti ada sesuatu dan tak pernah terungkap! Selama ini lazim kita dengar alasan klasik jika bukan romantik: memenuhi panggilan kepenyairan. Itu sudah jelas. Tapi, adakah alasan spesifik yang membuatnya ”terdera” sebagai manusia dan (calon) raja?
 
Tak ada gejolak di Humba. Semua kabihu senang atas kepulangan Umbu. Sebagai anak lelaki tertua Bapa Raja, ia dianggap sosok pemersatu. Tapi, ternyata ada gejolak lebih besar: gejolak dalam diri. Sebutlah: gejolak individual seorang penyair!
 
Ia telah melihat dunia luar yang egaliter, sementara dunia kampung halaman masih feodal. Ia telah mencecap pahit-manis dunia kepenyairan, sementara kampung adalah dunia puak dengan segala prosesi dan ritual. Bisakah ia bertahan?
 
”Jogja membuat bapak menjadi sangat egaliter. Ini berbeda dengan peran di kabihu yang hierarkis,” kata Wulang, anak yang ditinggalkannya masih dalam kandungan. Meski baru saat mau kuliah Wulang kali pertama bertemu sang ayah, anak laki-laki bungsu yang mewarisi wajah karismatik Umbu itu bisa merumuskan posisi ayahnya dengan baik.
 
”Jika beliau tetap di kampung, mungkin perangkat puitiknya akan dipereteli keadaan. Ia pilih keluar. Ini sekaligus membuka buhul hierarkis pada anak-cucunya sehingga kami menjadi anak-anak Sumba yang egaliter dan berpikir lebih maju,” lanjut Wulang. Tak ada kesumat. Tak tersirat gugatan.
 
Kalau demikian, Umbu bertarung dengan gejolak dirinya, dalam apa yang pernah ia sebut di sebaris sajaknya sebagai ”kesepian moderna”! Dunia kita kini: ramai dengan penemuan, citra dan kehendak, tapi terasa gerowang, hampa, dan nyaris sia-sia.
 
Dan Umbu, sebagaimana tersirat dalam ”Sajak Kecil”, menghadapinya dengan memercayai kekuatan kata-kata: dengan mencintai/puisi-puisi ini/sukma dari sukmaku/terbukalah medan laga/sekaligus kubu/hidup tak kan pernah aman/kapan dan di mana pun/selamanya terancam bahaya/dan kebenaran sunyi itu/penawar duka bersahaja…
 
Kini, di tengah ”kesepian moderna” yang menjalar ibarat wabah, kita diuji dengan pandemi Covid-19. Dunia sibuk merumuskan aturan dan strategi. Kadang, hal-hal pokok justru terlupakan. Bagaimana orang kecil bisa makan jika tak bekerja, misalnya. Bagaimana kematian sebagai ritual terakhir manusia di dunia kadang diabaikan –atau terpaksa diabaikan– seolah tiada dimensi spiritual dan sosial menyelubunginya. Seolah tiada jalan menebusnya!
 
Saat ini saya tulis, sudah tiga hari Umbu berbaring di dalam peti jenazah ditutupi kain tenun Sumba karena sempat tersiar kabar ia kena Covid. Saya dan beberapa kawan yang setia menunggu di Bali Mandara belum tahu jenazahnya dimakamkan di mana! Keluarga besar dan seluruh kabihu meminta jenazahnya dimakamkan di Humba, sebagaimana wasiatnya minta dikubur di samping makam istrinya. Namun, pandemi memunculkan paradoks yang tak sepenuhnya bisa dimengerti, tapi toh menuntut kompromi-kompromi.
 
”Sudah puluhan tahun bapak kami ikhlaskan pergi, kini berilah kami kesempatan merawat jasad dan makamnya,” kata Wulang lirih. Saya merangkulnya dan menangis. Umbu, betapa akut ”wabah moderna” ini!
***

*) RAUDAL TANJUNG BANUA, Penulis, murid alm Umbu Landu Paranggi. http://sastra-indonesia.com/2021/04/umbu-humba-wabah/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar