Ini kali pertama saya membaca catatan perjalanan berupa novel. Dalam satu minggu ini, saya diajak berjalan-jalan oleh Venn dan Ethile mengelilingi tempat-tempat eksotis di Eropa yang sebagian besar baru saya dengar namanya. Penggambaran lanskap yang detail, makanan-makanan khas, dan karakter budaya masing-masing negara yang tergambar dengan apik, mampu menghadirkan spektrum warna yang membuat otak saya tereksitasi.
Penulis juga mampu menjaga tempo tulisan ini sedemikian rupa sehingga tidak membosankan. Untuk mengatur tempo, penulis menyisipkan misteri, petualangan, musik, humor, dengan sedikit bumbu horor, sehingga mampu mengajak saya berdansa tanggo, waltz, ataupun cha-cha dalam kesempatan yang berbeda-beda.
Uniknya, walaupun bercitarasa Eropa, saya mencium aroma Sumatera di beberapa bagian yang kadang membuat saya senyum-senyum sendiri, misalnya ungkapan "Alamakjang" atau adegan Ethile mengaduk gelasnya menggunakan "pipet". Bagi kaum berjas putih yang sering mendekam dalam lab tentu memiliki gambaran yang berbeda dalam kepalanya saat membaca pipet. Tapi tenang saja, Bang Ben, sebagai orang yang telah lama terkontaminasi budaya Sumatera, tentu saya paham apa itu pipet.
Selamat, Bang Benny Arnas, untuk karya kerennya ini. Semoga karya ini bisa diangkat ke layar lebar, yang saya yakin akan menghasilkan karya yang memanjakan mata dan jiwa.
12 Jan 2021 http://sastra-indonesia.com/2021/02/ethile-ethile/
No comments:
Post a Comment