Pada Minggu malam, minggu lalu, 14 Februari 2021, saya, isteri dan anak-anak mendapatkan kesempatan langka: bersilaturrahmi ke ndalem dedengkot literasi Ponorogo, Kiai Sutejo. Tentu silaturrahmi kami dengan segala keterbatasan, karena berlaku semacam jam malam di kota reog tersebut. Kami pun membatasi diri dengan protokol kesehatan saat bertandang, karena ancaman Covid belum kikis di sekitar kita. Meski demikian, kami membicarakan hal-ihwal terkait literasi yang tidak terbatas. Alhamdulillah, kami nggedabrus dengan topik yang luas.
Saya mengajak keluarga ikut serta ke Ponorogo, karena saya ingin mengenalkan isteri dan anak-anak dengan semangat, dan daya jelajah tokoh literasi yang satu ini. Selama ini, namanya sudah kondang di kalangan keluarga kecil saya, karena saya sering minta bantuan dan ngerepoti Kiai Sutejo dalam berbagai kesempatan.
Alhasil, pembicaraan yang saya jadwalkan hanya satu jam dengan beliau pun molor hampir tiga kali lipat. Apalagi ikut nimbrung beberapa penulis muda Ponorogo. Dalam kesempatan itu, saya mendapatkan cukup banyak asupan semangat dan pelajaran, untuk terus bergerak dalam dunia literasi, terutama tulis-menulis.
Cara tersebut adalah metode jitu untuk mendongkrak spirit untuk terus berkarya saat kondisi dan situasi seperti mencabut lidi Baru Klinting yang terjepit bumi ---seperti kisah asal-usul Telaga Ngebel Ponorogo yang mirip Rawa Pening Ambarawa. Sebagaimana biasa, Kiai Sutejo pun mewedar ilmunya tanpa tedeng aling-aling secara luas seperti warok kelas kakap, baik itu perihal strategi, gerakan, dan terlebih niat, yang tersimpul dalam kata mutiaranya: “dahulukan berbuat, jangan berpikir mendapat”.
“Jika tiap daerah ada orang seperti Pak Tejo, tentu tujuan literasi bukan hanya mimpi,” bisik isteri ke telinga saya, yang juga didengar Kiai Sutejo.
Karena kami ngobrol di Rumah Buku milik Kiai Sutejo, yang menyimpan ratusan ribu buku dari berbagai penerbit, isteri dan anak-anak pun memperoleh limpahan cukup banyak buku. Saya hitung ada sekitar 23 buah. Tentu, itu sebentuk oleh-oleh yang membahagiakan. Apalagi isteri dan anak-anak memang termasuk doyan ngudap beberapa bacaan. Apalagi buku-buku itu semacam hadiah ihlas dari Kiai Sutejo. Ada buku agama, komik, cerita-cerita gokil, dan lain sebagainya. Alhasil, silaturrahmi literasi kami membuahkan rupa dalam arti harfiah dan maknawiahnya. Sayangnya, kami lupa foto bersama, suatu kealpaan yang kami sesali.
Ketika kami meninggalkan Rumah Buku, di bawah gerimis malam Bumi Wengker, isteri saya berkata, bahwa Kiai Sutejo tiga hari yang lalu, barusan ulang tahun. Saya pun berbisik lirih, mudah-mudahan beliau semakin sehat, bermanfaat dan berkat!
MA, On Sidoarjo, 2021 http://sastra-indonesia.com/2021/02/silaturrahmi-literasi-ke-kota-reog/
No comments:
Post a Comment