Saturday, February 6, 2021

Sebuah Intro Novel Proses – Franz Kafka

Sigit Susanto
 
Pertama kali nama Josef K muncul pada 29 Juli 1914 pada Buku Harian Franz Kafka. Ia tulis, “Josef K, anak seorang pengusaha kaya pada suatu malam bertengkar keras dengan ayahnya. Si ayah memprovokasi sebuah kehidupan yang moralis dan minta segera sebuah sikap, tanpa tujuan yang pasti…di gedung perusahaan.“
 
Pada 15 Agustus 1914, usai Kafka membatalkan tunangan dengan Felice Bauer, ia mulai menulis novel Proses (Der Prozess). Ia sebutkan pada Buku Hariannya, “Setidaknya aku mendapatkan hikmah yang bermanfaat, kehidupanku yang hampa, kesalahan yang beruntun dan status bujangku menemukan pembenaran.“
 
Novel tersebut ia tulis selama 6 bulan. Terhitung sejak 11 Agustus 1914 hingga akhir Januari 1915. Dalam 2 bulan pertama, ia sudah menulis hingga 200 halaman. Novel itu ditulis tangan memakai kertas biasa seperti pada buku di sekolah. Kemudian ada jeda, selain bahan menulis habis, ia merasa lemah, seperti diungkapkan, “Benar-benar merasa lemah dan tak mampu menuliskan lagi, walaupun 2 halaman,…tetapi, aku bisa tidur nyenyak.“ Empat bulan berikutnya manuskrip novel ini dilanjutkan tak sampai 100 halaman, termasuk fragmen yang belum selesai dan dihentikan.
 
Novel ini sangat berhubungan erat dengan bekas tunangannya Felice Bauer. Tokoh perempuan Fräulein Büstner berinisial FB, sama dengan nama Felice Bauer juga berinisial FB. Kantor pengadilan yang digambarkan oleh Kafka adalah sebuah hotel Askanischer Hof di Berlin, tempat ia bertemu Felice saat membatalkan tunangannya. Belakangan Kafka menjalin hubungan dengan Felice lagi, hingga bertunangan yang kedua kali, namun pada akhirnya dibatalkan lagi tahun 1917.
 
Salah satu bagian yang paling memuaskan Kafka adalah kisah tentang “Penjaga Pintu,“ (Türhüter) pada bab 9: Katedral. Sebab itu khusus kisah ini pernah beberapa kali diterbitkan secara terpisah dengan cerpen-cerpen lain dengan judul Di depan Hukum (Vor dem Gesetz). Dimungkinkan Kafka terpengaruh legenda dari kitab Kabala yang bercerita tentang 7 istana di surga yang dijaga oleh banyak penjaga pintu, adapun penjaga pintu yang paling berkuasa adalah Tuhan.
 
Kafka menulis novel ini dengan arsitek yang sangat tepat dibanding novelnya Amerika. Bab pertama dan akhir ditulis dalam waktu yang bersamaan. Beberapa narasi, nyaris serupa. Ketika Kafka membacakan satu halaman pertama novel Proses ini di depan teman-teman pengarang di Praha, ia tak bisa menahan tawa. Akhirnya ia hentikan dan tak lanjutkan membaca lagi.
 
Pada tahun 1919 Max Brod, sahabat dekatnya mengkritik novel ini bahkan memaksa Kafka untuk memangkasnya, “Kalau aku, sudah aku potong sendiri dengan kepalanku.“ Anehnya, meskipun Kafka sendiri belum berhasrat menerbitkan novelnya, Brod justru mendahului dengan menuliskan resensi pada tahun 1921.
 
Pasca meninggalnya Kafka tahun 1924, Brod menemukan naskah novel ini di laci meja kamar Kafka. Tetapi manuskrip tersebut belum diberi judul. Max Brod ingat pernah berbincang-bincang dengan Kafka di sebuah kafe, Kafka menyinggung novel ini hendak diberi judul Proses.
 
Setahun setelah Kafka meninggal, Brod menerbitkannya tahun 1925. Brod telah mengabaikan permintaan Kafka berupa 2 testamen untuk membakar karyanya, baik yang belum diterbitkan maupun beberapa yang sudah diterbitkan. Brod bilang,
 
“Di meja tulisnya terselip di bawah tumpukan kertas-kertas lain yang saling terlipat, sebuah potongan kertas dengan tulisan tinta disertai alamat.” Potongan kertas itu sebuah testamen sebagai berikut:
 
Max yang terhormat, harapanku yang terakhir: Semua karya yang aku tinggalkan (termasuk yang ada di lemari buku, lemari pakaian, meja tulis, di rumah dan di kantor, atau di mana pun berada yang kamu rasa perlu), pada buku-buku harian, manuskrip-manuskrip, surat-surat, sketsa-sketsa gambar yang aneh maupun yang layak dan sebagainya yang kamu temukan, tak perlu dibaca dan jangan disisakan untuk dibakar. Sebab itu semua karya tulis maupun sketsa-sketsa gambar yang ada di tempatmu atau orang lain dengan namaku. Surat-surat yang masih terdapat di orang yang tidak mau memberikan kepadamu, paling tidak ia diwajibkan membakarnya sendiri.
 
Sahabatmu Franz Kafka
 
Pencarian selanjutnya dilakukan dengan sangat teliti dan masih pula ditemukan secarik kertas kusam dan lama dengan tulisan pensil. Isinya sebagai berikut:
 
Max yang baik, kali ini mungkin aku tidak bisa bangun lagi. Radang paru-paru kambuh setelah sebulan menderita demam. Tak sekali pun aku mampu menulis. Akankah semua ini bisa bertahan, walau masih tersisa sebuah kekuatan. Dengan kondisi seperti ini, kemauanku yang terakhir aku tulis:
 
Terutama, apa yang telah aku hasilkan hanya berupa buku dengan judul: Keputusan (Das Urteil), Juru Pemanas (Der Heizer), Metamorfosis (Die Verwandlung), Pada Koloni Hukuman (In der Strafkolonie), Seorang Dokter Desa (Ein Landarzt). Dan Cerita Pendek: Seorang Seniman Lapar (Ein Hungerkünstler). Beberapa eksemplar berjudul Meditasi (Betrachtung), mohon dipertahankan. Aku tidak ingin menjadi beban siapapun. Tapi untuk diterbitkan ulang sama sekali dilarang. Jika aku bilang, bahwa itu berlaku untuk setiap 5 buku dan cerita pendek. Aku maksudkan bukan berarti, bahwa aku punya keinginan bahwa karya-karya itu boleh dicetak ulang di masa yang akan datang. Justru sebaliknya, harus semua dilenyapkan sesuai permintaanku yang sesungguhnya. Aku hanya menghindari, karena karya-karya itu pernah ada, tak seorang pun mengelaknya untuk memiliki. Jika orang tersebut berminat.
 
Sebaliknya semua karya yang sudah kutulis (tulisan di koran, manuskrip atau surat-surat) tanpa kecuali, sejauh memungkinkan atau dengan meminta pada orang yang memilikinya (kebanyakan alamat-alamat pemilik tulisan itu kamu sudah mengetahui, yang utama diajak berunding tentang maksud ini…, jangan lupa beberapa majalah, yang telah….) – semua karya tersebut tanpa kecuali, yang paling suka kalau tidak dibaca (aku tidak menghalangi kamu untuk melihat kedalamannya, yang paling suka tentu kalau kamu tidak meninjau ke dalaman tersebut. Jika kamu tidak lakukan, maka jangan sampai ada orang lain melakukannya) – semua karya tersebut tanpa kecuali untuk dibakar, dan aku minta kalau bisa hal itu segera dilakukan.
 
Alasan Brod menerbitkan karya-karya Kafka, selain untuk memperkenalkan kepada pembaca dunia, juga ia pernah menolak permintaan membakar karyanya di sebuah kafe. Waktu itu Brod menjawab langsung,
 
”Jika kamu serius dan akan nekat menghendaki sesuatu seperti itu, aku bisa jawab sekarang, bahwa aku tidak akan mengabulkan permintaanmu itu.” Pertimbangan Brod, jika Kafka tetap keras kepala, bisa pula ia menuliskan testamen baru kepada orang lain, tapi hal itu tidak dilakukannya.
 
Pasangan Willa dan Edwin Muir yang menerjemahkan pertama kali karya Kafka ke dalam bahasa Inggris tahun 1930 menyebutkan, ia tidak kompromi dengan budaya Anglo-Saxon, semata-mata ia ingin menunjukkan ciri khas seni mengarang Kafka. Pembaca bahasa Inggris pada waktu itu menganggap karya Kafka aneh, perlahan mereka paham. Muir menggambarkan, bentuk karya Kafka mirip dengan model travel writing, ritme yang bergerak maju secara lamban dari menit ke menit.
 
Sementara itu Italio Calvino dalam bukunya The Use of Literature menyebutkan, nama Kafka sudah menjadi ikon sastra resmi dengan menetapkan menjadi adjektiva “Kafkaesque.“ Kafkaesque identik dengan kisah yang aneh, misterius, birokrasi yang berbelit-belit, mengerikan dan mimpi buruk. Kerumitan birokrasi yang diusung Kafka, kemungkinan Kafka pernah membaca esai berjudul Pegawai (Der Beamte) yang ditulis oleh Alfred Weber, saudara kandung sosiolog Max Weber.
 
Pada bab terakhir, kematian Josef K dengan ditusuk pisau oleh petugas di bebatuan, bisa jadi Kafka terpengaruh pekerjaannya pada kantor Asuransi Kecelakaan.
 
Menurut Brod, novel Proses ini merupakan salah satu dari trilogi novel Kafka, yang dianggap sebagai antitesis, sedang novel Amerika sebagai tesis, dan novel Kastil (Das Schloss) sebagai sintesis.
 
Georg Lukacs, kritikus sastra Marxis pada peristiwa Konter Revolusi 1965 di Budapest mengatakan, “Kafka adalah seorang realis.”
 
Pada umumnya kalimat pembuka karya Kafka langsung menukik ke peristiwa inti. Kalimatnya panjang-panjang, baik pada narasi maupun dialog. Bahasanya terang seperti kristal, hanya isi cerita yang samar, bahkan cenderung abstrak seperti pada kebanyakan aliran ekspresionis.
 
Franz Kafka lahir pada 3 Juli 1883 di Praha. Anak dari pasangan pengusaha Hermann Kafka (1852-1931) dan Julie Löwy (1856-1934). Dua adik laki-laki Kafka, Georg Kafka dan Heinrich Kafka meninggal pada usia masih kecil. Tiga adik perempuannya bernama Gabriele Kafka (Elli), Valerie Kafka (Valli), dan Ottilie Kafka (Ottla). Ketiga adik perempuan Kafka meninggal di tempat tahanan Nazi di Auschwitz, Polandia tahun 1942.
 
Ia belajar pada universitas Karl Ferdinans di Praha dengan mengambil mata kuliah, kimia, sastra Jerman, dan sejarah seni. Pada akhirnya ia memutuskan untuk kuliah pada jurusan hukum hingga meraih doktor. Kemudian ia bekerja pada kantor asuransi Assicurazioni Generali dari Italia di Praha (1907-1908). Ia berpindah kerja pada Asuransi Kecelakaan Arbeiter-Unfall-Versicherungs-Anstalt (1908-1922). Ia terpaksa pensiun muda tahun 1922, karena penyakit tuberkulosis.
 
Di penghujung hidupnya ia kawin dengan Dora Diamant dan pada 3 Juni menjelang siang Kafka meninggal dunia di sanatorium Kierling, Wina. Pada 11 Juni jasadnya dikuburkan di makam Yahudi Straschnitz di Praha.
 
Pada tahun 1990 terbit novel Proses versi asli (Originalfassung) yang disesuaikan dari naskah aslinya, supaya mendekati yang autentik. Versi terbaru ini diedit oleh Malcolm Pasley sebagai koreksi atas beberapa kesalahan yang diedit oleh Brod.
 
***
http://sastra-indonesia.com/2021/02/sebuah-intro-novel-proses-franz-kafka/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar