Fahrudin Nasrulloh *
“You have to be
passionate to do something,” ujar sutradara Riri Riza dalam sebuah acara Tatap
Muka yang dipandu selebriti Farhan di TV One (13/12/09). Sebuah ungkapan
antusiasme, kegairahan, untuk tetap konsisten pada sebuah pilihan. Pilihan
untuk beda, dengan idealisme dan kebebasan bersikap. Karena itu, film Sang
Pemimpi, sebagai kelanjutan dari Laskar Pelangi, merupakan pilihan idealis yang
juga dapat menggairahkan dunia kepenulisan novel di tanah air.
Andrea Hirata dengan dua
novelnya tersebut bisa dikatakan menjadi titik-tolak kebangkitan film Indonesia
yang patut dicatat. Novel dan film merupakan katalisator penting untuk menakar
sejauh mana perkembangan kebudayaan dan peradaban suatu bangsa. Banyak novel di
sejumlah negara maju di Eropa yang diangkat ke dalam film. Semisal novel The
Name of The Rose-nya Umberto Eco yang difilmkan, dengan judul yang sama, tahun
1986. Secara umum, khalayak Indonesia baru bisa membaca setelah novel tersebut
diterbitkan tahun 2005 oleh Penerbit Jalasutra. Pun War and Peace-nya Leo
Tolstoy. Sebelumnya, novel ini menjadi bacaan wajib di sekolah umum Rusia,
karena mengangkat peristiwa momentum pergolakan politik di Rusia menjelang abad
ke-20.
Sejak masa kejayaan Usmar
Ismail hingga sekarang, tradisi serupa ini belum maksimal digarap oleh para
sutradara kita sekarang. Ada segelintir film yang memang, bukan berdasarkan
novel. Misalnya, November 1928 (Teguh Karya) atau Cut Nyak Dien (Eros Djarot).
Selain itu, ada sejumlah film yang berdasarkan skenario keroyokan atau individu
yang berdasarkan naskah dari cerita fiksi atau cerita rakyat atau cerita kuno
atau babad seperti Jaka Sembung, Si Buta dari Gua Hantu, Fatahillah, Tutur
Tinular, Mahkota Mayangkara, dan lain-lain.
Mengapa kita yang juga
memiliki ragam khazanah novel belum digarap secara serius oleh para sineas
kita. Bisa saja penggarapan itu berujud tema film perjuangan tokoh bangsa dalam
berbagai bidang, baik dengan latar masa kerajaan-kerajaan nusantara, masa
perjuangan melawan kolonialisme, ataupun masa kini. Kita bisa mengambil contoh
sejumlah film manca yang digarap dengan cemerlang dan berbobot seperti pada
film yang bertopik sejarah; Ben Hur, Spartacus, Nero, The Lion of Desert,
Gladiator, The Last Emperor, Dawn Fall, Schandlir List, The Passion of The
Christ, atau Kingdom of Heaven.
Kita patut bertabik pada
Jepang yang memiliki sutradara tangguh semacam Akira Kurosawa yang mengangkat
ke dalam film dari novel Yasunari Kawabata yang berjudul Rhasomon. Di samping
film besutannya yang lain yang wajib diapresiasi seperti Ran, Kaghemusa, Ikiru,
dan Dreams. Konon, menurut sebagian kritikus film dunia, film-film garapan
Kurosawa telah mengilhami sejumlah sutradara kaliber Hollywood seperti Steven
Spielberg, David Lean, Oliver Stone, Martin Scorsese, di mana film-film mereka
kerap mendulang pujian dan mendapatkan piala Oscar. Bagaimana kabar sederet
novel bermutu kita bila dihubungkan dengan sejauh mana kiprah para sutradara
mutakhir Indonesia?
Ketika film Daun di Atas
Bantal-nya Garin Nugroho muncul tahun 1997, barangkali inilah babak baru film
Indonesia bangkit dalam keberagaman gagasan alternatif. Di samping film-filmnya
yang lain: Cinta dalam Sepotong Roti (1991), Surat untuk Bidadari (1993), Bulan
Tertusuk Ilalang (1995), Puisi Tak Terkuburkan (1999), Aku ingin Menciummu
Sekali Saja (2002), Rindu Kami Padamu (2005), dan terakhir Opera Jawa (2006).
Peran Garin dalam
menggarap tema-tema alternatif ihwal fenomena sosial-budaya kekinian Indonesia
menghadirkan sebentang terobosan baru yang kini menginspirasi banyak sineas
muda seperti Riri Riza bersama Mira Lesmana untuk keluar dari mainstream film Nasional
yang semata mengeduk animo pasar yang dangkal dengan film-film
hantu-komedi-seronok. Bagi Riri, ada tiga film Indonesia yang membuatnya
tergugah sekaligus bangga: Tiga Buronan (sutradara Nyak Abbas Akub), Secangkir
Kopi Pahit (Teguh Karya), dan Babi Buta yang Ingin Terbang (Edwin, sineas muda
dari Surabaya) yang menyorongkan dilema etnis Tiong Hoa, sentimen agama, dan
HAM.
Dahulu idealisme yang
bergelora juga digarap oleh Sjumandjaya dan ia sendiri yang menulis skenarionya
dalam film yang berjudul Aku. Sebuah film tentang perjalanan kepenyairan
Chairil Anwar di masa pergolakan kemerdekaan Indonesia, meski entah kenapa
gagal diwujudkan. Sebagaimana film Gie yang dibesut Riri, masih banyak
tokoh-tokoh lain dalam berbagai bidang yang patut digarap seperti sosok
Pangeran Dipanegara, Raden Saleh, Jenderal Sudirman, Soekarno, Affandi, H.B.
Jassin dan lain lain. Dalam hal ini kita bisa bercermin pada sejumlah film
terkait semisal Byron (Lord Byron, penyair Inggris), Surviving Picasso (Pablo
Picasso, pelukis Prancis), Patton (Jenderal Patton dari Amerika pada masa
Perang Dunia I), A Beautiful Mind (tentang sosok John Nash, peraih Nobel di
bidang matematika), dan lain sebagainya.
Tampaknya kini, dunia
Barat, lebih-lebih industri film di Hollywood, mulai melirik bahkan beberapa
sudah menggarap film dengan mengacu pada setting Asia. Baik yang berdasarkan
novel maupun skenario lepas. Sejumlah film berlatar Asia telah dibesut oleh
sutradara Hollywood seperti The Legend of Suriyothai dan Heaven and Earth
(Oliver Stone), atau Memoirs of A Geisha (Rob Marshall). Dengan demikian,
sebuah novel maupun buku sejarah ketika ditransformasikan dalam bentuk film tak
lain adalah sebetik ikhtiar manusia demi mengabadikan harkat sejarah dan ilmu
pengetahuan yang berfungsi-guna bagi generasi kini dan mendatang. Meski sejarah
atau riwayat dari unggunan peristiwa lampau, seperti sitiran Muhammad Arkoun,
ibarat secabik “cermin retak” yang tak bakal utuh dikisahkan kembali.
Sungguh ironi tatkala
membaca dan menyuntuki sejumlah novel karya para sastrawan kita yang,
barangkali, belum menjadi daya tarik para sutradara terkini. Saya membayangkan;
andai Senopati Pamungkas (Arswendo Atmowiloto), Merahnya Merah (Iwan
Simatupang), Olenka (Budi Darma), Burung-burung Manyar (Umar Kayam), Pada Sebuah
Kapal (N.H. Dini), atau Arus Balik (Pramoedya Ananta Toer) menjadi “project
film” bagi sutradara maupun produser, atau pemerintah kita untuk mengapresiasi
secara bermartabat khazanah sastra bangsa sendiri.
Saya kira ada banyak
sosok seperti Riri Riza yang memiliki pemikiran progresif dan inspiratif agar
film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan lebih berkualitas di
ajang internasional.
*) Pegiat komunitas
Majavanjava Cinema Club Jombang.
**) Disampaikan dalam
diskusi film dengan tema Film sebagai sarana membangun jalan pikiran, sebagai
rangkaian Smesta Education Film Festival, 26 Juni 2010 pukul 7 malam.
Diselenggarakan oleh OSIS Madrasah Tsanawiyah Smesta 789, Brangkal Kabupaten
Mojokerto, bekerja sama dengan Majavanjava Cinema Club, balai belajar bersama
Banyumili, dan Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto. http://sastra-indonesia.com/2010/07/riri-riza-novel-dan-film-indonesia/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment