Tuesday, December 29, 2020

Riri Riza, Novel, dan Film Indonesia**

Fahrudin Nasrulloh *
 
“You have to be passionate to do something,” ujar sutradara Riri Riza dalam sebuah acara Tatap Muka yang dipandu selebriti Farhan di TV One (13/12/09). Sebuah ungkapan antusiasme, kegairahan, untuk tetap konsisten pada sebuah pilihan. Pilihan untuk beda, dengan idealisme dan kebebasan bersikap. Karena itu, film Sang Pemimpi, sebagai kelanjutan dari Laskar Pelangi, merupakan pilihan idealis yang juga dapat menggairahkan dunia kepenulisan novel di tanah air.
 
Andrea Hirata dengan dua novelnya tersebut bisa dikatakan menjadi titik-tolak kebangkitan film Indonesia yang patut dicatat. Novel dan film merupakan katalisator penting untuk menakar sejauh mana perkembangan kebudayaan dan peradaban suatu bangsa. Banyak novel di sejumlah negara maju di Eropa yang diangkat ke dalam film. Semisal novel The Name of The Rose-nya Umberto Eco yang difilmkan, dengan judul yang sama, tahun 1986. Secara umum, khalayak Indonesia baru bisa membaca setelah novel tersebut diterbitkan tahun 2005 oleh Penerbit Jalasutra. Pun War and Peace-nya Leo Tolstoy. Sebelumnya, novel ini menjadi bacaan wajib di sekolah umum Rusia, karena mengangkat peristiwa momentum pergolakan politik di Rusia menjelang abad ke-20.
 
Sejak masa kejayaan Usmar Ismail hingga sekarang, tradisi serupa ini belum maksimal digarap oleh para sutradara kita sekarang. Ada segelintir film yang memang, bukan berdasarkan novel. Misalnya, November 1928 (Teguh Karya) atau Cut Nyak Dien (Eros Djarot). Selain itu, ada sejumlah film yang berdasarkan skenario keroyokan atau individu yang berdasarkan naskah dari cerita fiksi atau cerita rakyat atau cerita kuno atau babad seperti Jaka Sembung, Si Buta dari Gua Hantu, Fatahillah, Tutur Tinular, Mahkota Mayangkara, dan lain-lain.
 
Mengapa kita yang juga memiliki ragam khazanah novel belum digarap secara serius oleh para sineas kita. Bisa saja penggarapan itu berujud tema film perjuangan tokoh bangsa dalam berbagai bidang, baik dengan latar masa kerajaan-kerajaan nusantara, masa perjuangan melawan kolonialisme, ataupun masa kini. Kita bisa mengambil contoh sejumlah film manca yang digarap dengan cemerlang dan berbobot seperti pada film yang bertopik sejarah; Ben Hur, Spartacus, Nero, The Lion of Desert, Gladiator, The Last Emperor, Dawn Fall, Schandlir List, The Passion of The Christ, atau Kingdom of Heaven.
 
Kita patut bertabik pada Jepang yang memiliki sutradara tangguh semacam Akira Kurosawa yang mengangkat ke dalam film dari novel Yasunari Kawabata yang berjudul Rhasomon. Di samping film besutannya yang lain yang wajib diapresiasi seperti Ran, Kaghemusa, Ikiru, dan Dreams. Konon, menurut sebagian kritikus film dunia, film-film garapan Kurosawa telah mengilhami sejumlah sutradara kaliber Hollywood seperti Steven Spielberg, David Lean, Oliver Stone, Martin Scorsese, di mana film-film mereka kerap mendulang pujian dan mendapatkan piala Oscar. Bagaimana kabar sederet novel bermutu kita bila dihubungkan dengan sejauh mana kiprah para sutradara mutakhir Indonesia?
 
Ketika film Daun di Atas Bantal-nya Garin Nugroho muncul tahun 1997, barangkali inilah babak baru film Indonesia bangkit dalam keberagaman gagasan alternatif. Di samping film-filmnya yang lain: Cinta dalam Sepotong Roti (1991), Surat untuk Bidadari (1993), Bulan Tertusuk Ilalang (1995), Puisi Tak Terkuburkan (1999), Aku ingin Menciummu Sekali Saja (2002), Rindu Kami Padamu (2005), dan terakhir Opera Jawa (2006).
 
Peran Garin dalam menggarap tema-tema alternatif ihwal fenomena sosial-budaya kekinian Indonesia menghadirkan sebentang terobosan baru yang kini menginspirasi banyak sineas muda seperti Riri Riza bersama Mira Lesmana untuk keluar dari mainstream film Nasional yang semata mengeduk animo pasar yang dangkal dengan film-film hantu-komedi-seronok. Bagi Riri, ada tiga film Indonesia yang membuatnya tergugah sekaligus bangga: Tiga Buronan (sutradara Nyak Abbas Akub), Secangkir Kopi Pahit (Teguh Karya), dan Babi Buta yang Ingin Terbang (Edwin, sineas muda dari Surabaya) yang menyorongkan dilema etnis Tiong Hoa, sentimen agama, dan HAM.
 
Dahulu idealisme yang bergelora juga digarap oleh Sjumandjaya dan ia sendiri yang menulis skenarionya dalam film yang berjudul Aku. Sebuah film tentang perjalanan kepenyairan Chairil Anwar di masa pergolakan kemerdekaan Indonesia, meski entah kenapa gagal diwujudkan. Sebagaimana film Gie yang dibesut Riri, masih banyak tokoh-tokoh lain dalam berbagai bidang yang patut digarap seperti sosok Pangeran Dipanegara, Raden Saleh, Jenderal Sudirman, Soekarno, Affandi, H.B. Jassin dan lain lain. Dalam hal ini kita bisa bercermin pada sejumlah film terkait semisal Byron (Lord Byron, penyair Inggris), Surviving Picasso (Pablo Picasso, pelukis Prancis), Patton (Jenderal Patton dari Amerika pada masa Perang Dunia I), A Beautiful Mind (tentang sosok John Nash, peraih Nobel di bidang matematika), dan lain sebagainya.
 
Tampaknya kini, dunia Barat, lebih-lebih industri film di Hollywood, mulai melirik bahkan beberapa sudah menggarap film dengan mengacu pada setting Asia. Baik yang berdasarkan novel maupun skenario lepas. Sejumlah film berlatar Asia telah dibesut oleh sutradara Hollywood seperti The Legend of Suriyothai dan Heaven and Earth (Oliver Stone), atau Memoirs of A Geisha (Rob Marshall). Dengan demikian, sebuah novel maupun buku sejarah ketika ditransformasikan dalam bentuk film tak lain adalah sebetik ikhtiar manusia demi mengabadikan harkat sejarah dan ilmu pengetahuan yang berfungsi-guna bagi generasi kini dan mendatang. Meski sejarah atau riwayat dari unggunan peristiwa lampau, seperti sitiran Muhammad Arkoun, ibarat secabik “cermin retak” yang tak bakal utuh dikisahkan kembali.
 
Sungguh ironi tatkala membaca dan menyuntuki sejumlah novel karya para sastrawan kita yang, barangkali, belum menjadi daya tarik para sutradara terkini. Saya membayangkan; andai Senopati Pamungkas (Arswendo Atmowiloto), Merahnya Merah (Iwan Simatupang), Olenka (Budi Darma), Burung-burung Manyar (Umar Kayam), Pada Sebuah Kapal (N.H. Dini), atau Arus Balik (Pramoedya Ananta Toer) menjadi “project film” bagi sutradara maupun produser, atau pemerintah kita untuk mengapresiasi secara bermartabat khazanah sastra bangsa sendiri.
 
Saya kira ada banyak sosok seperti Riri Riza yang memiliki pemikiran progresif dan inspiratif agar film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan lebih berkualitas di ajang internasional.
 
*) Pegiat komunitas Majavanjava Cinema Club Jombang.
**) Disampaikan dalam diskusi film dengan tema Film sebagai sarana membangun jalan pikiran, sebagai rangkaian Smesta Education Film Festival, 26 Juni 2010 pukul 7 malam. Diselenggarakan oleh OSIS Madrasah Tsanawiyah Smesta 789, Brangkal Kabupaten Mojokerto, bekerja sama dengan Majavanjava Cinema Club, balai belajar bersama Banyumili, dan Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto. http://sastra-indonesia.com/2010/07/riri-riza-novel-dan-film-indonesia/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar